Manusia-manusia Korup di Parlemen
YONKY KARMAN, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Opini KOMPAS Sabtu, 10-4-2010)
Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. (Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, 108-9).
Saat bermukim enam bulan di Belanda (1953), Pramoedya menulis roman yang memproyeksikan kenyataan sosial pascakemerdekaan. Jadilah sebuah karangan yang mendahului zaman, sebelum korupsi menggurita dengan makelar kasus dan mafia hukum menjadi sebuah bagian dari sejarah Indonesia. Bakir telah mengabdi 20 tahun sebagai pegawai negeri dengan posisi terakhir kepala bagian. Namun, kehidupan dan penampilannya sederhana. Penghasilannya pas-pasan, tidak mampu memberi nilai tambah bagi kesejahteraan orang lain. Bakir pun kurang dihormati di luar rumah meski di rumah ia menerima cinta tulus dari istri dan anak.
Sebagai manusia Indonesia yang beragama, awalnya Bakir mengalami pergumulan batin yang berat antara godaan korupsi mengikuti rekan- rekannya dan mempertahankan integritas. Akhirnya, ia menyerah. Ia meninggalkan sikap pasif menunggu kenaikan gaji. Ia menggunakan kemerdekaannya untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang mengkhianati tujuan Indonesia merdeka.
Ia melakukan penggelembungan proyek dan memanipulasi kuitansi. Demikianlah ia jadi bagian kelompok masyarakat yang memperoleh kebahagiaan dan kekayaan di atas kerugian negara. Hilanglah kesederhanaan hatinya. Persetan sumpah jabatan. Untuk meredam protes batin sendiri, ia aktif memberi kontribusi bagi kegiatan amal. Ia percaya Tuhan memiliki matematika yang adil berapa dikorupsi dan berapa yang diamalkan.
Dengan dua filter moral, sanksi di dunia ini dan di dunia akhirat, sebenarnya manusia Indonesia lebih sulit korupsi dibandingkan dengan insan sekuler ataupun komunis. Nyatanya, indeks korupsi Indonesia tahun lalu adalah 2,8 dan itu berarti belum beranjak dari skor 2 sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu skor indeks korupsi negara-negara sekuler di Barat di atas 5 dan China 3,6
Mengapa sepintas tidak ada hubungan antara keberagamaan dan korupsi? Saat korupsi, terjadi deaktivasi hukum moral. Dengan rasionalisasi yang bukan lagi bersumber dari kebutuhan (need), korupsi di Indonesia menjadi istana keserakahan (greed). Di lingkungan pegawai negeri, tak sulit mendapati orang yang hidup bukan dari gajinya, bahkan dengan bangga memamerkan kekayaannya.
Korupsi di Indonesia adalah masalah kegagalan pemerintah membangun karakter bangsa (character and nation building). Mengalihkan persoalan korupsi kepada agama hanya bentuk kambing hitam sebab keberagamaan di Indonesia sendiri bersikap ambigu. Penghayatan agama belum sampai memotivasi orang untuk jihad melawan korupsi. Pemerintah pun lebih serius memerangi terorisme daripada korupsi.
Masyarakat Indonesia pun sudah terbiasa dengan fenomena korupsi dan cenderung menerimanya sebagai bagian dari realitas keindonesiaan. Apalagi, belum ada kemauan pemerintah untuk melakukan asas pembuktian kekayaan secara terbalik. Secara konstitusional, korupsi diakui sebagai kejahatan luar biasa. Dalam praktiknya, kasus korupsi yang terungkap cenderung direduksi jadi persoalan oknum, bukan persoalan sistem ataupun kultur.
Maka, penanganan secara internal didahulukan. Penyelesaian secara adat diutamakan. Itu semua untuk memelihara citra. Kalaupun ada sanksi, biasanya pejabat terkait dimutasi agar yang bersangkutan tidak terlalu sakit hati dan bernyanyi tentang kebobrokan instansinya. Rekan sejawat dan atasan saling melindungi. Kultur tahu sama tahu dan pembiaran menyuburkan perilaku koruptif.
HARYATMOKO, Ahli Etika (Opini KOMPAS Selasa, 7-6-2011)
Kasus mafia pajak Gayus Tambunan, Bank Century, divestasi saham Krakatau Steel, atau korupsi proyek wisma atlet SEA Games, sulit dituntaskan. Banyak pihak—parpol, penguasa, pengusaha, dan wakil rakyat—terlibat konflik kepentingan. Pendanaan parpol dan kepentingan kelompok ataupun pribadi menjauhkan politik dari kepentingan publik. Jebakan ini cermin kelemahan etika publik.
Etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
Ada tiga fokus etika publik. Pertama, pelayanan publik berkualitas dan relevan. Artinya, kebijakan publik harus responsif dan mengutamakan kepentingan publik. Kedua, fokus refleksi karena tak hanya menyusun kode etik atau norma, etika publik membantu mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etis. Dua fungsi ini menciptakan budaya etika dalam organisasi dan membantu integritas pejabat publik. Ketiga, modalitas etika: bagaimana menjembatani norma moral dan tindakan. Ketiga fokus itu mencegah konflik kepentingan.
Etika publik berkembang dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi. Konflik kepentingan dipahami sebagai ”konflik antara tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi atau kelompok. Pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri atau kelompok sehingga membusukkan kinerjanya dalam tugas pelayanan publik” (OECD, 2008).
Konflik kepentingan tidak hanya mendapatkan uang, materi, atau fasilitas untuk dirinya. Juga semua bentuk kegiatan (penyalahgunaan kekuasaan) untuk kepentingan keluarga, perusahaan, partai politik, ikatan alumni, atau organisasi keagamaannya.
Konflik kepentingan mendorong pengalihan dana publik. Modus operandinya beragam: korupsi pengadaan barang atau jasa, penjualan saham, penalangan, proyek fiktif, manipulasi pajak, dan parkir uang di bank dengan menunda pembayaran untuk memperoleh bunga. Konflik kepentingan yang mencolok (pendanaan ilegal parpol, penguasa yang pengusaha), dan yang tersamar (calo anggaran, cari posisi pasca-jabatan, turisme berkedok studi banding) membentuk kejahatan struktural yang merugikan kepentingan publik.
Pendanaan ilegal parpol yang sarat konflik kepentingan menyeret ke korupsi kartel-elite. Korupsi ini melibatkan jaringan partai politik, pengusaha, penegak hukum, dan birokrasi karena (M Johnston, 2005): (a) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga yang masih lemah; (b) partai politik tak mengakar, lebih mewakili kepentingan elite; (c) sistem peradilan korup; (d) birokrasi rentan korupsi. Situasi ini bikin politik penuh risiko dan ketakpastian.
Dengan korupsi kartel-elite, ketakpastian dihindari tak hanya dengan cara memengaruhi kebijakan publik. Juga menghalangi atau mengooptasi pesaing potensial, menghimpun pengaruh untuk menguasai keuntungan ekonomi dan kebijakan publik dari tekanan sosial dan elektoral. Korupsi kartel-elite adalah cara elite menggalang dukungan politik dari masyarakat dan memenangi kerja sama dengan lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (F Lordon, 2008).
Konflik kepentingan semakin sulit dihindari ketika pejabat publik sekaligus pemilik perusahaan. Apabila akuntabilitas lemah, terutama pemisahan kepentingan publik dan perusahaan, sumber daya negara bisa dianggap asetnya. Kekuasaan bisa disalahgunakan untuk menguntungkan perusahaannya.
Konflik kepentingan merusak kebijakan anggaran. Fungsi pengawasan budget bisa berubah menjadi politik manipulasi ketika alokasi dana dalam perencanaan budget diperdagangkan antarkelompok kepentingan. DPR bisa berubah jadi pemangsa yang siap memeras. Konflik kepentingan yang tersamar adalah mengatur nasib masa depan. Di antaranya menggunakan pengaruh saat masih pejabat publik untuk mencari kedudukan setelah habis jabatan (OECD, 2008). Untuk itu harus ada partai oposisi yang serius dan jaminan akuntabilitas.
Akuntabilitas berarti ”memenuhi tanggung jawab untuk melaporkan, menjelaskan, menjawab, menjalankan kewajiban, dan menyerahkan apa yang dilakukan dan diminta sebagai pertanggungjawaban atau yang ingin diketahui pihak di luar organisasi” (Caiden, 1988), terutama publik yang dilayani. Akuntabilitas perlu demi menjamin integritas publik dan pelayanan publik.
Di setiap organisasi pemerintah dibutuhkan komisi etika untuk: (a) mengawasi sistem transparansi menyingkap keuangan publik; (b) memeriksa laporan kekayaan, sumber pendapatan, dan utang sebelum jabatan publik; (c) memeriksa laporan hubungan yang berisiko untuk meminimalkan konflik kepentingan; (d) di setiap pertemuan staf dan pengambilan keputusan, komisi etika disertakan untuk mengangkat masalah etika, memfasilitasi audit, dan evaluasi kinerja untuk mengidentifikasi dimensi etika.
Agar pengawasan lebih efektif, perlu mekanisme pembongkar aib dengan memberi perlindungan hukum terhadap pembongkar aib, menyediakan sarana komunikasi, komunikasi konfidensial, dan petunjuk pelaporan yang tepercaya. Untuk mengorganisasikan tanggung jawab, sanksi atau insentif harus terumuskan dalam hukum. Maka, mendesak dibuat UU antikonflik kepentingan.
Untuk meningkatkan pengawasan, dilibatkanlah masyarakat melalui jaringan di daerah. Pembentukan jaringan dimulai dengan pelatihan dan lokakarya untuk mendiskusikan konflik kepentingan dan korupsi (sebab, mekanisme, korban, kerugian). Jaringan ini dibentuk dari organisasi lokal, asosiasi profesi, kelompok bisnis, dan organisasi mahasiswa. Anggota jaringan jadi sumber informasi bagi KPK.
APUNG WIDADI, Anggota Badan Pekerja ICW Divisi Korupsi Politik (Opini KOMPAS Kamis, 1-9-2011)
Badan Anggaran DPR memang buruk secara sistemik karena mengundang korupsi dan penyalahgunaan wewenang (Kompas, 11/8). Penyusunan anggaran ternyata lahan basah bagi para anggota DPR. Proses persetujuan ini, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bisa dipelintir demi keuntungan finansial. Terjadilah praktik memancing uang dengan uang. Para anggota Dewan menghubungi kepala-kepala daerah, menawarkan anggaran dalam jumlah tertentu, dengan catatan ada timbal balik biaya sebagai kutipan Dewan. Fee harus dibayarkan di muka sebelum pembahasan anggaran dan tunai.
Gambaran manipulasi dalam proses penganggaran di DPR setidaknya terkonfirmasi dengan kasus Nazaruddin yang notabene anggota Badan Anggaran DPR. Walaupun masih tergolong anggota baru di DPR, dia bisa memainkan 35 proyek kementerian dengan total nilai mencapai Rp 6,37 triliun!
Nazaruddin tidak sendiri di DPR. Dia hanya kebetulan ”apes” tertangkap oleh KPK. Selebihnya, banyak kasus mafia anggaran yang tidak terungkap walaupun sudah ada upaya untuk membongkar dari Badan Anggaran itu sendiri. Wa Ode Nurhayati, misalnya, pernah mencoba membongkar ”mafia angka” pada salah satu acara bincang-bincang di televisi. Ia kemudian bersama masyarakat melapor ke KPK.
Bukannya mendapat apresiasi, Wa Ode justru dilaporkan oleh beberapa anggota Badan Anggaran ke Badan Kehormatan DPR dengan tuduhan pelanggaran kode etik. Lebih parah lagi, Badan Kehormatan DPR justru melindungi pihak pelapor.
Cerminan mafia anggaran tidak hanya saat pencairan alokasi anggaran, tetapi juga bagaimana mereka saling melindungi seperti pada kasus Nazaruddin. Lebih memprihatinkan lagi, mafia anggaran juga bekerja sama dengan mafia hukum. Bukan hanya merampok uang negara, para politisi tersebut justru berupaya melemahkan KPK. Lembaga yang masih mempunyai integritas dalam penanganan kasus korupsi. Upaya pelemahan didukung oleh pengacara hitam yang juga hanya berorientasi pada uang.
Kuatnya sindikat mafia anggaran juga disebabkan tumpang tindihnya kewenangan DPR. Badan Anggaran, misalnya, begitu berkuasa menentukan ke mana alokasi dan berapa besaran anggaran, baik penerimaan maupun pengeluaran. Lebih keterlaluan lagi, Badan Anggaran DPR ikut pula menentukan perusahaan- perusahaan yang melaksanakan sejumlah proyek. Sudah pasti semua ini memudahkan adanya penyimpangan anggaran. Padahal, menurut Pasal 107 UU No 27 Tahun 2009, Badan Anggaran hanya berwenang membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan Komisi. Bahkan, periode 2004-2009 forum untuk menentukan anggaran DPR hanya berupa panja.
Dalam kasus alokasi Dana Percepatan Infrastruktur Daerah, Badan Anggaran telah melewati kewenangan dengan menentukan kriteria daerah penerima dari 424 daerah menjadi 289 daerah, tetapi alokasi anggaran tetap, Rp 7,70 triliun. Bahkan, Menteri Keuangan pun tidak berdaya meski putusan Badan Anggaran tidak jelas dasarnya.
Cukup sulit untuk membongkar mafia anggaran, apalagi jika muaranya adalah pendanaan partai politik. Kejahatan itu perlu dilawan dengan upaya yang sistematis, yaitu memperbaiki keuangan parpol, mengurangi dominasi DPR dalam pengelolaan anggaran dan pemilihan pejabat publik, serta mendorong penegakan hukum.