MAKASSAR, KOMPAS — Kepolisian Resor Enrekang, Sulawesi Selatan, menangkap dua lelaki pemerkosa seorang anak perempuan, Jumat (17/3) dini hari. Selama sepekan sebelumnya, pelaku membawa korban berpindah-pindah kabupaten. Pola kejahatan ini dilakukan untuk menghindari kejaran polisi.
Dua tersangka yang diringkus adalah Wi (36) dan La (35). Adapun korban adalah Ha (16), siswi sebuah SMA di Enrekang. Setelah dijemput oleh Wi di rumah pamannya di Enrekang sejak 8 Maret, Ha sempat dibawa ke Kabupaten Luwu Timur, di perbatasan Sulawesi Selatan-Sulawesi Tengah.
Selanjutnya, korban dibawa ke Kabupaten Tana Toraja hingga akhirnya dikembalikan ke Enrekang, Rabu (15/3). Selama dibawa lari, korban mengalami kekerasan seksual oleh Wi dan La.
Kepala Polres Enrekang Ajun Komisaris Besar Witarsa Aji mengatakan, pengejaran polisi terhadap kedua tersangka bermula dari laporan paman korban yang mengatakan keponakannya dibawa lari. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, polisi kemudian mengetahui lokasi tersangka di Luwu Timur.
”Tim gabungan akhirnya mengejar ke sana, tetapi tersangka sudah lari dan membawa korban ke Tana Toraja. Di Tana Toraja, pelaku bersembunyi di rumah kerabat La, dan di sana La juga memerkosa korban. Tepat sepekan, tersangka mengembalikan korban dan mengantar ke sebuah tempat di sekitar rumah kakak korban,” kata Witarsa.
Polisi kemudian memburu Wi dan akhirnya menangkapnya di rumah persembunyiannya di Enrekang Jumat (17/3) sekitar pukul 00.15 Wita. Polisi lalu bergerak ke Tana Toraja dan menangkap La di rumahnya sekitar pukul 02.45 Wita.
Berdasarkan keterangan sementara dari hasil pemeriksaan, korban mengenal tersangka melalui jejaring media sosial. Selama beberapa bulan kenal dan berteman di jejaring media sosial, keduanya mulai akrab. Keakraban ini akhirnya berlanjut dengan janji bertemu pada 8 Maret.
Saat datang ke rumah paman korban di Kecamatan Enrekang, Rabu sekitar pukul 20.00 Wita, Wi mengajak Ha keluar. Saat itu, paman korban sedang tidak berada di rumah. Tersangka kemudian membawa korban ke sebuah rumah kosong di Kecamatan Curio, Enrekang, dan memerkosanya. Hal itu kemudian berlanjut saat tersangka membawa korban ke Luwu Timur dan Tana Toraja.
Kasus Samarinda
Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak perempuan berumur 12 tahun oleh 8-13 orang di Samarinda, Kalimantan Timur, saat ini sejumlah pihak pemerhati perempuan terus memberikan pendampingan. Korban berasal dari keluarga yang kurang harmonis dan kesulitan ekonomi. Minimnya kontrol dari lingkungan sekitar juga menjadi latar belakang kejadian tersebut.
Sejak pihak keluarga melaporkan kejadian ini kepada polisi, Rabu lalu, korban ditempatkan di rumah salah satu lembaga sosial di Samarinda dan didampingi penuh oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Samarinda, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Samarinda, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan psikolog.
”Kondisi korban masih shock dan harus didampingi penuh sampai waktu yang tidak bisa dipastikan. Belum bisa fokus ucapannya. Selain pendampingan psikologis, juga harus direhabilitasi narkoba mengingat korban sempat dipaksa nyabu,” ujar Aji Suwignyo, Ketua KPAI Samarinda, yang dihubungi dari Balikpapan, Jumat (17/3).
Secara terpisah, Wakil Wali Kota Samarinda Nusyirwan Ismail mengatakan, kejadian ini kembali mengingatkan Samarinda untuk mengoptimalkan lagi peran Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan jajaran rukun tetangga, tokoh masyarakat, hingga camat. Selain pihak itu, peran dinas pendidikan dan semua pemerhati perempuan perlu dimaksimalkan.
”Ada masalah keluarga di sini. Ada ketidakharmonisan yang memicu broken home. Juga persoalan ekonomi dan pendidikan. Saya kaget karena keluarga, kok, tidak lapor ketika anaknya hilang dua bulan. Di sisi lain, jika kontrol warga berjalan baik, kasus ini cepat ketahuan warga,” kata Nusyirwan.
Korban yang diketahui putus SD ini tinggal bersama nenek tirinya di kawasan pegunungan. Ayah tiri dan ibu kandungnya tinggal tidak jauh. Namun, mereka tidak bisa berkumpul karena rumahnya kecil dan hanya punya satu kamar tidur.
”Dua saudara tiri korban juga tinggal bersama orangtuanya. Di sisi lain, korban sudah remaja dan perlu kamar sendiri sehingga orangtua menitipkannya kepada nenek,” kata Aji. (PRA/REN)