JAKARTA, KOMPAS — Dengan waktu yang tersisa sekitar satu bulan, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu mesti difokuskan pada materi yang terkait langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2014. Saat itu, MK memutuskan, pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak pada 2019.
Isu yang terkait dengan putusan MK itu adalah syarat pencalonan presiden/wakil presiden serta teknis pemilu dengan lima kotak (DPR, DPD, DPRD I, DPRD II, dan pemilihan presiden). Jika ada hal lain yang perlu diprioritaskan, penataan daerah pemilihan (dapil) untuk memperbaiki prinsip keterwakilan serta penguatan penegakan hukum pemilu untuk mencegah mala-administrasi dan kecurangan.
Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) Yandri Susanto, Senin (20/3), di Jakarta, mengatakan, semangat awal pembahasan RUU itu sebenarnya membahas isu yang terkait dengan putusan MK. ”Pemerintah yang pertama-tama mengusulkan perubahan sistem pemilu legislatif, metode konversi suara ke kursi, dan sebagainya,” katanya.
Namun, kini sejumlah fraksi di DPR juga ingin mengubah total sejumlah hal mendasar di RUU Pemilu sebelumnya. Sebagai contoh, sistem proporsional terbuka (keterpilihan berdasarkan suara terbanyak) diusulkan diubah menjadi proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut). Metode konversi suara ke kursi legislatif dan alokasi kursi setiap dapil juga diusulkan diubah.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate, menuturkan, fraksinya tidak menginginkan perubahan yang terlalu mendasar, apalagi jika sistem yang dulu diterapkan masih relevan. Alih-alih mengubah sistem secara mendasar, menurut Johnny, RUU Pemilu perlu diarahkan untuk membenahi aturan agar implementasi sistem yang lama bisa lebih optimal.
”Namun, ini adalah rapatnya para politisi untuk kepentingan politisi. Ibarat strategi main bola, ada yang menyerang untuk bikin gol, ada yang menyerang balik. Namun, ini hanya strategi. Kami yakin ujung-ujungnya tidak banyak juga yang mau mengubah hal-hal prinsip di sistem pemilu,” tutur Johnny.
Dengan pertimbangan ini, Yandri tetap optimistis pembahasan RUU Pemilu akan selesai akhir April nanti. Jika titik temu sulit dicapai di antara fraksi-fraksi di DPR, pengambilan keputusan akan dilakukan melalui pengambilan suara terbanyak atau voting.
Belum selesainya pembahasan RUU Pemilu menjadi alasan yang dipertimbangkan DPR untuk menolak 14 nama calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu periode 2017-2022 hasil seleksi panitia seleksi (pansel). Alasan lain, proses seleksi di pansel yang dinilai tendensius. Padahal, masa jabatan komisioner KPU dan Bawaslu periode 2012-2017 akan berakhir 12 April nanti. ”Perlu dipikirkan jalan keluar memperpanjang masa jabatan, tentu itu harus dikaji apakah bisa dilakukan,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Wakil Ketua Pansel Calon Anggota KPU dan Bawaslu Ramlan Surbakti memastikan proses seleksi dilakukan secara tepat sehingga hanya calon terbaik yang diloloskan. Komisioner KPU, Hadar N Gumay, berharap tak ada hambatan politik di DPR dalam seleksi calon anggota KPU-Bawaslu karena taruhannya kualitas Pemilu 2019 (Kompas, 14/3). (AGE/APA)