JAKARTA, KOMPAS — Komitmen tegas pemerintah diperlukan dalam program pencegahan terorisme. Upaya melawan terorisme yang hanya dilakukan aparat penegak hukum dinilai tidak cukup untuk mencegah kehadiran sel terorisme baru dan meredam rencana aksi-aksi baru kelompok teroris yang terus berkembang.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (25/3), mengatakan, penegakan hukum tidak bisa sepenuhnya menjamin pencegahan terorisme bisa berjalan efektif karena permasalahan sumber daya manusia (SDM) hingga koordinasi antarlembaga penegak hukum, seperti Polri serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, masih lemah. Alhasil, para terpidana terorisme masih dapat leluasa menyebarkan paham radikal, bahkan merencanakan aksi teror dari dalam penjara.
Huda menjelaskan, program pencegahan terorisme harus memadukan kualitas dan kuantitas SDM, koordinasi antarlembaga yang baik, dan dasar hukum yang mampu beradaptasi dengan perkembangan kelompok teror.
Aparat penegak hukum, terutama Polri, memiliki prestasi baik dalam upaya pencegahan aksi teror. Akan tetapi, pencapaian itu perlu diikuti pula oleh kementerian/lembaga lain yang harus mampu merangkul para pelaku teror dengan pendekatan kemanusiaan.
”Negara tidak boleh kalah dari mereka (anggota kelompok teroris). Semua pihak harus memahami pentingnya langkah pencegahan, misalnya perlu ada undang-undang yang kuat untuk menjangkau kegiatan awal kelompok teroris, yaitu baiat dan latihan militer,” kata Huda.
Lebih lanjut, ia menambahkan, para terpidana terorisme juga perlu mendapat pengawasan ketat. Pengawasan itu, lanjutnya, berupa penyaringan ketat terhadap kunjungan sejumlah terpidana terorisme.
Huda mencontohkan bagaimana Rois, salah seorang terpidana terorisme, dapat merekrut dan mengontrol jaringan teroris yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Kamis kemarin. Rois merekrut terduga teroris baru melalui instruksi yang ia berikan kepada para penjenguknya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Sebagai terpidana mati, Rois, lanjut Huda, akan terus melawan negara. Saat ini, Rois berperan sebagai pemberi instruksi. Akan tetapi, jika tidak diantisipasi, perannya akan terus meningkat menjadi ideolog bagi sel-sel teroris baru.
”Koordinasi antarlembaga diperlukan karena harus ada penyaringan yang ketat terhadap orang-orang yang menjenguk para terpidana itu. Pembatasan siapa yang diizinkan menjenguk bisa dilakukan, tetapi nyaris sulit mengontrol apa yang mereka bicarakan,” katanya.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, radikalisasi di dalam penjara dan peran terpidana teroris merekrut teroris baru jadi pelajaran bagi Polri untuk memberikan pengawasan ekstra di LP. Karena itu, Polri meningkatkan koordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan untuk memberikan pengawasan lebih ketat kepada terpidana terorisme, terutama pimpinan jaringan teroris seperti Aman Abdurrahman dan Rois.
”Kami juga tengah menjajaki upaya untuk menyediakan LP khusus bagi terpidana terorisme. Sebab, jika terpidana teroris disatukan dengan kasus kejahatan konvensional justru berbahaya, memungkinkan adanya transfer pola pikir dan pemahaman radikal,” kata Boy.
Rehabilitasi
Secara terpisah, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pemerintah melalui kementeriannya konsisten melaksanakan rehabilitasi sosial pelaku, korban, dan keluarga mereka yang diserahkan Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
”Dari Januari sampai Maret ini ada 129 orang. Terakhir diserahkan tiga hari lalu 12 orang terdiri dari 4 perempuan dewasa, 3 anak perempuan, dan 5 anak laki-laki,” ujarnya.
Di penampungan Kemensos, mereka mendapat layanan psikososial, terapi trauma proses penggerebekan, penangkapan, dan deportasi yang dialami mereka. Namun, pendalaman penanganan terorisme serta deradikalisasi tetap tugas Densus 88 dan BNPT. (SAN/RTS)