”Aku Maafkan Masamah Karena Mengharap Pahala Allah...”
Oleh
·4 menit baca
JEDDAH, KAMIS — ”Tanazaltu laha liwajhillah (Aku maafkan dia (Masamah) karena mengharap pahala dari Allah).” Kata-kata yang diucapkan Ghalib, bekas majikan perempuan tenaga kerja asal Cirebon, Masamah binti Raswa Sanusi, seperti dirilis Konsulat Jenderal RI Jeddah, seperti mantra yang menyelamatkan Masamah dari tuntutan hukuman mati atau kisas di Arab Saudi.
Hari Senin (13/3/2017) lalu, Masamah dinyatakan bebas dari hukuman mati oleh Mahkamah Tabuk dalam dakwaan kasus pembunuhan setelah Ghalib, ayah dari korban yang meninggal, memberikan maaf padanya. Ghalib mengucapkan kata-kata pemberian maaf itu dengan suara terbata-bata, sambil terisak, dan meneteskan air mata.
Hakim yang memimpin sidang berkali-kali bertanya kepada Ghalib soal pernyataan pemaafan (tanazul) terhadap Masamah. Ghalib menegaskan, ia dengan penuh kesadaran dan ikhlas telah memaafkan Masamah tanpa syarat serta tanpa meminta uang diat (denda) sedikit pun. Ia hanya berharap kebaikan bagi dirinya dan Masamah.
Majelis hakim mencatat pernyataan pemaafan itu. Dengan pernyataan tersebut, Masamah dinyatakan bebas dari tuntutan hukuman mati. ”Alhamdulillah, semoga saya bisa segera bebas dan pulang pada keluarga di Tanah Air. Terima kasih safarah (KJRI),” kata Masamah dalam pernyataan yang disiarkan KJRI Jeddah.
Bermula tahun 2009
Kasus dakwaan pembunuhan yang dituduhkan kepada Masamah, warga asal Cirebon, bermula dari peristiwa meninggalnya anak Ghalib, majikan Masamah di Tabuk—sekitar 1.000 kilometer barat laut kota Jeddah—tahun 2009. Saat itu, Masamah baru tujuh bulan bekerja di rumah Ghalib. Ia dituduh membunuh anak Ghalib yang berusia 11 bulan.
”Saya sama sekali tidak membunuh Marwah (anak majikan). Waktu kejadian itu, saya tinggalkan Marwah sebentar untuk ke dapur bikin susu buat dia. Namun, waktu kembali, saya temukan dia telah meninggal,” kata Masamah kepada hakim yang menyidangkan kasusnya.
Akibat tuduhan tersebut, sejak tahun 2009, Masamah ditahan di penjara di Tabuk. Semula, ia divonis hukuman penjara selama lima tahun. Namun, jaksa penuntut umum menyatakan banding dan dikabulkan mahkamah banding. Sejak kasus ini bergulir, majikannya sebagai ahli waris korban berkukuh menuntut hukuman mati atau kisas pada Masamah.
Karena beratnya dakwaan pada Masamah dan telah berjalan cukup lama, dalam beberapa tahun terakhir kasus tersebut ditangani Pelaksana Fungsi Konsuler III KJRI Jeddah, Rahmat Aming; dan Atase Hukum dan Hak Asasi Manusia Kedutaan Besar RI Riyadh, Muhibuddin Muhammad Thaib.
Pada sidang 26 Februari 2017, ditetapkan bahwa sidang kembali dijadwalkan pada 13 Maret 2017 dengan agenda pembacaan vonis untuk Masamah. Namun, hakim masih mempertimbangkan untuk menggali keterangan saksi-saksi yang pernah dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, termasuk keterangan Kepala Mahkamah Umum Tabuk terkait keabsahan pengakuan Masamah.
Dalam persidangan, Masamah juga dimintai keterangan seputar pengakuan yang dibuatnya dalam penyidikan sebelumnya. Kepada hakim, ia berkukuh pada pendirian bahwa ia tidak pernah membuat surat pernyataan atau pengakuan membunuh.
”Waktu itu, saya hanya disuruh tanda tangan saat di kantor polisi, enggak tahu itu apa isinya,” kata Masamah dalam pernyataan yang dirilis KJRI Jeddah. Ia bercerita, saat diperiksa penyidik, delapan tahun silam, ia mengaku tidak didampingi penerjemah.
Pendekatan pada ayah korban
Selama proses persidangan berlangsung, tim KJRI Jeddah berusaha terus menjalin silaturahim dan melakukan pendekatan kepada ayah korban. Dari beberapa pertemuan itu, diketahui bahwa ayah korban juga ingin agar proses hukum ini lekas selesai dan tidak berlarut-larut selama bertahun-tahun.
”Kami terus-menerus berupaya menempuh berbagai cara damai dengan melakukan pendekatan kepada majikannya agar ia mau mengubah pendirian (menarik tuntutan)," kata Rahmat Aming, yang sering pergi bolak-balik Jeddah-Tabuk (sekitar 1.000 kilometer) untuk menghadiri sidang kasus Masamah.
”Masamah sudah begitu lama dipenjara dan tidak ada bukti kuat bahwa dia pelakunya."
Di tengah persidangan untuk memeriksa keabsahan pengakuan Masamah pada 13 Maret lalu, tanpa diduga Ghalib—ayah korban—berkata sambil mengangkat tangan, ”Tanazaltu laha liwajhillah (Aku maafkan dia (Masamah) karena mengharap pahala dari Allah)”.
Sidang tersebut mengakhiri rentetan proses hukum kasus Masamah yang berjalan selama hampir 8 tahun.
Data Direktorat Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebutkan, saat ini masih terdapat 19 WNI terancam hukuman mati di Arab Saudi (kasus pembunuhan 14 orang, kasus zina 4 orang, dan kasus sihir 1 orang). Pada tahun 2016, 7 WNI dibebaskan dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi.
Namun, lembaga Migrant Care mencatat, jumlah WNI yang saat ini terancam hukuman mati di Arab Saudi lebih banyak. Saat ini, 40 perempuan pekerja migran terancam hukuman mati di negeri itu. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, ada lima orang dengan tuduhan membunuh (Kompas, 1 Maret 2017).
(*/MH SAMSUL HADI)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.