Kerusakan Lingkungan Masif
”Rata-rata kerugian akibat bencana ini per tahun sekitar Rp 30 triliun, tetapi bisa lebih tinggi jika terjadi bencana skala besar,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Minggu (19/3). Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015, misalnya, mencapai Rp 221 triliun, setara dengan 1,9 persen pendapatan ekonomi nasional.
Menurut Sutopo, sebagian daerah yang mengalami longsor dan banjir saat ini sudah berulang kali terdampak, dan belum diatasi. Dia mencontohkan banjir di kawasan bantaran Sungai Ciliwung di Jakarta, bantaran Sungai Citarum hulu di Bandung selatan, serta Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro, Tuban, hingga Gresik.
Meski demikian, tren terakhir muncul sejumlah daerah rawan banjir baru. Misalnya, banjir di Bima (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Garut, Kota Bandung, Kemang di Jakarta, Pangkal Pinang, hingga Pasuruan (Jawa Timur). ”Meningkatnya bencana hidrometeorologi di Indonesia sesungguhnya merupakan konsekuensi dari meningkatnya kerentanan,” katanya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. ”Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat berpengaruh,” katanya.
Berdasarkan data BMKG, dari peta frekuensi hujan lebat sepanjang tahun 2009-2016, wilayah Papua merupakan wilayah dengan frekuensi tertinggi kejadian hujan lebatnya. Namun, jika dilihat dari peta frekuensi kejadian banjir atau longsor dalam kurun ini, kejadian banjir di Papua yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
”Hal yang cukup mencolok adalah di Pulau Jawa sebagai wilayah dengan tingkat pembangunan yang tinggi, frekuensi kejadian banjir dan longsornya sangat tinggi,” kata Andi.
Dengan melihat data ini, Andi menyimpulkan, frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat.
Lahan kritis
Menurut Sutopo, tren munculnya daerah bencana banjir baru ini menunjukkan meningkatnya lahan kritis dan berkembangnya permukiman serta industri ke daerah-daerah rawan. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman. ”Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini merupakan akumulasi,” katanya.
Secara terpisah, Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, ancaman longsor di Kecamatan Karangkobar dari tahun ke tahun semakin meningkat sejak hutan di bukit semakin gundul. Kepala Dukuh Gondang, Desa Sampang, Karangkobar, Darmanto, mengatakan, pohon-pohon pinus dan tanaman keras di hutan digantikan dengan tanaman kopi dan rumput gajah untuk pakan ternak.
Banjir di sejumlah daerah di Aceh juga semakin sering terjadi. Data Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan, pada 2002 banjir melanda Aceh sebanyak 6 kali, pada 2015 menjadi 65 kali. Hutan yang gundul di kawasan hulu sungai, akibat penebangan liar dan penambangan liar, diduga menjadi penyebabnya.
Kerusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya tutupan hutan secara masif mulai terjadi di Indonesia sejak awal 1970-an. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada 1985-1997 pengurangan luas hutan di Indonesia 22,46 juta hektar (ha) atau rata-rata 1,87 juta ha per tahun. Pada 1997-2000, penurunan luas hutan menjadi 2,84 juta ha per tahun.
Adapun data berdasarkan citra SPOT Vegetation didapatkan angka pengurangan penutupan hutan sebesar 1,08 juta ha per tahun (periode 2000-2005). Data penghitungan deforestasi Indonesia periode 2003-2006 menggunakan citra Landsat 7ETM+ menghasilkan angka deforestasi Indonesia 1,17 juta ha per tahun. Data terakhir penghitungan deforestasi Indonesia periode 2006-2009 menghasilkan angka deforestasi Indonesia 0,83 juta ha per tahun.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas lahan kritis pada 2016 sekitar 24,30 juta ha, menurun dibandingkan dengan pada 2006 yang seluas 30,19 ha. Meskipun luas lahan kritis menurun, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung KLHK Hilman Nugroho, pepohonan hasil rehabilitasi belum dewasa atau belum berfungsi sebagai pencegah longsor dan banjir. Karena itu, ancaman banjir dan longsor masih tinggi. (aik/dka/ain/ndy/ich)