Industri Mebel Dibawa ke Ratas
Demikian juga dengan suku bunga pembiayaan dari perbankan yang tinggi, hal itu mengakibatkan industri mebel dalam negeri tidak kompetitif. Kemenperin pun mendorong agar suku bunga pinjaman bisa diturunkan agar pelaku industri dalam negeri berdaya saing kuat. ”Tetapi suku bunga pembiayaan tunduk pada aturan perbankan, itu sudah di luar kewenangan kami,” ujar Haris.
Pihaknya menilai, pembiayaan industri mebel jangan pula semata menggantungkan pada perbankan. Ada skema pembiayaan lain, seperti dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang berpeluang dimanfaatkan pelaku industri mebel, terutama berorientasi ekspor. ”Ada rapat di LPEI pada 30 Maret mendatang terkait penugasan khusus. Kami akan memasukkan persoalan pembiayaan dalam kesempatan itu,” ujar Haris.
Bersama Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin, Haris mengatakan, Kemenperin akan memetakan perusahaan, negara tujuan ekspor, serta besaran dan skema pembiayaan yang dibutuhkan industri mebel. Selain itu, pemerintah juga akan mendorong penggunaan produk mebel dan kerajinan dalam negeri.
Hal ini seperti terjadi tahun 2012, ketika pemerintah mendorong perusahaan swasta atau badan usaha milik negara menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan berupa meja kursi berbahan rotan ke sekolah dasar di sekitar perusahaan.
UKM terbebani SVLK
Di tengah adanya kesulitan akses bahan baku bagi perajin mebel di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, masih juga ada kebijakan yang merepotkan pelaku industri, khususnya industri skala usaha kecil dan menengah. Mereka terbebani biaya pembuatan dokumen sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Perajin mesti mengeluarkan biaya hingga puluhan juta rupiah untuk mendapatkan sertifikasi itu.
Tanpa jaminan kemudahan mendapatkan bahan baku, kata Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara Raya, Masykur Zaenuri, daya saing industri mebel nasional di pasar bebas ASEAN bakal menurun.
Penerapan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan itu dianggap memperlemah industri mebel, khususnya yang berskala kecil dan menengah. ”Beban mengurus dokumen SVLK mencapai Rp 80 juta untuk industri kelas menengah. Bagi industri kecil dan menengah, ini sangat memberatkan,” ujarnya.
Pengiriman setiap produk mebel ke luar negeri sesuai aturan itu juga mesti mengantongi dokumen V-Legal. Biayanya Rp 100.000 per pengiriman.
Penerapan regulasi SVLK pada industri hilir dinilai kurang relevan. Lebih baik SVLK wajib diberlakukan pada industri hulu, yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan kayu hutan. Adapun penerbitan SVLK tersebut ditujukan untuk mencegah terjadinya pembalakan liar dan menjaga kelestarian hutan.
Jika negara tujuan ekspor tidak mengharuskan SVLK, pemerintah mesti memberikan kemudahan kepada industri hilir untuk mengekspor produknya tanpa SVLK. ”Kenapa tidak meniru Vietnam. Mereka tidak terlalu pusing dengan SVLK. Mereka lebih berani dengan melakukan impor kayu dari negara tujuan ekspor produk mebel mereka,” kata Zaenuri yang juga pemilik CV Aulia Jati Indofurni, Jepara.
Vietnam mengimpor kayu dari Laos, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Vietnam merupakan pesaing utama industri mebel Indonesia, terutama dalam menggarap pasar ekspor. Industri mebel Vietnam tahun 2011 sekitar 1,8 miliar dollar AS, kini menjadi 6 miliar dollar AS.
Sementara di Cirebon, Jawa Barat, pelaku industri dan perajin rotan dituntut mengembangkan desain produk rotan yang baru dan tidak bergantung pada desain pembeli di luar negeri. Inovasi desain produk rotan menjadi siasat untuk bertahan di tengah menurunnya ekspor mebel.
”Salah satu penyebab surutnya industri rotan beberapa tahun lalu tidak hanya karena kekurangan bahan baku yang diekspor, tetapi juga karena pengembangan desain produknya minim,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Inovasi dan Desain HIMKI Satori di Cirebon.
Menurut Satori, perusahaan yang menghasilkan produk rotan umumnya hanya mengerjakan desain produk dari pembeli luar negeri. Perusahaan hanya menyediakan jasa pembuatan produk, sedangkan desainnya milik pembeli. Di sentra produksi rotan Cirebon, paling tidak 150.000 tenaga kerja tidak terserap. Sekitar 43 persen atau 220 pabrik mebel rotan di wilayah Cirebon juga gulung tikar
Hal ini berbeda dengan perusahaan yang mengembangkan desain produk rotan. ”Jika memiliki desain sendiri, pelanggan tidak bisa beralih ke perusahaan lain karena produk rotan dengan desain tertentu hanya ada di perusahaan tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, industri bahan baku rotan di Kalimantan juga hampir mati. Hal itu terjadi karena dalam tujuh tahun terakhir, rotan mentah tak boleh diekspor, sedangkan daya serap industri kerajinan rotan dalam negeri sangat rendah. Di sisi lain, industri kerajinan rotan dalam negeri justru kekurangan bahan baku.
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Petani, Pedagang, dan Industri Rotan Kalimantan (Peppirka) Muhammad Irwan Riadi, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mengemukakan, pangsa pasar rotan Kalimantan menjadi sempit sejak berlaku Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011. (WHO/KRN/GRE/IKI/CAS)