JAKARTA, KOMPAS — Bank Pembangunan Asia (ADB) mendorong pembangunan infrastruktur untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan memberantas kemiskinan. ADB juga menyebutkan perubahan iklim sebagai faktor yang diperhitungkan dalam pembangunan infrastruktur.
Sumber dana untuk pembangunan infrastruktur tersebut tak hanya berasal dari anggaran pemerintah, tetapi juga dari swasta. Di Indonesia, untuk menarik swasta terlibat dalam pembangunan infrastruktur, proyek perlu disiapkan dengan matang. Tanpa persiapan yang matang, antara lain soal studi kelayakan, swasta tidak akan tertarik untuk membiayai proyek tersebut.
Vice President ADB Bambang Susantono menyampaikan hal itu saat berkunjung ke Kompas, Selasa (21/3), di Jakarta. ”Swasta perlu kepastian hukum dan kepastian berusaha. Tidak hanya soal investasi jangka pendek, tetapi juga soal investasi jangka panjang di proyek infrastruktur,” kata Bambang.
Bambang didampingi Deputy Chief Economist ADB Juzhong Zhuang, Deputy Country Director ADB Indonesia Sona Shrestha, Director Economic Analysis and Operational Support Division ADB Edimon Ginting, dan Climate Change Specialist ADB Michael Rattinger.
ADB memperkirakan, kebutuhan investasi infrastruktur di Indonesia pada 2016-2020 sebesar 70 miliar dollar AS per tahun. Berdasarkan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, nilai itu setara dengan Rp 931,56 triliun. Namun, dengan memperhitungkan faktor perubahan iklim, ADB memperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia menjadi 74 miliar dollar AS atau Rp 984,792 triliun per tahun.
Sementara estimasi Pemerintah RI pada 2015-2019 hampir 73 miliar dollar AS atau Rp 971,484 triliun per tahun. Jumlah itu terdiri dari anggaran pemerintah 30 miliar dollar AS, BUMN 16,2 miliar dollar AS, dan swasta 26,6 miliar dollar AS.
Data yang dipaparkan ADB menunjukkan, rata-rata investasi infrastruktur di Indonesia—dari anggaran pemerintah pusat dan swasta—pada 2010-2014 sekitar 2,6 persen produk domestik bruto (PDB).
”Angka ideal pada kisaran 5-7 persen PDB,” ujar Bambang.
Edimon menambahkan, pendalaman pasar merupakan salah satu kunci meningkatkan investasi infrastruktur. Cara yang dilakukan pemerintah, antara lain melalui pembiayaan investasi non-APBN, diyakini dapat mendorong investasi infrastruktur.
Perubahan iklim
Dalam acara Meeting Asia’s Infrastructure Needs di Jakarta, kemarin, Juzhong Zhuang memaparkan, kawasan Asia perlu berinvestasi 26 triliun dollar AS selama 2016-2030 atau 1,7 triliun dollar AS per tahun. Investasi di sektor infrastruktur tersebut memasukkan perhitungan biaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Perkiraan kebutuhan investasi 1,7 triliun dollar AS per tahun itu lebih dari dua kali lipat perkiraan ADB pada 2009, yakni 750 miliar dollar AS. Perubahan iklim merupakan faktor utama penyumbang peningkatan itu.
”Jika tidak memperhitungkan biaya itu, kawasan Asia memerlukan investasi 22,6 triliun dollar AS atau 1,5 triliun dollar AS per tahun,” ujarnya.
Saat ini investasi infrastruktur di kawasan Asia baru 881 miliar dollar AS per tahun.
Pemerintah tiap-tiap negara, tambah Juzhong, diharapkan memenuhi 40 persen kebutuhan itu. Adapun sisanya dari sumber lain, terutama swasta. Oleh karena itu, swasta perlu meningkatkan investasi dari 63 miliar dollar AS per tahun menjadi 250 miliar dollar AS per tahun pada 2016-2030.
”Pemenuhan pembiayaan perlu didorong dengan reformasi fiskal, peningkatan peran swasta, dan pendalaman pasar modal. Hal itu perlu dibarengi dengan perencanaan pembangunan yang baik, reformasi regulasi, dan kemudahan berinvestasi,” ujarnya.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wismana Adi Suryabrata mengatakan, pemerintah melanjutkan agenda prioritas lima tahun, terutama di sektor infrastruktur. Dari sisi pembiayaan, pemerintah memprioritaskan dan mengefisienkan APBN untuk merealisasikan pembangunan. Namun, pembiayaan non-APBN juga terus didorong, terutama melalui investasi swasta.
”Kami juga terus mendorong pembiayaan melalui pasar modal dan ekuitas. Kami mengusahakan mendapatkan dana investasi yang bersumber dari dana-dana jangka panjang, seperti dana pensiun dan asuransi,” katanya.
Sona Shrestha mengemukakan, tahun ini, ADB memberikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia 2 miliar dollar AS. Selama lima tahun ke depan, ADB menyediakan 10 miliar dollar AS untuk RI. (HEN/NAD/AHA/IDR/BOY)