Saat Ukir Jepara Digenggam Asing
Supriyono (43) malas-malasan melubangi kayu ukir dengan tatah besi di teras rumahnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, teronggok beberapa set kursi, meja, dan lemari jati kecil yang mulai berdebu. Tiga bulan lebih barang itu tak tersentuh. ”Dulu, mebel-mebel seperti ini paling lama bertahan di rumah satu pekan. Sekarang, menarik minat para pemburu mebel dari luar kota atau luar negeri pun tidak,” kata perajin kecil mebel di Desa Krapyak, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, itu.
Supriyono tidak berani lagi memproduksi mebel jika tidak ada permintaan. Tidak berputarnya produksi dan penjualan membuatnya hanya menggamit seorang pekerja. Padahal, tiga tahun lalu, masih ada tiga perajin yang membantu.
Sekitar 400 meter dari rumah Supriyono, Nurdaim (50) mondar-mandir di teras rumahnya. Ia heran, dalam tiga bulan terakhir, tak ada yang berkunjung ke ruang pamer kecil-kecilan miliknya. Setiap hari, Nurdaim membersihkan lemari-lemari yang terpajang di depan rumahnya dengan harapan menarik minat pembeli, tetapi nyatanya tetap saja sepi.
Nasib dua perajin kecil mebel itu mewakili kondisi ratusan perajin di ”Kota Ukir”, Jepara. Menyusuri bengkel dan ruang- ruang pamer gerai mebel, geliatnya tak lagi hidup seperti awal tahun 2000-an. Riuh suara gergaji dan gesekan ampelas beradu kayu dari tempat-tempat usaha kini tak banyak terdengar. Hanya satu-dua pengunjung melihat-lihat sejenak sejumlah barang, lalu bergegas keluar tanpa transaksi.
Dirundung beban mahalnya kayu, mereka kini mesti bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing bermodal besar. Para investor itu menjadikan pasar mebel Jepara berada dalam genggamannya. Mereka mendominasi ekspor mebel Jepara yang pada 2015 tercatat mencapai 150,32 juta dollar AS atau hampir Rp 2 triliun.
Seperti dialami Suparno, pemilik UD Windi Barokah, usaha kecil mebel di Desa Kedungcino, yang tertatih-tatih mempertahankan produksi kusen, pintu, meja, dan lemari. ”Dengan modal kecil, usaha saya kalah bersaing dengan industri besar, apalagi yang asing itu.”
Direktur Jepara Ethnic Furniture Sahli Rais mengatakan, banyak eksportir mebel lokal kini turun status menjadi subeksportir dari pengusaha asing di Jepara. Sementara pemasok dan perajin di kampung-kampung justru menjadi buruh di pabrik industri asing. Pemasok yang biasa menjadi juragan kecil di kampung beralih menjadi mandor pabrik.
Sejumlah perusahaan asing yang memiliki pabrik di Jepara di antaranya berasal dari Jerman, China, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan Jepang. Mereka juga mendapat kemudahan membeli bahan mentah berupa kayu log untuk diolah langsung.
Menurut perajin kecil di Desa Mulyoharjo, Sunarno, omzetnya anjlok karena sepi pesanan. Empat tahun lalu, ia mampu meraup omzet Rp 250 juta per hari, tetapi kini maksimal Rp 40 juta per hari. Jumlah pekerjanya juga susut, tinggal tiga orang. ”Saya menunggu nasib, kalau kondisinya terus memburuk, ya, tutup saja,” ujar Sunarno.
Perajin lokal kini terus terpinggirkan. Parahnya lagi, industri mebel bermodal asing malah melakukan aktivitas mulai dari hulu hingga hilir. Padahal, industri penanaman modal asing (PMA) itu unggul di sejumlah lini, mulai dari urusan modal, kemudahan bahan baku, jaringan, hingga pemasaran.
Bengkel dan ruang pamer usaha bermodal asing menempati jalan-jalan yang strategis sehingga mudah dijangkau calon pembeli. Ruangannya jauh lebih besar. Adapun tempat usaha perajin lokal yang terselip di sudut-sudut gang sempit.
Dengan sejarah panjang dan nama besar di sektor kerajinan kayu ukir, Jepara memang menjadi magnet investor asing. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Jepara, pada 2014 tercatat ada 27 PMA dengan investasi Rp 640 miliar. Pada 2015 naik menjadi 32 PMA. Tahun 2016, ada 18 PMA dengan investasi Rp 3,15 triliun.
Kawin kontrak
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara Raya Maskur Zaenuri mengamati, sejak 2005, terjadi perubahan pola bisnis sektor mebel. Sebelum itu, industri kecil dan menengah mebel hanya memproduksi barang, kemudian menunggu pembeli datang. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, pola bisnis berubah. Mereka tidak lagi menunggu, tetapi datang ke negara tujuan ekspor.
Belakangan, mereka membawa pemodal masuk ke Jepara. Ada tiga pola masuknya pemodal asing. Pertama, perusahaan dibangun dengan modal asing sepenuhnya, jumlahnya sekitar 20 perusahaan. Mereka bergerak di bidang mebel dan orientasi pasarnya ekspor, dengan investasi mulai dari Rp 1,5 miliar sampai Rp 200 miliar.
Pola kedua, mereka menggandeng pengusaha setempat yang jumlahnya diperkirakan 50-60 perusahaan. Sekitar 70 persen modalnya tetap dari kantong pemodal asing. Nilai investasinya di bawah Rp 1,5 miliar.
”Pola terakhir adalah yang paling menarik. Kami sebut investasi kawin kontrak. Pemilik biasanya nikah siri atau kawin kontrak dengan laki-laki atau perempuan asal Jepara. Modalnya tetap dari pihak asing, tetapi tercatatnya penanaman modal dalam negeri. Ini untuk memudahkan dalam menjalankan usaha,” ujar Maskur.
Nur Ain, Manajer PT Razan Trading, salah satu perusahaan mebel PMA di Jepara, mengemukakan, perusahaan mulai merintis kerja sama dengan pihak luar negeri sejak 1990. Awalnya, mereka bekerja sama dengan perajin setempat untuk mendirikan perusahaan bersama, atas nama warga lokal.
Nur Ain mengatakan, pemain baru dalam investasi industri mebel masih terus tertarik ke Jepara. Bagi pengusaha lokal, asal ada kerja sama tentu saja tidak terlalu merugikan.
Namun, perajin kecil mengeluhkan persaingan tidak sehat yang muncul. ”Semua seperti mesin fotokopi. Setiap perajin mencipta produk atau desain mebel baru, hanya dalam hitungan jam sudah muncul kembarannya di showroom besar,” ucap Sunarno kesal.
Butuh kebijakan untuk mencegah perajin kecil bersaing langsung dengan pengusaha bermodal raksasa. Mesti ada pengaturan yang saling menguntungkan, mulai dari pembatasan jenis pekerjaan hingga berbagai kewajiban investor asing. Jika dibiarkan, niscaya kearifan lokal seni ukir kayu Jepara tinggal riwayat masa lalu. (Aditya P Perdana/Winarto Herusansono)