JAKARTA, KOMPAS — Penguatan sistem pengawasan pangan di suatu negara dan antarnegara semakin dibutuhkan karena berbagai perkembangan di sektor industri pangan dewasa ini membuat ancaman terhadap keamanan pangan makin tinggi dan kompleks.
”Penguatan sistem pengawasan pangan di dalam suatu negara dan antarnegara semakin nyata dibutuhkan,” ujar ilmuwan kesehatan internasional dari WHO wilayah Asia Tenggara, Gyanendra Gongal, dalam Lokakarya Nasional untuk Keamanan Pangan di Indonesia, di Jakarta, Selasa (4/4/2017). Lokakarya ini terselenggara berkat kerja sama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Gongal mengatakan, persoalan keamanan pangan pada masa kini makin kompleks dan cakupannya meluas. Perubahan ini dipicu intensifikasi pertanian, konsolidasi pertanian dengan industri, perubahan perilaku terhadap pangan, globalisasi dan perdagangan internasional, arus migrasi manusia, bertambahnya jumlah penduduk, dan munculnya ancaman perubahan iklim karena kemungkinan munculnya penyakit baru.
Produksi makanan yang semakin massal sifatnya dapat menyebabkan masalah pangan di daerah geografi yang jauh jaraknya dari lokasi produsen. Sementara risiko terkontaminasi semakin terbuka karena bisa terjadi dalam proses penyimpanan, transportasi, dan penanganan dalam semua proses.
Pada acara yang sama, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, Suratmono, mengatakan, saat ini sudah ada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Pangan, ”Semoga segera bisa diterbitkan. Tinggal satu pasal yang belum selesai. Kalau ada PP ini diharapkan koordinasi dan pembagian tanggung jawab antarpemangku kepentingan semakin baik,” ujarnya. Peraturan pemerintah tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Perwakilan FAO Indonesia, Mark Smulders, mengungkapkan, pada kurun waktu 2011-2015, produk makanan yang tak sesuai standar yang ditetapkan meningkat sekitar 35 persen. Di antaranya, yaitu penggunaan zat berbahaya sebagai zat aditif dan kontaminasi microbial.
Smulder mengatakan, kerugian juga datang dari perdagangan antarnegara. ”Tahun 2015 Badan Karantina Perikanan melaporkan tujuh kasus penolakan ekspor ikan ke Italia, Perancis, Inggris, Rusia, Belgia, Korea Selatan, dan Kanada karena kandungan merkuri dan microbial yang berlebihan. Makanan yang aman akan menguntungkan semua pihak,” ujarnya.
Perangkat baru
Menurut staf ahli keamanan pangan FAO pusat di Roma, Catherine Bessy, Indonesia adalah negara pertama di Asia yang meminta pihaknya melakukan penilaian sistem keamanan pangan menggunakan perangkat baru yang dikembangkan FAO. Dalam proses penilaian tersebut para peserta diminta memberikan data tentang kebutuhan Indonesia dan selanjutnya diajarkan menggunakan perangkat penilaian tersebut termasuk metodenya.
Agar proses penilaian tersebut berhasil dan bisa menelurkan sistem keamanan pangan nasional yang lebih baik, dibutuhkan kejujuran. ”(Namun) Program ini bukan untuk menghakimi melainkan untuk membantu dan menargetkan perbaikan. Namun, kalau informasi yang dimasukkan ke model tidak akurat, itu akan mengakibatkan keterbatasan rekomendasi kami. Para peserta tahu pentingnya menyediakan data yang relevan. Data ini tidak akan kamu buka ke dunia internasional,” ujar Bessy.
”Indonesia proaktif ingin melakukan penilaian menggunakan alat yang kami kembangkan. Ini artinya Indonesia ingin ada perbaikan, melakukan implementasi standar panduan Codex Alimentarius (CA),” ujar Bessy. Codex Alimentarius adalah komisi yang mengatur standar internasional keamanan dan kualitas pangan.
Proses penilaian dan penyusunan sistem yang baru akan berlangsung hingga Desember 2017. Menurut Bessy, sepanjang proses akan ada pendampingan dari FAO dan WHO.
”Kami akan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh Indonesia. Setiap negara memiliki kebutuhan yang spesifik, tidak ada yang sama,” ujar Bessy.
(ISW)