Pembebasan Mubarak dan Musnahnya Harapan Reformasi di Mesir
KAIRO, SABTU — Tidak ada perayaan atau pesta, yang mengiringi kepulangan mantan orang terkuat di Mesir, Hosni Mubarak, kembali ke lingkungan keluarganya setelah enam tahun ditahan di sebuah rumah sakit di Kairo, Jumat (24/3). Kepulangan itu bahkan terkesan berlangsung diam-diam. Bahkan, tidak ada sorot kamera pers yang selama lebih dari enam tahun proses hukumnya selalu mengerubungi Mubarak.
Mubarak jelas sudah tidak seperkasa dulu, saat memimpin Mesir selama hampir 30 tahun (1981-2011). Ia kini berusia 88 tahun. Ia keluar dari tahanan setelah pengadilan membebaskannya dari dakwaan berperan dalam pembunuhan ratusan pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan Mesir tahun 2011.
Mubarak meninggalkan Rumah Sakit Angkatan Darat di Maadi, kawasan suburban selatan kota Kairo. Di rumah sakit itu, ia menghabiskan sebagian besar masa tahanannya. Seorang pejabat keamanan Mesir mengatakan, Mubarak dibawa pulang ke rumahnya di Distrik Heliopolis dalam iring-iringan kendaraan.
Farid el-Deeb, pengacaranya, bercerita kepada koran Al-Masry al-Youm bahwa mantan Presiden Mesir itu pulang ke rumahnya didampingi dua anak laki-lakinya, Alaa dan Gamal. Para anggota keluarga Mubarak, termasuk istrinya, Suzanne, menunggu di rumah dan menyambutnya dengan sarapan bersama.
Di waktu yang sama, tidak ada reaksi di jalan-jalan kota Kairo atas pembebasan mantan orang kuat di Mesir tersebut. "Pengadilan Mubarak berlangsung enam tahun, menyebabkan publik bosan," ujar Mostafa Kamel al-Sayed, analis dan profesor ilmu politik di Universitas Kairo.
Tiadanya reaksi di jalan-jalan Kota Kairo atau wilayah lain di Mesir kembali menggarisbawahi kegagalan harapan revolusi Arab—populer dengan sebutan Musim Semi Arab—yang menyapu kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan sekitarnya pada tahun 2011. Harapan para aktivis Mesir agar Mubarak memperoleh hukuman lebih besar atas penyalahgunaan kekuasaannya pun telah menguap.
Di beberapa negara, seperti Yaman, Libya, dan Suriah, Musim Semi Arab telah menyebabkan tumbangnya atau tergerusnya kekuasaan pemerintah pusat. Di Mesir setelah Mubarak, pemerintahan negeri itu terhindar dari keruntuhannya. Namun, setelah itu pemerintahan tangan besi kembali memimpin negeri tersebut dengan tampilnya Presiden Abdel-Fattah el-Sissi, mantan Panglima Angkatan Bersenjata.
Pulihnya kekuasaan negara
Para pengacara dan aktivis hak asasi manusia di Mesir meyakini, pembebasan Mubarak mengilustrasikan pulihnya kembali kekuasaan negara melalui penyelamatan salah seorang dari bagian kekuasaan itu. "Pengadilan, upaya banding, dan pengadilan ulang—yang diikuti dengan pembebasannya—hanyalah proses mengulur-ulur waktu hingga militer merebut kembali kekuasaan," kata Ahmed Helmi, pengacara hak asasi manusia di Kairo.
"Ada apati yang luar biasa saat ini. Reaksi yang Anda temukan di jalan-jalan (atas pembebasan Mubarak) hanyalah canda seseorang yang mengatakan bahwa Mubarak sudah pulang ke rumahnya. Kembalinya Mubarak ke rumahnya hanyalah detail kecil dalam gambar yang lebih besar."
Situasi ini kontras dengan saat Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden, enam tahun silam, setelah 18 hari ditekan melalui unjuk rasa besar-besaran. Mubarak ditangkap pada 11 April 2011, dua bulan setelah ia mundur. Ketika ia berada di balik kerangkeng menjalani persidangan, media Mesir menyebut pengadilan saat itu sebagai "pengadilan terbesar abad ini".
Keputusan pembebasan Mubarak oleh pengadilan merupakan salah satu dari serangkaian keputusan pengadilan yang membebaskan sekitar 20 pejabat tinggi Mesir, mulai dari beberapa menteri kabinet era Mubarak, para petinggi polisi, hingga para ajudan mereka, dari tuduhan korupsi atau memiliki keterkaitan dengan kasus pembunuhan sekitar 900 pengunjuk rasa selama masa revolusi. Sebagian dari pejabat yang dibebaskan itu sudah mulai kembali aktif dalam kehidupan publik.
Mubarak dibebaskan dari dakwaan memerintahkan pembunuhan para pengunjuk rasa saat pergolakan tahun 2011, pada 2 Maret lalu, oleh pengadilan tingkat banding di Mesir. Keputusan pengadilan banding itu mengakhiri tiga kasus peradilan atas Mubarak dalam dakwaan serupa, yakni ketidakmampuannya menghentikan pembunuhan para pengunjuk rasa.
Mubarak dihukum penjara seumur hidup pada pengadilan pertamanya tahun 2012, tetapi dibebaskan setelah dua kali pengadilan ulang. Pada Mei 2015, pengadilan kriminal mendakwa Mubarak menyalahgunakan dana perawatan istana kepresidenan. Mubarak diganjar hukuman penjara tiga tahun plus denda. Dua anaknya juga didenda 125 juta poundsterling (sekitar Rp 92,1 miliar).
Keputusan itu dikukuhkan pengadilan yang lain, tahun lalu. Pembebasan Mubarak, Jumat lalu, dilakukan karena ia dianggap telah menjalani hukuman penjara dalam kasus tersebut. Mubarak menjalani hampir seluruh masa tahanannya di rumah sakit. Menurut pengacaranya, hal itu karena kondisi kesehatannya yang buruk.
Dua anak laki-laki Mubarak juga didakwa dalam kasus penyalahgunaan dana yang sama. Keduanya diganjar hukuman penjara tiga tahun. Mereka masih menghadapi kasus-kasus lain terkait malapraktik perdagangan. Namun, mereka telah bebas dan beberapa kali tampil dalam acara-acara umum yang dipublikasikan di media. Di acara-acara tersebut, keduanya disambut antusias para pendukung Mubarak.
Kamis lalu, Jaksa penyidik membuka kembali kasus korupsi lain terkait dugaan bahwa Mubarak dan keluarganya memperoleh hadiah senilai 1 juta dollar AS dari koran milik pemerintah, Al-Ahram.
Merindukan orde lama
Proses pengadilan Mubarak yang lama berlangsung di tengah pasang-surut dinamika politik di Mesir, mulai dari kebangkitan kelompok Islamis dan kejatuhannya tahun 2013 hingga kudeta militer yang mengantarkan Abdel-Fattah el-Sissi menjadi Presiden Mesir tahun 2014.
Setelah hampir tiga tahun diperintah el-Sissi, publik Mesir mulai membandingkan pemerintahan saat ini dengan pemerintahan era Mubarak. Bertahun-tahun dalam kekacauan politik dan keamanan dalam negeri yang memburuk telah memukul ekonomi Mesir, persis seperti yang pernah dan selalu diperingatkan Mubarak.
Warga Mesir mengeluh pendapatan mereka yang merosot dan ikat pinggang mereka yang semakin ketat, bersamaan dengan inflasi yang melewati 30 persen. Pemerintah memperketat anggaran sebagai syarat mengucurnya pinjaman kredit dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Situasi saat ini pun seolah "menyatukan" pendukung dan penentang Mubarak dalam satu pikiran bahwa era el-Sissi saat ini lebih buruk daripada era pemerintahan Mubarak. Pendukung Mubarak mulai berharap pada kembalinya Mubarak ke tampuk kekuasaan.
"Mubarak adalah presidenku," ujar Sameh Ahmed, pendukung Mubarak, yang usaha bisnisnya saat ini terpukul akibat memburuknya ekonomi Mesir. "Aku berharap, Mubarak kembali tampil memimpin. Aku hidup dalam kondisi lebih baik di bawah era Mubarak dibanding saat ini."
"Jika Anda membandingkan rezim Mubarak dengan pemerintahan el-Sissi, Anda bisa memberi Mubarak sebuah penghargaan hak asasi manusia. Dulu ada garis merah dan batasan atas tindakan represi. Kini tidak ada lagi garis merah, tidak ada batasan (atas tindakan represi)," ujar Helmi, yang mewakili puluhan anak muda yang diadili dalam kasus tuduhan bergabung Ikhwanul Muslimin, kelompok yang dilarang oleh pemerintahan el-Sissi.
Kini, banyak keluarga di Mesir merasakan kehilangan harapan. Seperti yang diutarakan ibu dari Mohamed al-Gundy, yang meninggal—menurut sang ibu, karena dipukuli hingga meninggal—setelah ditangkap di Alun-alun Tahrir dan dibawa ke kantor polisi.
"Ia (al-Gundy) tidak ingin menggulingkan pemerintahan atau menggantinya dengan pemerintahan baru atau siapa pun, ia hanya menginginkan reformasi... dan tak satu pun harapannya terwujud, tak satu pun hal-hal yang dibayar dengan kematiannya tercapai," kata ibu al-Gundy. (AP/SUMBER-SUMBER LAIN)