Selamat Datang Penyakit Mulut dan Kuku
Di tengah kasus korupsi impor daging yang menjerat salah satu hakim konstitusi Patrialis Akbar, Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari 2017 lalu membuat putusan final menyangkut kebijakan impor daging tersebut. Walaupun dengan syarat ketat, impor daging tetap menggunakan sistem zona. Sistem zona inilah yang menjadi pangkal sengketa selama delapan tahun terakhir di antara pendukung dan penentangnya.
Dalam risalah yang dapat diakses di situs web MK (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1), putusan MK tersebut diambil oleh tujuh hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Maria Farida Indrati.
Putusan MK diambil atas permohonan uji materi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Para pemohon adalah peternak sapi Teguh Budiyana, dr drh Mangkoe Sitepu yang pernah tertular penyakit mulut dan kuku (PMK), peternak sapi perah Dedi Setiadi dan Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, pedagang daging sapi Muthowif, serta dosen Rachmat Pambudy. Permohonan uji materi disampaikan ke MK 16 Oktober 2015.
Para pemohon mempersoalkan munculnya kembali sistem zona dalam UU 41/2014 Pasal 36. Sistem zona yang dimaksud adalah sistem impor hewan dan produk hewan yang dimungkinkan berasal dari wilayah tertentu di suatu negara yang bebas penyakit hewan tertentu, walaupun negara tersebut secara umum belum bebas penyakit hewan tersebut. Padahal sistem zona yang semula ada di UU 18/2009 ini telah dibatalkan dengan putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009 tanggal 25 Agustus 2010.
Dalam putusan yang terakhir, MK menekankan syarat-syarat pemasukan hewan dan produk hewan dalam sistem zona mutlak diterapkan. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan hewan dan produk hewan dari zona suatu negara ke dalam wilayah Indonesia adalah inkonstitusional.
MK dalam putusannya menyebutkan, pemasukan ternak ruminansia yang berasal dari zona dalam suatu negara tidak boleh dilakukan jika: (1) berdasarkan analisis risiko di bidang kesehatan hewan oleh otoritas veteriner hal itu dinilai membahayakan kepentingan nasional, (2) tidak diakui oleh otoritas veteriner Indonesia meskipun telah dinyatakan bebas penyakit menular oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia, (3) tidak atau belum ada pulau karantina sebagai instalasi karantina pengamanan maksimal.
Walaupun MK memutuskan ada kemutlakan dalam penerapan tiga syarat impor dari zona suatu negara tersebut, risiko masuknya bibit penyakit hewan menular tidak terhindarkan. Kasus PMK adalah kasus klasik yang sering dijadikan contoh untuk menjelaskan masalah sistem zona ini karena memang sampai saat ini PMK satu-satunya penyakit hewan menular yang berhasil dibasmi, sehingga Indonesia dinyatakan bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia. Indonesia juga satu-satunya negara di Asia Tenggara yang bebas PMK (Harian Kompas, 5/3/2003).
PMK pertama kali dikenal di masa Hindia Belanda 1887. Saat itu penyakit ini menyerang sapi Frisian Holstein di Malang, Jawa Timur. Pada saat yang sama terjadi wabah di Belanda dan negara- negara Eropa Barat lainnya. Dengan cepat, penyakit menyebar ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat. Dengan cepat pula PMK menyebar ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Di Bali, wabah baru muncul tahun 1962 karena pergerakan hewan ilegal dari Jawa. Wabah muncul lagi di Bali tahun 1963 dan tidak ada laporan kejadian hingga terjadi wabah kembali tahun 1973.
Namun, usaha intensif memberantas PMK baru dilakukan setelah wabah PMK di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 1983. Wabah juga menyebar ke Jawa Timur dan ke seluruh Pulau Jawa. Upaya dibantu oleh Pemerintah Australia yang juga berkepentingan agar tidak tertular PMK dari Indonesia. Usaha membuahkan hasil dan tahun 1990 Indonesia dinyatakan negara bebas PMK tanpa vaksinasi oleh OIE. Sejak saat itu Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan keamanan maksimum untuk mencegah masuknya PMK ke Indonesia. (Harian Kompas, 18/3/2003).
Keberhasilan mempertahankan status bebas PMK tersebut, ditunjang oleh kebijakan impor berbasis negara selama 19 tahun sejak 1990 sampai diterbitkannya UU 18/2009. Dengan keluarnya putusan MK tersebut, pintu masuknya Aphtovirus, penyebab PMK, akan sedikit terbuka karena impor.
Sudah menjadi rahasia umum, pengelolaan yang baik dan tingkat kedisiplinan, serta perilaku korupsi masih menjadi masalah di Indonesia. Kesangsian masih menyelimuti apakah syarat-syarat yang ketat tersebut dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan. Kasus korupsi yang melingkupi uji materi UU 41/2014 itu sudah dengan sendirinya menghilangkan kepercayaan akan penerapan UU tersebut di lapangan.
Selain itu, secara teknis kedokteran hewan, sifat Aphtovirus yang menyebabkan PMK dengan mudah menular. Seperti sudah disampaikan saksi ahli dalam sidang MK, yaitu Dr drh Sofyan Sudardjat, mengutip penelitian Smith, John, dan Malfin, PMK dapat ditularkan melalui udara hingga sejauh 100 kilometer. Selai itu hewan yang terserang PMK dapat kelihatan tidak sakit, tetapi dapat menularkan virus kepada sapi hewan yang lain. Penyakit ini dapat ditularkan melalui daging, tulang, dan produk-produk tepung daging dan tulang.
Sejauh ini, pemerintah memang belum berencana mengimpor sapi dan produk sapi dari negara tertular PMK. Informasi terakhir, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, seperti dikutip situs web Kementerian Pertanian (http://www.pertanian.go.id) menyambut baik pemasukan sapi indukan impor asal Australia ke Jawa Timur yang dilakukan PT Japfa melalui PT Santori. Sapi indukan impor tersebut sebanyak 3.700 ekor, pelepasannya dilakukan pada tanggal 21 Desember 2016 oleh Konsul Jenderal Indonesia Darwin, Australia, dan tiba di Pelabuhan Tanjung Perak tanggal 25 Desember 2016.
Australia adalah negara yang bebas PMK. Namun, bukan berarti pemasukan hewan dan produk hewan dari negara yang tertular PMK tidak terjadi. Dalam catatan Kompas, Sekretaris Kabinet Pramono Anung pernah menyatakan pemerintah membuka keran impor daging dari India (Harian Kompas, 31 Mei 2016). India adalah negara yang masih tertular PMK, tetapi beberapa negara bagiannya bebas PMK. Namun, tidak jelas setelah pernyataan Pramono Anung itu impor daging dari India telah dilakukan atau tidak.
Apabila impor daging dari India itu dilakukan—termasuk jika diimpor dari negara bagian atau zona yang bebas PMK—tetap saja mengkhawatirkan. Namun, apa mau dikata, keran impor dari zona bebas PMK tersebut sudah dibuka lebar. Selamat datang Penyakit Mulut dan Kuku.