SURABAYA, KOMPAS – Jumlah bencana hidrometeorologi yang menghantam Jawa Timur meningkat dua tahun terakhir. Hal ini berpotensi membahayakan masyarakat. Pada tahun 2015, tercatat 287 kejadian bencana hidrometeorologi. Setahun kemudian menjadi 379 peristiwa. Bencana hidrometeorologi menjadi ancaman paling menakutkan karena mencakup 98 persen kejadian bencana alam di Jawa Timur.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim mencatat, pada 2015 jumlah kejadian bencana alam ada 292 peristiwa dan meningkat menjadi 386 peristiwa setahun kemudian. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi berupa cuaca ekstrem dengan hujan deras disertai angin kencang dan sambaran petir mendominasi (98 persen). Banjir, banjir bandang, tanah longsor, tanah bergerak, yang mengakibatkan permukiman porak poranda dan prasarana hancur menjadi lebih sering terjadi.
Di Kabupaten Trenggalek misalnya, pada 2015 tercatat 12 kejadian tanah longsor. Sedangkan tahun lalu, ada 38 kejadian tanah longsor. “Daerah kami amat rentan longsor karena tanah bergerak kian meluas, sehingga harus bekerja keras dan waspada demi menghindari kerusakan lebih parah dan jatuhnya korban jiwa,” kata Bupati Trenggalek Emil Dardak dalam Diskusi Publik Membedah Tata Kelola Bencana di Jawa Timur oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Senin (27/3) di Surabaya.
Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf mengatakan, ancaman bencana yang menakutkan memerlukan kesatuan dan keterpaduan pandangan, sikap, dan tindakan. Bencana selalu berdampak kepada manusia sehingga penanganan dan pencegahan harus cepat, tanggap, humanis, dan tuntas. Apalagi di zaman teknologi informasi, berita bencana lebih cepat tersebar dan diterima. Pemerintah harus bekerja atau memberi tanggapan yang sistematis, terukur, dengan amat cepat. “Tidak becus kalau aparatur datangnya terlambat. Memalukan kalau datang malah menambah beban,” ujarnya.
Meski demikian, kata Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernardus Wisnu Widjaja, manusia cenderung mengabaikan ancaman dan tanda alam sebelum bencana terjadi. Padahal, semua jenis bencana kecuali gempa bumi bisa diprediksi sehingga antisipasi seharusnya bisa ditempuh untuk menghindari korban jiwa dan menekan kerusakan fisik.
Dari kajian BNPB, kekeringan dan cuaca ekstrem menjadi bencana paling berdampak. Kekeringan bisa menyengsarakan 228 juta warga dengan cakupan luas wilayah 163 juta hektar. Cuaca ekstrem berpotensi mengganggu kehidupan 244 juta warga dan merusak wilayah seluas 106 juta hektar.
“Untuk itu kami mendorong setiap daerah proaktif mengadakan hari kesiagaan,” kata Wisnu. Maksudnya, dalam setahun, minimal ada satu hari yang didedikasikan untuk latihan evakuasi dan menghadapi bencana alam di setiap daerah. Jika bisa ditambah menjadi satu hari dalam setiap bulan. Masyarakat harus diingatkan agar waspada dengan bencana, sedangkan pemerintah tidak boleh abai apalagi absen mengingatkan potensi bencana alam yang setiap saat mengancam.
Kepala Pelaksana BPBD Jatim Sudarmawan menambahkan, dalam konteks pemerintahan, aparatur pusat dan provinsi bisa menekan kabupaten dan kota untuk membuat dan melaksanakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) berbasis pengurangan risiko bencana alam. Misalnya, mempertahankan kawasan hutan di hulu sungai, tidak mengeluarkan izin atau membiarkan sempadan sungai atau bagian bawah tebing sebagai kawasan hunian.