JAKARTA, KOMPAS — Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Syafrudin, Senin (3/4/2017), menilai standar emisi Euro 4 mendesak segera diberlakukan di Indonesia mengingat dampak buruk emisi kendaraan bermotor di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Jumlah kendaraan bermotor di kota besar di Indonesia yang terus meningkat mengakibatkan kasus penyakit pernapasan pun terus naik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, seperdelapan kematian di dunia atau sekitar 7 juta jiwa per tahun disebabkan paparan polusi udara. ”Dari jumlah itu, 68.000 orang meninggal di Indonesia,” ungkapnya.
Di Jakarta saja tercatat 57,8 persen warganya menderita penyakit pernapasan akibat pencemaran udara. Penyakit pernapasan yang muncul akibat polusi udara meliputi asmatik bronkial, bronkopneumonia, obstruktif paru kronik atau penyempitan saluran pernapasan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia dan penyakit arteri koroner.
Kasus terbesar adalah ISPA, asma, dan penyakit arteri koroner. ”Penanganan penyakit tersebut menelan biaya yang tidak sedikit. Untuk menangani penyakit ini biaya mencapai Rp 38,5 triliun,” kata Ahmad menanggapi keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2017 yang mensyaratkan penggunaan BBM berstandar Euro 4 pada kendaraan bermotor, paling cepat pada 2018.
Pemberlakuan standar Euro 4 ini pun, lanjut Ahmad, sudah terlambat lima bulan dari kesepakatan awal. Seharusnya standar itu sudah diterapkan mulai Oktober 2016. Kesepakatan ini dicapai setelah pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan sejak tahun 2011.
Risiko penyakit malaria pun meningkat. Ini disebabkan pemanasan global yang juga ditimbulkan oleh emisi gas buang bukan hanya dari kendaraan bermotor, melainkan juga dari industri dan rumah tangga. Akumulasi emisi gas buang memperbesar ancaman bencana alam akibat cuaca ekstrem.
Namun, diakui Ahmad, upaya menekan jumlah penderita penyakit pernapasan itu sulit dilakukan karena produksi dan penggunaan kendaraan bermotor terus meningkat. Karena itu, menurut Ahmad, harus ada langkah strategis menurunkan emisi polusi udara itu.
Ada lima langkah yang harus ditempuh, yaitu merancang strategi pengendalian pencemaran udara di sektor transportasi dengan menggunakan bahan bakar bersih, adopsi teknologi rendah emisi, penerapan manajemen transportasi yang efektif, pengetatan standar emisi, dan menegakkan hukum terkait pengendalian pencemaran udara.
”Pemanfaatan bahan bakar bersih karena itu menjadi prasyarat penting,” kata Ahmad. Langkah ini mendorong perlunya mengadopsi teknologi kendaraan rendah emisi yang baru di Indonesia yaitu standar Euro 4.
Keterlambatan pemberlakuan standar Euro 4, lanjut Ahmad, telah menimbulkan kerugian ekonomi. Keterlambatan pemberlakuan Euro 4 berdampak juga pada lambatnya teknologi berstandar baru yang diadopsi industri otomotif nasional. Akibatnya daya saingnya di pasar regional Asia Tenggara melemah.
”Pada tahun 2002, posisi Indonesia sebagai pasar terbesar sektor otomotif di Asia Tenggara sudah direbut oleh Thailand ketika Indonesia terlambat mengadopsi Standard Euro 2,” ujar Ahmad.
Bersiap Euro 5
Saat ini, Pertamina tengah bersiap memproduksi BBM berstandar Euro 5. Kilang-kilang minyak Pertamina ditargetkan mulai memproduksi BBM Euro 5 pada 2024-2025. Hal itu seiring selesainya pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur, dan Balikpapan, Kalimantan Timur, serta program Refinery Development Masterplan Program (RMDP) pada kilang yang sudah ada.
”Untuk kilang baru, nanti produk BBM yang dihasilkan berstandar Euro 5 dengan kapasitas masing-masing 300.000 barrel per hari,” kata Direktur Megaproyek PT Pertamina (Persero) Rachmad Hardadi dalam siaran pers, Senin.
Program RDMP di kilang Cilacap, Jawa Tengah, akan menaikkan kapasitas produksi BBM sebanyak 400.000 barrel per hari dengan standar Euro 2. Sementara program RDMP kilang Balikpapan tahap pertama masih menghasilkan BBM berstandar Euro 2.
Namun, pada tahap selanjutnya, kilang akan akan menghasilkan BBM dengan standar Euro V. Program RDMP dan pembangunan kilang baru diharapkan menaikkan kapasitas produksi BBM nasional sebanyak 2 juta barrel per hari. Saat ini, kapasitas produksi kilang dalam negeri hanya 800.000 barrel per hari atau separuh dari konsumsi BBM nasional. Program RDMP dan pembangunan kilang baru menelan investasi sedikitnya 35 miliar dollar AS.
(YUN/APO)