Lingkungan Sering Dikalahkan
Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, Sudharto P Hadi juga menyoroti buruknya kualitas amdal yang berkontribusi besar mempercepat kerusakan lingkungan. ”Penyusun amdal rata- rata tidak memahami bahwa rohnya adalah menjamin pembangunan berkelanjutan, sementara komisi penilai juga tidak cermat,” katanya.
Saat ke daerah dalam rangka kajian sebagai anggota Tim Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam-Komisi Pemberantasan Korupsi (GNPSDA-KPK), Hariadi menemukan banyak kasus penyusunan amdal yang bermasalah. ”Misalnya, kami temukan di Kalimantan Tengah, awal tahun ini, persetujuan masyarakat sebagai persyaratan studi amdal dimanipulasi. Caranya, antara lain, dengan ’membeli’ fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dari kepala desa,” katanya.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf juga mengatakan, praktik-praktik pembangunan sering kali melupakan dampaknya terhadap daya dukung lingkungan. Selain karena kurangnya pemahaman aktor-aktor pembangunan terhadap permasalahan lingkungan, aspek lingkungan juga belum dijadikan prioritas dalam pembangunan. Mekanisme pengendalian lingkungan adalah melalui amdal.
Komitmen pemerintah
Amdal, kata Sudharto, adalah mekanisme di hilir dalam pengendalian pembangunan. Di bagian hulunya adalah tata ruang. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa tata ruang harus mendasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sebelum menentukan pemakaian ruang, misalnya, harus disertai kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Masalahnya, pemerintah yang mendapat mandat melakukan KLHS kerap mengabaikannya. ”Persoalannya di komitmen pemerintah sendiri,” ujar Sudharto.
Menurut Hariadi, selama ini tata ruang kerap direvisi demi menyesuaikan kepentingan ekonomi atau dalam banyak kasus hanya untuk memuluskan kepentingan korporasi dan industri ekstraktif. ”Secara nasional data GNPSDA-KPK menyebutkan ada tambang liar di dalam kawasan konservasi seluas 1,37 juta hektar dan di hutan lindung seluas 4,94 juta hektar,” katanya.
Pada 2016, GNPSDA-KPK juga menemukan bahwa kawasan hutan di Bogor, Jawa Barat, dengan luas hutan 69.902 ha telah dirambah 21.739 ha (31 persen). Ekspansi lahan itu terdiri dari 455 pengguna lahan untuk pertanian, sertifikat tanah 71 buku, akta jual-beli 12 buku, dan 43 bangunan permanen.
”Perambahan hutan yang bisa disebut di perkotaan itu telah mengubah fungsi hutan menjadi perumahan, vila, lahan pertanian, kebun, dan jalan. Padahal, lokasi-lokasi di Kabupaten Bogor yang dirambah itu sangat penting bagi konservasi tanah, baik untuk mengendalikan banjir maupun kekeringan,” katanya.
Dampak pembangunan, berdasarkan peta indikasi jasa ekosistem ekoregion Jawa, daerah- daerah regulator air hanya tersisa di daerah-daerah hutan lindung dan konservasi. Namun, kata Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Wijayanti, daerah-daerah yang bernilai tinggi sebagai regulator air ini rentan dialihfungsikan untuk berbagai pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jalur kereta api, dan waduk.
Praktik buruk pengelolaan kawasan hutan, menurut Hariadi, menyebabkan luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia saat ini mencapai 24 juta hektar. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dari 450 daerah aliran sungai (DAS), 118 DAS dalam kondisi kritis. Padahal, 30 tahun lalu, hanya 22 DAS yang kritis dan superkritis.
Kemiskinan
Menurunnya daya dukung lingkungan seiring peningkatan intensitas bencana tidak bisa dilepaskan dari persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. ”Umumnya yang terdampak paling parah dari bencana adalah masyarakat miskin, terutama jika menyangkut bencana lingkungan yang dipicu oleh pembangunan sehingga semakin memperparah ketimpangan,” kata Sudharto.
Masyarakat korban pun semakin miskin karena kehilangan harta benda, juga pekerjaan karena lahan pertanian atau tambak hilang akibat bencana alam. Abrasi pantai di Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, misalnya, membuat ratusan keluarga kehilangan tambak, sawah, pekarangan, dan rumah.
Di Aceh, sejumlah warga jatuh miskin, tidak mempunyai rumah, karena rumahnya hilang tersapu banjir bandang. Di Kabupaten Magelang, Jateng, luas sawah warga berkurang, bahkan terancam hilang karena tergerus arus sungai.
Nur Lalila (32), warga Desa Blang Bungong, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, misalnya, setelah banjir bandang pada Desember 2015 belum juga mampu membangun rumah lagi. ”Pemerintah berjanji membangun rumah bagi korban, tetapi sampai sekarang belum ada kepastian kapan akan dibangun,” katanya. (AIK/ICH/ISW/NDY/LAS/NAD/INA/EGI/AIN)