Keberpihakan untuk Kemerdekaan
Perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi tengah marak didirikan di Indonesia. Sebagian hadir dengan solusi berkelanjutan karena secara ekonomi memiliki nilai bisnis dan sebagian lagi bak kerlip bintang yang hadir relatif sebentar.
Di antara yang hadir secara berkelanjutan, sebagian di antaranya lantas didanai oleh modal ventura atau bahkan ”angel investor”. Jika ”angel investor” adalah seseorang atau sekelompok orang yang langsung mendanai startup, modal ventura merupakan dana kelolaan investor pihak ketiga.
Mengapa modal ventura? Karena sebagian besar perusahaan rintisan berbasis teknologi yang berpotensi tinggi ini juga cenderung berisiko tinggi sehingga relatif sulit beroleh kredit perbankan dan atau menjadi perusahaan terbuka. Selain investasi finansial dan bantuan teknis serta pengelolaan, hak kepemilikan saham dan suara guna menentukan arah perusahaan rintisan juga tercakup di dalamnya.
Hal terakhir, ditambah kecenderungan kepemilikan asing pada sebagian modal ventura yang dikucurkan pada sejumlah startup membuat sejumlah pihak khawatir. Ini dipicu kemungkinan peralihan saham lewat skema investasi yang dikhawatirkan membuat inovasi oleh sejumlah startup lokal beralih menjadi milik asing.
Sebagian di antara kekhawatiran inilah yang akhirnya memicu dibentuknya Asosiasi Tech Startup Indonesia (Atsindo) sebagai asosiasi untuk membesarkan startup lokal sembari tetap menjaga kemerdekaan mereka. Didirikan Frans Budi Pranata, Handito Joewono, Lyra Puspa, Santi Mia Sipan, dan Sunil Tolani—Handito Joewono sebagai ketua umum pada 10 November 2016—Atsindo diluncurkan secara resmi di Jakarta pada Jumat (10/3).
Sejumlah tokoh hadir dalam peluncuran tersebut. Beberapa di antaranya Presiden Direktur PT Ilthabi Rekatama yang juga Komisaris PT Regio Aviasi Industri Ilham A Habibie dan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram.
”Saya sambut baik berdirinya organisasi ini,” kata Agus dalam sesi diskusi di awal acara.
Sejumlah bidang kegiatan perusahaan rintisan berbasis teknologi ditampung dalam asosiasi tersebut. Masing-masing adalah agro tech, maritime tech, energy tech, tourism tech, health tech, fin tech, logistic & retail tech, dan environment tech.
Badan usaha pelaku tech startup dan badan hukum pembina usaha rintisan berbasis teknologi menjadi anggota-anggota inti asosiasi tersebut. Sasaran utama asosiasi tersebut adalah perusahaan rintisan berbasis teknologi yang sudah melampaui fase euphoria startup dan sudah lebih fokus pada aspek komersialisasi.
Sebanyak 1.000 startup berbasis teknologi yang kompetitif bakal dibina untuk diakselerasi menjadi 100 perusahaan teknologi yang tumbuh pesat dalam sepuluh tahun mendatang. Aspek teknologi dan aspek komersial menjadi fokus utama pembinaan tersebut.
Saka guru perekonomian
Atsindo juga memasang target jauh ke depan, di antaranya dengan niat untuk membentuk ekosistem dan regulasi startup agar menjadi saka guru ekonomi, yang juga menjadi tema pembahasan oleh Ilham A Habibie. Ini seperti hendak bergerak dari masa sebelumnya, pada era masyarakat industri, tatkala koperasi didengung-dengungkan sebagai saka guru perekonomian Indonesia, menuju era masyarakat informasi dengan ekonomi digital sebagai penghelanya.
”Ini obrolan keynote,” kata Ilham.
Pada bagian awal terkait tema tersebut, Ilham menyoroti relatif minimnya dana penelitian dan pengembangan yang dialokasikan yang dialokasikan dari pendapatan domestik bruto (PDB). Ia mengatakan, idealnya minimal 2 persen besaran PDB dialokasikan sebagai dana penelitian dan pengembangan.
Setelah membandingkan kondisi di sejumlah negara yang berada pada kisaran di atas 1 persen hingga lebih dari 3 persen, Ilham menyebutkan bahwa di Indonesia besarannya kurang dari 0,1 persen. Jurnal Nature edisi 1 September 2016 seperti dikutip dari laman kompas.com menyebutkan, Korea Selatan sebagai negara dengan anggaran riset tertinggi, yakni 4,3 persen PDB.
Predikat tersebut disusul Israel dengan 4,1 persen PDB dan Jepang 3,6 persen PDB. Sementara pada saat yang sama Indonesia disebutkan menganggarkan sebesar 0,2 persen PDB untuk riset dibandingkan hanya 0,09 persen pada 2014.
Kenaikan anggaran tersebut hanya mengubah rumus penghitungan, dan bukan pada besaran anggaran riil untuk kebutuhan penelitian. Ilham menambahkan, relatif sedikitnya anggaran riset itu masih ditambah dengan dana riset yang lebih didominasi anggaran pemerintah.
Jika di sejumlah negara dua pertiga anggaran riset berasal dari industri, kondisi di Indonesia cenderung sebaliknya. Ia memperkirakan, persentasenya bahkan bisa mencapai 80 persen dana riset negara dan sisanya barulah dilakukan sektor swasta.
Padahal, penelitian merupakan salah satu dasar untuk pengembangan startup. Oleh karena itulah, ia menyarankan adanya semacam cluster bersama dengan sejumlah universitas.
Ini dilakukan mulai dari fase awal penelitian hingga selesainya riset tersebut, tidak sekadar memanfaatkan hasil penelitian. Pembagian tugas dalam setiap proses tersebut, lanjut Ilham, menjadi hal penting untuk dilakukan.
Secara khusus Ilham menyoroti dimenasi toleransi yang jadi aspek penting dalam berinovasi, selain teknologi dan talenta sumber daya manusia. Menurut dia, toleransi atas beragam perbedaan itulah yang menjadi dasar sejumlah lejitan inovasi dari Silicon Valley di California, Amerika Serikat.
Orang-orang datang dari berbagai penjuru dunia dan dihargai beragam ide berikut segala perbedaannya. Itu ditambah dengan kehadiran sejulah universitas ternama seperti Berkeley dan Stanford yang juga turut memberikan kontribusi pada ledakan inovasi di lembah silikon.
Budaya kerja dan budaya antarmanusia, kata Ilham, adalah sejumlah hal penting yang memengaruhi.
Selain itu, kata Ilham, juga diperlukan perbedaan peran antara wirausahawan dan inovator. Ia mencontohkan hal itu seperti dilakukan Eric Schmidt yang perannya relatif besar saat masa-masa awal mengelola hasil inovasi Larry Page dan Sergey Brin berupa mesin pencari Google.
Ilham juga menyebutkan tentang sejumlah inovasi yang dihasilkan anak bangsa dan potensi besar sumber daya manusia Indonesia yang kerap kali tidak berkelanjutan. “Banyak orang pintar di Indonesia, tetapi tidak jadi industri. Saya kira jawabannya dari Atsindo ini ya,” katanya.
Bursa khusus
Terkait pembiayaan sebagai tantangan yang kerap dialami startup berbasis teknologi di Indonesia, Lyra Puspa, Sekretaris Jenderal Atsindo, Selasa (14/3), menyebutkan bahwa salah satu yang tengah didorong adalah lahirnya bursa saham khusus bagi startup.
Ia menyebutkan, idealnya bursa saham baru khusus bagi startup tersebut berlokasi di Surabaya. Menurut Lyra, hal itu penting sebagai salah satu upaya pemerataan ekonomi.
Ini menyusul sejumlah aspek, seperti maritim dan pariwisata, yang juga dinaungi Atsindo, sebagian potensinya ada di wilayah Indonesia timur. Ia juga berharap terhadap akses permodalan supaya tidak lagi menjadi dominasi para pelaku di bagian barat Indonesia.
”Atsindo sangat mendorong lahirnya bursa saham khusus bagi startup,” kata Lyra.
Selain itu, Atsindo juga disebutkan Lyra bakal mendorong terbentuknya ekosistem bapak angkat sejumlah startup dengan perusahaan-perusahaan sejenis yang sudah mapan. Model lainnya ialah dengan membina sebagian startup guna memasok sebagian kebutuhan industri sejenis yang lebih besar.
”Keempat, sebagai penjamin bagi pemberi pinjaman,” kata Lyra. Ini penting, misalnya, sebagai referensi bagi sebagian startup memperoleh kredit usaha rakyat dari industri perbankan nasional sebagai bagian menjaga semangat kemerdekaan sebagai startup Indonesia.