Kantong Plastik yang Mengubah Gaya Hidup
Dinas Kebersihan DKI Jaya melancarkan kampanye pemakaian kantong plastik sampah mulai pertengahan April atau selambatnya awal Mei, khususnya di daerah Menteng dan Kebayoran Baru. Bak sampah yang banyak terdapat di muka rumah akan dihapuskan. Polisi khusus kebersihan akan dikerahkan untuk melakukan kampanye.
Kantong sampah tidak ditaruh di halaman dan depan rumah, melainkan diatur di “sudut” tersendiri agar tidak dikorek-korek gelandangan. Truk sampah akan mengangkut dan membuang sampah berikut kantongnya. DKI Jaya merintis pelaksanaannya dengan menghubungi industri plastik. Harga satu kantong plastik untuk sekitar 50 kilogram sampah sebesar Rp 10.
Berita tersebut termuat di harian Kompas, 7 April 1972, atau tepatnya 45 tahun lalu.
Ketika itu kantong plastik justru digadang-gadang dan pemerintah mengimbau masyarakat agar memakai kantong plastik untuk membuang sampah rumah tangganya. Sebelumnya, warga biasa membuang sampah langsung ke bak sampah yang biasanya terdapat di salah satu sisi pagar setiap rumah.
Pertimbangan mempopulerkan kantong plastik sampah antara lain agar para gelandangan tidak tertarik untuk mengais-kais sampah di dalam kantong plastik. Selain itu, petugas dari Dinas Kebersihan pun dengan mudah mengambil sampah di dalam kantong plastik dan melemparkannya ke truk sampah.
Truk sampah akan membunyikan lonceng sebagai isyarat bagi ibu-ibu rumah tangga untuk menyerahkan kantong plastik sampahnya. Bak-bak sampah di depan rumah warga akan dihapuskan. Sampai tahun 1981 masih menggalakkan penggunaan kantong plastik.
Kompas, 19 Mei 1981 antara lain mencatat tentang kantong plastik serba-guna sebagai salah satu kelengkapan yang harus disediakan penyedia jasa angkutan bus antar-kota dari Jakarta. Kantong plastik berukuran 18 x 30 sentimeter itu berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah masing-masing penumpang. Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) beralasan, penyediaan kantong plastik untuk menunjang program kebersihan yang dicanangkan pemerintah dan membiasakan penumpang agar tak membuang sampah sembarangan.
Tahun demi tahun berlalu dan masyarakat menjadi terbiasa dengan kantong plastik sebagai bagian dari kehidupannya. Jutaan kantong plastik beredar tak hanya untuk membuang sampah, tetapi untuk berbagai keperluan sehari-hari seperti tas belanja sampai wadah bekal anak ke sekolah.
Tahun 1980-an penduduk Jakarta lebih dari 6,5 juta jiwa, dan setiap hari sekitar 38.000 orang bepergian dari Jakarta ke berbagai kota. Sementara kantong plastik sudah menjadi kebutuhan “pokok” untuk menopang kehidupan sehari-hari tak hanya warga kota Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia.
20 tahun kemudian
Tahun 1992, atau 20 tahun setelah penggunaan kantong plastik “dicanangkan”, benda itu menimbulkan masalah. Kompas, 16 November 1992 mencatat, plastik sebagai sampah modern tidak bisa terurai. Di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara misalnya, ketika itu ratusan relawan yang melakukan aksi pembersihan perairan dan daratan menemukan sampah plastik yang paling dominan.
Sebelumnya, Oktober 1992 di kota Lengerich, Westphalen, Jerman, terjadi kebakaran di tempat sampah plastik perusahaan daur ulang. Timbunan plastik yang terbakar itu mengakibatkan 28 anggota pemadam kebakaran sesak napas, bahkan ada yang pingsan dan harus dirawat di rumah sakit. Mereka keracunan gas dioksin.
Meski mengetahui plastik sulit sekali hancur dan bisa menimbulkan racun, tetapi plastik dalam berbagai bentuknya tetap diproduksi dan dikonsumsi orang. Mengapa? Karena ongkos produksinya murah, semua orang relatif mampu membelinya dan plastik membuat hidup kita lebih nyaman. (Kompas, 29 Januari 1993).
Untuk mengatasi dampak buruk plastik, orang pun berusaha mendaur ulang plastik. Meskipun prosesnya tak sederhana dan tergantung pula pada jenis plastiknya. Alhasil, sampah plastik pun tetap menggunung (Kompas, 4 Maret 1993).
Lalu muncul gerakan konsumen hijau yang berprinsip pada 3 R yakni Re-duce (mengurangi penggunaan plastik yang tak ramah lingkungan), Re-use (memilih produk yang bisa berkali-kali digunakan), dan Re-cycling (memilih produk yang bisa didaur ulang). Berbagai kreativitas pun muncul antara lain lewat produk tas yang ramah lingkungan.
44 tahun kemudian
Daur ulang untuk mengatasi sampah plastik rupanya tidak berjalan lancar. Sampah plastik pun semakin menggunung. Kompas, 20 Februari 2016 menulis, konsumsi kantong plastik saja di Indonesia mencapai 9,6 juta lembar per hari. Itu baru kantong plastik yang berasal dari ritel modern! Belum termasuk kantong plastik yang dikonsumsi di pasar tradisional, di kaki lima, maupun untuk keperluan rumah tangga.
Sekadar mengingatkan, 9,6 juta kantong plastik itu, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bisa menutup lahan seluas 65,7 hektar per bulan, atau kira-kira 60 kali luas lapangan sepak bola. Konsumsi kantong plastik yang boros, ditambah gaya hidup sebagian masyarakat yang suka membuang sampah sembarangan, semakin menimbulkan masalah pada lingkungan.
Atau kita pun menjadi salah satu di antara warga Indonesia yang tak peduli pada lingkungan? Dalam benak kita, sepanjang sampah plastik itu tidak menimbulkan dampak negatif di rumah, sebodoh amat. Maka, dalam kehidupan sehari-hari, kita pun tak peduli melihat pengendara sepeda motor membawa kantong plastik sampah dan membuang sembarangan di pinggir jalan atau ke sungai/kali. Tak ada empati bahwa orang lain bakal terkena dampak dari sampah yang kita lemparkan.
Kita juga dengan enteng meminta pedagang di pasar tradisional dan di kaki lima untuk memberi satu kantong plastik untuk setiap jenis belanjaan. Harapannya, semakin banyak kantong plastik “gratis” yang kita dapat, berarti urusan membuang sampah di rumah pun beres. Sepanjang sampah di kantong plastik itu diambil petugas kebersihan, lingkungan rumah kita pun nyaman. Tak peduli dengan timbunan kantong plastik di tempat lain.
Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2007-2014 menunjukkan produksi sampah plastik sekitar 871 ton per hari. Untuk mengurangi volume sampah plastik, tahun 2011 KLHK mempertimbangkan untuk menerapkan cukai pada kantong plastik seperti halnya rokok dan minuman beralkohol. Entah mengapa, ini pun tak mewujud.
Baru pada Februari 2016 diluncurkan program kantong plastik berbayar dengan minimal harga Rp 200 per kantong. Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (Aprindo) dengan sekitar 32.000 peritel di Indonesia pun mendukung program tersebut.
Tetapi ini hanya berlaku di ritel modern yang menguasai sekitar 30 persen barang keperluan masyarakat. Sedang 70 persen lainnya dipenuhi dari pasar tradisional, warung dan kaki lima.
Uji coba program kantong plastik berbayar berlangsung 21 Februari 2016 - 30 Mei 2016 di 23 kota. Hasilnya menunjukkan penurunan konsumsi kantong plastik yang signifikan. Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 25 ritel modern di Jakarta menunjukkan penggunaan kantong plastik menurun 40-50 persen (Kompas, 12 Juni 2016).
Hal itu didukung jajak pendapat Litbang Kompas pada April 2016 bahwa perilaku sebagian warga Jakarta telah berubah. Mereka tak lagi menggunakan kantong plastik saat belanja, tetapi membawa tas belanja sendiri atau memakai kardus bekas.
Itu berarti sebagian warga mulai terbiasa mengubah gaya hidupnya berkaitan dengan kantong plastik. Hal positif bagi lingkungan itu, semoga tak sekadar “hangat-hangat tahi ayam”. KLHK dan pemerintah daerah harus tetap bersemangat dan tak bosan mengajak masyarakat mengurangi penggunaan kantong plastik.
Caranya? Dengan menaikkan harga kantong plastik. Di Ambon misalnya, harga kantong plastik Rp 2.500 – Rp 5.000. Bisa juga meniru langkah Wali Kota Banjarmasin yang menerbitkan peraturan, mulai 1 Juni 2016 ritel modern dilarang menyediakan kantong plastik (Kompas, 3 Oktober 2016).
Selain itu, kita sebagai warga kota pun seharusnya menyadari dampak negatif kantong plastik dan mau secara sukarela bergaya hidup ramah lingkungan mulai detik ini!