Hari Selasa (28/3), umat Hindu akan merayakan pergantian tahun Saka, dari Saka 1938 menuju Saka 1939. Beda tahun Saka dari tahun Masehi adalah 68 tahun.
Saat pergantian tahun seperti ini, umat Hindu melakukan perenungan, evaluasi diri, dengan melaksanakan empat pantangan (catur brata) penyepian, yakni amati geni,amati lelanguan,amati karya,dan amati lelungan.
Amati geni sebagai pantangan utama bukan hanya berarti tidak menyalakan api (lampu). Sebab, kata amati, selain berarti ’memadamkan’, juga bisa dimaknai sebagai ’mengendalikan’. Adapun geni, yang mencerminkan kekuasaan Tuhan sebagai Brahma (Sang Pencipta), adalah cahaya pengetahuan dengan kekuatannya yang diwujudkan sebagai Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, inti prosesi Nyepi sesungguhnya terpusat pada usaha pengendalian diri kita sebagai manusia kreatif untuk melangkah lebih baik dalam menata masa depan. Hal itu baru bisa dicapai jika kita berhasil mengendalikan emosi (lelanguan) kita, mengendalikan perbuatan (karya) kita, dan memusatkan pikiran agar tidak mengembara (lunga) ke sana kemari.
Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita (III-5) disebutkan, ”Walaupun untuk sesaat, tak seorang pun mampu untuk tidak berbuat, karena setiap manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam, yang memaksanya bertindak”.
Ya, selama manusia menjalani kehidupan duniawi ini, mereka memang tak dapat melepaskan dirinya dari kegiatan kerja. Sebab, tanpa bekerja, kehidupan tak dapat berlangsung.
Akan tetapi, perbuatan seperti apa yang sebaiknya dilakukan manusia? Bhagawad Gita membandingkan pekerja yang dungu dan pekerja yang pandai. Hal ini dalam usaha mengangkat kesadaran manusia sebagai ciptaan tertinggi agar mampu melakukan perbuatan-perbuatan mulia sesuai dengan martabatnya.
”Seperti orang dungu yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah harusnya orang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi, wahai Bharata, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial” (BG.III-25).
Kesejahteraan manusia
Bekerja tanpa kepentingan pribadi, hanya untuk kesejahteraan manusia! Inilah yang masih absen dalam diri kita sebagai bangsa sekarang ini. Kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok justru tampak lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan bangsa. Bahkan, kepentingan bangsa sering disalahgunakan untuk kepentingan diri dan kelompok.
Bisakah kita bersama-sama ”menyepi” sesaat sambil bertanya kenapa kita masih begitu kuat terikat (lelanguan) untuk bekerja demi kepentingan pribadi dan kelompok, seraya menyisihkan kepentingan bangsa?
Ajaran Hindu menyebut tiga kecenderungan sifat manusia, yakni satwa (jujur dan berbudi luhur), rajah (aktif dan ambisius), dan tamah (masa bodoh dan serakah).
Tampaknya kecenderungan pemuka bangsa yang menonjol sekarang ini masih didominasi oleh mereka yang tergolong rajah dan tamah. Hanya sedikit yang tergolong satwa. Padahal, untuk dapat bekerja tanpa kepentingan pribadi dan hanya bagi kepentingan bangsa (umat manusia), diperlukan kepasrahan yang tulus kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
”Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat kepada sang atman, bebas dari nafsu keinginan dan keakuan, berperanglah, enyahkan rasa gentarmu itu”. Demikian nasihat Sri Krishna kepada Arjuna.
Dalam perenungan ini, mari kita letakkan cita-cita proklamasi kemerdekaan sebagai tujuan bersama.
Jika setelah hampir 72 tahun merdeka kita baru berhasil seperti sekarang ini, tampaknya kita harus berintrospeksi dan melakukan perenungan.
Apakah karma kita masih kurang tulus dalam mengabdi bagi kepentingan bangsa? Kalau iya, marilah kita lebih sadar untuk meningkatkannya bersama-sama sambil mengendalikan api di dalam diri.
Raka Santeri, Wartawan