Sungai Terpanjang Itu Kini Semakin Rusak
Selama seminggu belakangan ini, aparat Kepolisian Resor Kapuas dengan intens menyisir pertambangan ilegal di tiga anak sungai Kapuas, yakni Sungai Murui, Sungai Mentaring, dan Sungai Mangkutub.
Dari hilir Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah, tepatnya di Sei (Sungai) Murui, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, terlihat bibir sungai dipenuhi kato angkat (alat-alat pengisap pasir) rakitan untuk mencari emas. Para petambang pun tinggal di lokasi tambang.
Perjalanan dari Palangkaraya ke lokasi penambangan di Sei Murui sekitar 160 kilometer. Dibutuhkan waktu lebih dari 7 jam bagi polisi dan Kompas untuk mencapai lokasi dengan kelotok (perahu kayu). Saat perahu berjarak sekitar 200 meter dari salah satu lanting (rumah mengapung) di sekitar Sei Murui untuk menepi dan beristirahat, pemilik lanting malah berlarian. Mereka menduga polisi datang untuk menangkap mereka.
Pahar (22), salah seorang anak pemilik lanting yang tidak sempat kabur karena tengah berada di dalam rumah, hanya bisa terdiam. Ia terduduk, bibirnya bergetar, dan wajahnya berubah pucat.
”Hanya bantu bapak,” kata Pahar singkat ketika ditanya mengapa menambang di sungai, Jumat (17/3).
Pahar mengaku sudah tiga tahun dirinya bersama keluarga menambang di Sei Murui. Pahar merupakan warga Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ia dan keluarganya memiliki tiga kato angkat yang digunakan untuk mengisap pasir dan mengais emas di antara pasir itu.
”Sudah tiga tahun kerja (menambang) di sini, kami pindah-pindah. Kalau sudah habis di sisi ini pindah mencari tempat lain,” kata Pahar.
Pahar menjelaskan, kato angkat berfungsi mengisap pasir di dasar sungai. Lalu, ada alat kasbuk yang berfungsi untuk memisahkan air dan material yang diisap tadi. Di dalam kasbuk tersebut terdapat karpet dan di karpet itulah emas serta zirkon akan menempel.
Zat sianida dan merkuri kerap digunakan untuk dapat mengikat emas dan zirkon hingga bisa menempel di karpet. Dalam sehari, Pahar dan keluarganya bisa mendapatkan 5 gram emas yang dijual dengan harga Rp 450.000 per gram.
”Uangnya dibagi-bagi. Hasilnya untuk beli solar dan makan di sini. Ya, cukuplah untuk hidup,” ucap Pahar.
Ada pemodalnya
Perjalanan dilanjutkan. Sekitar 30 menit dari lanting Pahar, perahu polisi berhenti di kawasan hutan yang masih berada di kawasan Sungai Murui. Sampai di lokasi, satu alat berat jenis ekskavator masih berada di tengah lahan bekas galian. Pohon-pohon dibabat habis, pasir dikeruk, dan lubang bekas galian menganga di sana-sini. Meskipun lubang itu tak dalam, luas keseluruhan mencapai 10 hektar.
”Kalau pakai alat berat, kerusakan yang dihasilkan lebih besar lagi,” ujar Kepala Kepolisian Resor Kapuas Ajun Komisaris Besar Jukiman Situmorang.
Total terdapat tiga ekskavator yang disita polisi dari tiga wilayah yang semuanya berada di anak sungai Kapuas. Empat petambang ilegal juga ditahan sementara untuk dimintai keterangan, yakni AN (25), IS (33), WL (29), dan AG (27).
”Mereka sedang kami periksa dan akan terus ditindaklanjuti, tidak mungkin alat berat ini punya mereka. Mereka hanya pekerja yang dibayar. Kami akan kejar sampai dapat pemiliknya,” kata Jukiman.
Saat ini kawasan hutan di areal tersebut rusak dibabat. Di Sungai Murui, para petambang membabat hutan hingga 10 hektar sehingga menambah panjang rentetan laju deforestasi hutan di Kalteng. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, pada 2000-2014, laju deforestasi di Kalteng mencapai 64.000 hektar setiap tahun. Jumlah itu sama dengan 77.600 kali luas lapangan sepak bola.
Sementara luas tutupan hutan di Kalimantan Tengah pada 1990 mencapai 11.059.785 hektar dan pada 2014 menyusut tinggal 7.882.114 ha akibat pembukaan lahan perkebunan dan pertambangan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalteng Ermal Subhan mengatakan, pihaknya telah berkali-kali melakukan penertiban dan pembinaan kepada masyarakat. Namun, mereka kembali menambang.
”Menurut rencana, memang kami akan siapkan tempat khusus untuk pertambangan rakyat, tetapi yang pakai ekskavator dan alat berat lain harus ditindak. Itu namanya perampokan,” kata Ermal, Jumat (17/3).
Pada 1995, Pemerintah Provinsi Kalteng pernah melakukan penertiban dan pembinaan besar-besaran. Sedikitnya 2.460 petambang liar yang menggarap emas aluvial di dasar Sungai Kahayan dan sekitar 5.000 mesin sedot atau kato angkat dimusnahkan.
Pemerintah bersama beberapa instansi dan lembaga terkait memberikan lahan 3.500 ha kepada para petambang untuk ditanami karet. Sejak saat itu banyak petambang mulai beralih menjadi petani (Kompas, 15 Oktober 1995).
Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Aryo Nugroho mengatakan, seiring berjalannya waktu, petambang emas kembali bergeliat. Menambang emas bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar dan cepat ketimbang membudidayakan pohon karet.
”Permasalahan sumber daya alam di Kalteng itu justru semakin masif. Dulu hanya dilakukan menggunakan mesin tradisional, saat ini mereka menggunakan alat berat. Itu karena pemodal-pemodal besar juga ada di belakangnya,” kata Aryo.