GAZA CITY, SELASA — Kelompok Hamas, Palestina, telah menyusun draf program politik baru yang diharapkan bakal memperbaiki hubungan mereka dengan Mesir dan Barat. Dengan program politik baru itu pula, mereka ingin menampilkan wajah yang lebih moderat, dengan harapan Barat akan mencabut kelompok tersebut dari daftar teroris.
Hamas, kelompok yang diisolasi secara internasional, telah menguasai Jalur Gaza dalam satu dekade terakhir. Hubungan mereka dengan Mesir memburuk secara signifikan setelah Mohammed Morsi, presiden Mesir dari kalangan Ikhwanul Muslimin, digulingkan militer tahun 2013. Seperti tecermin dalam manifesto mereka, kelompok itu menampilkan karakternya sebagai gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel.
Draf program politik baru Hamas memunculkan kemungkinan berdirinya Negara Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem timur, wilayah yang direbut Israel dalam Perang 1967. Dokumen draf itu tidak menonjolkan hubungan dengan gerakan induknya, Ikhwanul Muslimin, yang ditarget pemerintah Mesir sebagai organisasi teror.
Program politik baru itu akan diumumkan akhir Maret ini. Meski demikian, Hamas terlihat tidak mengalami pergeseran ideologis secara signifikan untuk mencegah pengucilan pada basis pendukung garis kerasnya ketika kelompok-kelompok ultra-fundamentalis mulai tumbuh di Gaza.
Selain itu, program baru tersebut secara resmi tidak mengubah akad pendirian Hamas tahun 1988, yang menyerukan penghancuran Israel dan "melawan perebutan Palestina oleh warga Yahudi melalui jihad".
Saat menyebut Negara Palestina, Hamas tidak menyebutkan, apakah mereka menganggap berdirinya negara itu sebagai solusi yang bisa diterima dalam penyelesaian konflik dengan Israel atau sebagai batu loncatan menuju cita-cita jangka panjangnya untuk mendirikan negara Islam di seluruh wilayah Palestina berdasarkan sejarah, termasuk wilayah Israel saat ini.
Program baru itu juga tidak menyebut pengakuan terhadap Israel. Rival politik mereka di Palestina, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyatakan pengakuan pada Israel pada 1993. Saat itu, PLO masih dipimpin Yasser Arafat, pendahulu Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Poin-poin program baru Hamas tersebut disampaikan dalam wawancara kantor berita Associated Press dengan sejumlah pejabat Hamas, yang tidak bersedia disebut namanya mengingat program baru itu belum diumumkan di hadapan publik.
Salah Bardawil, salah satu pejabat Hamas, mengonfirmasi bahwa dokumen draf program baru politik Hamas telah disepakati melalui diskusi-diskusi internal dan telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa. "Ini puncak eksperimen politik yang dialami gerakan (Hamas) dalam sejarah," kata Bardawil.
Hamas berharap, manifesto barunya bakal meyakinkan Mesir bahwa mereka kini bukan lagi sayap militer Ikhwanul Muslimin (IM) meski secara formal tidak memutus hubungan formal dengan IM. Dokumen baru itu, menurut salah satu pejabat Hamas, ingin menggambarkan Hamas sebagai "gerakan Palestina dengan latar belakang Islam".
Pertahankan prinsip lama
Namun, beberapa kalangan menyebut, program baru itu bakal tetap sulit membantu Hamas dari pengucilan karena tidak memperlihatkan langkah sebenarnya dari gerakan itu dari kepercayaan intinya. "Dokumen itu menampilkan semacam perubahan yang dangkal, tetapi kenyataannya masih mempertahankan sebagian besar prinsip-prinsip Hamas," kata Akram Atallah, analis Gaza.
"Dunia mengakui PLO setelah (organisasi) itu melakukan negosiasi langsung dengan Israel. Apakah Hamas mau melakukan hal yang sama? Jika ya, begitulah cara dunia akan menerima Hamas."
Dokumen program baru Hamas itu akan dirilis setelah Hamas menuntaskan pemilihan umum internal. Para pimpinan biro politik kelompok tersebut diharapkan telah tersusun pada akhir bulan ini. Secara terpisah, sektor-sektor berbeda seperti Tepi Barat dan Gaza telah memilih dewan kepemimpinan masing-masing.
Di Gaza, tokoh kuat Yehiya Sinwar, yang lama menghuni penjara di Israel dan dekat dengan sayap militer Hamas, terpilih sebagai pemimpin tertinggi, menggantikan Ismail Haniyeh. Haniyeh kini bersaing untuk merebut posisi ketua biro politik, posisi yang saat ini diduduki Khaled Mashaal hingga berakhirnya masa jabatannya.
Munculnya kelompok pragmatis
Jibril Rajoub, pejabat senior Fatah, Senin (20/3), mengatakan, dirinya menganggap Hamas sebagai bagian dari ”tenun nasional” Palestina. Ia optimistis, inilah saatnya mematangkan persatuan. ”Islam politik telah gagal di seluruh wilayah ini,” kata Rajoub.
Ia yakin, pragmatisme di tubuh Hamas bakal mendapat dukungan. ”Saya kira, kesan kami saat ini adalah kelompok pragmatis menjadi arus utama di Hamas dan karena itu kami tidak terkejut bahwa mereka berusaha mengubah karakter mereka dan menerima berdirinya negara Palestina merdeka berdasarkan perbatasan 1967,” ujar Rajoub kepada wartawan di kota Ramallah, Tepi Barat.
Hamas didirikan pada Desember 1987, tidak lama setelah meletusnya intifada (perlawanan warga Palestina terhadap pendudukan Israel) yang pertama. Kelompok itu mengontrol Gaza, yang berpenduduk 2 juta jiwa, pada tahun 2007 dari pasukan loyalis Abbas.
Sejak pengambilalihan wilayah Gaza tersebut, Hamas diisolasi oleh dunia. Israel dan Mesir melakukan blokade ketat hingga menghancurkan ekonomi wilayah itu dan membuat warganya jatuh miskin. Meski terus ditekan, Hamas menolak syarat-syarat yang ditetapkan Barat untuk menjalin hubungan, seperti menghindari kekerasan dan mengakui Israel. (AP/MH SAMSUL HADI)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.