KPPU Keluarkan Tiga Rekomendasi
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan perhatian khusus untuk membantu pemerintah menyelesaikan sengkarut dalam kebijakan di industri jasa transportasi, khususnya terkait pengaturan taksi daring dan taksi konvensional.
Ada tiga rekomendasi yang diberikan KPPU kepada pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan bisa mendorong penyelenggaraan industri jasa transportasi sesuai prinsip persaingan usaha yang sehat.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, rapat internal untuk membahas persoalan jasa transportasi yang belakangan semakin menghangat menghasilkan tiga poin utama sebagai saran dan pertimbangan yang diharapkan dapat ditindaklanjuti pemerintah terkait dengan revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016.
”KPPU mendukung pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, untuk menetapkan pengaturan yang dapat menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha penyedia jasa angkutan taksi, baik itu taksi konvensional maupun taksi online yang dikategorikan sebagai angkutan sewa khusus,” kata Syarkawi dalam siaran persnya yang diterima harian Kompas, Selasa (28/3/2017).
Tiga rekomendasi
- KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, wasit persaingan usaha ini menyarankan agar pemerintah mengatur penetapan batas atas tarif saja.
- Kedua, KPPU menyarankan pemerintah agar tidak mengatur kuota atau jumlah armada, baik taksi konvensional maupun online yang beroperasi di suatu daerah. Dengan demikian, penentuan jumlah armada bagi pelaku usaha angkutan diserahkan kepada mekanisme pasar.
- Komisi menyarankan pemerintah agar menghapus kebijakan surat tanda nomor kendaraan (STNK) taksi online yang diharuskan atas nama badan hukum.
Menurut Syarkawi, penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi di industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan dan bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen. Tarif batas bawah juga menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi industri jasa transportasi. Lebih jauh batas bawah tarif dapat menjadi sumber inflasi.
”Kami merekomendasikan agar pemerintah pusat atau daerah berdasarkan kewenangannya menetapkan besaran tarif batas atas saja, tidak untuk batas bawah. Regulasi batas atas dapat menjadi pelindung bagi konsumen dari proses eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya bersifat oligopoli,” katanya.
Terkait kuota jumlah armada, setiap pelaku usaha akan menyesuaikan jumlah armadanya sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan oleh pemerintah akan mengurangi persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen. Namun, pemerintah selaku regulator perlu mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi.
Pemerintah harus tegas dengan memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi alias mengeluarkan pelaku usaha dari pasar apabila melanggar regulasi.
Dengan demikian, pengawasan yang superketat ini akan menjaga kinerja operator taksi konvensional dan berbasis aplikasi daring untuk memenuhi standar pelayanan minimal.
Pemerintah juga harus menetapkan sebuah standar pelayanan minimal yang terinci dan harus dipatuhi semua pelaku usaha penyedia jasa taksi. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
Terakhir, Komisi menyarankan pemerintah menghapus kebijakan STNK taksi daring yang diharuskan atas nama badan hukum. ”Kewajiban STNK kendaraan taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari perseorangan kepada badan hukum,” ujarnya.
Syarkawi mengatakan, pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi sistem taksi daring dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki oleh anggota. Dengan demikian, meskipun STNK tetap tercatat sebagai milik perseorangan, tetapi dapat memenuhi semua kewajiban sebagai perusahaan jasa angkutan taksi dalam naungan badan hukum koperasi.
Pengalihan STNK kendaraan pribadi menjadi koperasi tidak sejalan dengan prinsip gotong royong yang selama ini dibangun dan dianut oleh ekonomi Indonesia.
Pengalihan ini juga tidak sejalan dengan UU Koperasi. Dengan demikian, pola pengaturan STNK ini bisa memberikan ruang bagi masyarakat yang ingin berusaha dalam industri taksi daring.
”Pemerintah seharusnya melihat sebuah peluang untuk mengembangkan sharing economy yang luar biasa besar dari taksi online ini, dengan mengubah tatanan di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri,” ujarnya.
(*/BDM)