Perajin Rotan Cirebon Bertahan Jadi Peternak
Jatuhnya industri rotan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sekitar 12 tahun lalu, membuat suram ribuan perajinnya. Kini, nestapa itu bisa terjadi lagi.
Rumput dalam karung berada di pundak tua Kadina (64), warga Plumbon, Kabupaten Cirebon, Kamis (23/3). Keringat bercucuran di wajah keriputnya. Sudah dua karung rumput ia pikul saat sinar matahari menyengatnya siang itu.
Namun, Kadina seperti tak memedulikannya. Tak ada pilihan lain, semuanya adalah siasatnya mempertahankan hidup dalam lima tahun terakhir. Bapak tujuh anak ini membiayai keluarganya dengan menjadi buruh ternak kambing.
”Saya pelihara sembilan kambing milik orang lain. Mulai dari mencari pakan hingga menjaga kesehatannya. Baru dapat penghasilan kalau kambingnya beranak. Kalau beranak dua, saya dapat satu. Setahun, pendapatan saya hanya Rp 500.000 dari hasil menjual anak kambing. Sehari-hari, saya menggantungkan hidup kepada istri. Ia berjualan tusuk sate, upahnya Rp 192.000 per bulan,” katanya.
Sebelum tahun 2005, hidup Kadina dan Rasti, istrinya, tak semuram itu. Mereka bekerja sebagai perajin rotan di kawasan Tegalwangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Upahnya lumayan, berkisar Rp 300.000-Rp 500.000 sebulan.
”Saya terpaksa meninggalkan kerajinan rotan tahun 2005 karena pabrik tempat saya bekerja kesulitan bahan baku. Saya dan 50 orang lainnya mengundurkan diri. Hingga kini, saya belum pernah mendapat kesempatan kembali lagi menjadi perajin rotan,” katanya.
Setelah berpisah dengan rotan, hidupnya berubah drastis. Kemiskinan seperti enggan pergi. Mulai dari biaya listrik yang tidak terbayar hingga hilangnya kepercayaan masyarakat karena Kadina hidup miskin. Anak mereka, Dadi, juga harus menanggung malu. Tak punya biaya, Dadi pun putus sekolah.
”Saat itu harus bayar Rp 350.000. Kami tidak punya uang. Dadi pernah kabur tiga hari karena malu. Padahal, ia harapan keluarga kami untuk hidup sejahtera. Sekarang Dadi hanya menjadi penjual bubur,” ujar Kadina yang tidak tamat sekolah dasar.
Gagal beternak
Kadina tidak diam menghadapi persoalan ekonomi keluarga setelah hancurnya industri rotan di Cirebon. Tak ada pekerjaan di Cirebon, ia merantau bermodal nekat mengikuti ajakan rekannya ke Sulawesi.
Namun, hidupnya tak membaik. Di tanah rantau, ia makin sengsara. Bekerja sebagai buruh pengumpul barang bekas, ia pernah tak digaji hingga dua tahun. Ia lantas kembali ke Cirebon tahun 2010 tanpa hasil, tetap saja miskin.
Angin segar sebenarnya sempat dirasakan Kadina saat kembali tiba di Cirebon. Ia bersama 40 bekas perajin rotan mendapat bantuan program ternak kambing dari Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon. Meski jauh dari kemampuannya sebagai perajin, ia mencoba optimistis.
Ia dan 40 orang lainnya mendapat bantuan 13 kambing untuk diternakkan. Jika dari induk kambing melahirkan dua anak kambing, salah satunya menjadi milik Kadina. Namun, karena minim pengalaman, program itu tak membuahkan hasil. Mantan perajin tidak untung, tetapi kembali merugi.
”Sudah setahun dipelihara. Anak kambing lahir, tetapi mati lagi karena saya tidak punya pengalaman,” ucap Kadina.
Rohman, Ketua Kelompok Ternak Gotong Royong, mengakui program beternak kambing untuk warga yang beralih profesi dari perajin rotan tidak berjalan mulus. Eks perajin rotan, lanjutnya, banyak yang menjadi buruh tani, kuli bangunan, hingga tenaga kerja Indonesia.
Dukungan
Kisah Kadina kembali menjadi alarm bahaya saat industri mebel nasional kembali terpuruk saat ini. Ekspor mebel Indonesia pada 2016 tercatat tinggal 1,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 21,4 triliun) di luar kerajinan. Perolehan ekspor ini turun 16 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bahkan, sejumlah pabrik di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang merupakan investasi luar negeri mulai hengkang ke Vietnam.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto mengatakan, kepergian perusahaan berskala besar ini menyebabkan ratusan tenaga kerja terdampak. ”Di Vietnam, perizinannya tidak banyak. Di Indonesia, perusahaan harus melalui 100 macam izin,” ujarnya.
Di saat yang sama, daya saing produk rotan Indonesia masih di bawah Vietnam. Wakil Ketua HIMKI Abdul Sobur mengatakan, nilai ekspor produk rotan Vietnam mencapai 6,5 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 86 triliun.
Nilai itu jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Keunggulan komparatif, seperti ketersediaan bahan baku hingga banyaknya sumber daya manusia, sepertinya tak bisa dimanfaatkan akibat banyaknya regulasi yang belum memihak industri mebel nasional.
Banyak di antara mereka yang terlibat di dalamnya, kata Sobur. Lebih dari 70 persennya adalah pelaku usaha kecil dan menengah. ”Untuk satu jenis mebel saja dibutuhkan 18 perajin. Syarat menjadi perajin juga tidak harus sekolah tinggi, tetapi harus terampil. Di tengah sulitnya mencari pekerjaan layak saat ini, industri ini seharusnya diperhatikan, jangan ditinggalkan,” tuturnya.
Sobur mengemukakan, sebenarnya pengusaha dan perajin sudah berusaha mandiri mempertahankan mebel tetap berjaya. Pameran besar seperti Indonesia International Furniture Expo (Ifex) terus digelar setiap tahun. Ifex 2017 yang diadakan di Jakarta, 11-14 Maret, bisa membukukan transaksi lebih dari 300 juta dollar AS atau sekitar Rp 4 triliun.
Sobur berharap kreativitas perajin Indonesia mengolah bahan baku bernilai tinggi bisa menggairahkan kembali industri dalam negeri yang kini terpuruk. Pada 2016, setidaknya ada 150.000 dari total 2,1 juta perajin yang diputus kontrak kerjanya akibat seretnya produksi dan anjloknya nilai ekspor mebel.
Hal itu juga yang tidak diinginkan Kadina. Cukup ia saja yang mengalami masa kelam rotan. Jangan ada lagi ayah yang sulit menghidupi keluarga dan tak berdaya melihat anaknya putus sekolah akibat keterbatasan biaya. Harapan Kadina adalah doa. Industri mebel dan rotan harus bangkit memoles sejahtera untuk orang di sekitarnya.
(Abdullah Fikri Ashri/Cornelius Helmy)