Kegalauan publik soal krisis di Mahkamah Konstitusi sedang coba dibenahi. Presiden Joko Widodo menunjuk ahli hukum tata negara kelahiran Solok, Sumatera Barat, Saldi Isra (49), sebagai hakim konstitusi. Saldi ditunjuk Presiden Joko Widodo menggantikan Patrialis Akbar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi awal tahun 2017. Ia akan dilantik Presiden Jokowi pada Selasa besok.
Boleh jadi istilah ”krisis” di MK ditolak sebagian elite politik karena toh dengan delapan hakim konstitusi, lembaga pengawal konstitusi itu masih berjalan. Namun, bagi publik yang masih menjaga kewarasan berpikir, penangkapan dua hakim MK, Akil Mochtar pada tahun 2013 dan Patrialis Akbar pada awal tahun 2017, adalah bencana bagi negara ini. Baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan mungkin dunia, dua hakim konstitusi ditangkap KPK untuk kasus yang sama: korupsi dari menjual putusan!
Hakim konstitusi ditempatkan undang-undang dasar sebagai negarawan yang menguasai konstitusi dan tata negara. Hampir tak ada profesi di lembaga negara yang dikonstruksikan sebagai ”negarawan” selain hakim konstitusi itu sendiri. Jadi, posisi hakim konstitusi begitu agung dalam lanskap politik Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan negarawan tak dijelaskan konstitusi. Banyak definisi soal negarawan. Salah satu yang bisa dirujuk adalah Manuel L Quezon, Presiden Filipina (19350-1944), yang mengatakan, ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my party begins.” Atas ada juga definisi seperti yang dikatakan James Clarke, intelektual Amerika Serikat abad ke-19, ”Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan.”
Almarhum Satjipto Rahardjo menyebut ucapan hakim konstitusi yang muncul melalui putusannya ibarat ludah api (idu geni). Begitu sembilan hakim konstitusi berucap dalam putusannya, 250 juta rakyat Indonesia harus tunduk dan mengikutinya. Begitu digdaya posisi Mahkamah Konstitusi. Peran dan fungsinya akan diirikan lembaga DPR yang beranggotakan 560 orang. Ada juga yang menyebut negarawan adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Karena agungnya posisi MK, keberadaan dan perilaku hakim konstitusi tak boleh tercela sedikit pun. Tutur katanya, perilakunya, diamati publik dan tak boleh sedikit pun diragukan publik. Hakim konstitusi harus menjaga segala tindakannya. Tidak pantas seorang hakim konstitusi menggunakan profesi atau memo suratnya untuk memengaruhi pejabat lain atau kepentingan pribadinya atau keluarganya.
Hakim konstitusi bukan selebritas layaknya seorang politisi yang murah dalam mengumbar pendapatnya dalam media arus utama atau media sosial. Demokrasi digital memang akan memancing orang untuk aktif di media sosial, tetapi sebaiknya posisi itu tidak diambil hakim konstitusi. Biarlah hakim konstitusi berbicara melalui putusannya.
Ketua MK Akil Mochtar menggunakan media sosial untuk pencitraan dirinya. Publik masih ingat bagaimana ciutan Akil di Twitter soal korupsi. Akil mencuit, @Kalau saya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukum, saya akan potong leher saya sendiri.” Kenyataannya, Akil ditangkap KPK karena menjual putusan sengketa pilkada.
Ada pepatah latin yang layak disimak. Nescit vox missa reverti yang arti harfiahnya, ”Kata yang pernah dilontarkan tidak dapat ditarik kembali.” Kemudian juga ada pepatah, vox audita perit littera scripta manet (suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal).
Sejarah masa lalu di MK seharusnya menjadi pelajaran bagi hakim konstitusi. Hakim konstitusi sebaiknya hidup dalam sunyi. Itulah yang digambarkan Richard Davis dalam Electing Justice: Fixing the Supreme Court Nomination Process. Davis menulis, menjaga mulut merupakan tahap awal memulai kemuliaan seorang hakim. Dari Amerika Serikat kita bisa belajar bagaimana Louis Brandeis saat dilantik sebagai hakim agung oleh Presiden AS Woodrow Wilson (1916). Brandeis berucap, ”I have not said anything and will not.” Dalam posisinya yang diam, hakim konstitusi akan semakin misterius dan harapannya akan semakin menambah kewibawaan. Hakim konstitusi muncul melalui putusan-putusannya bernas.
Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah menyusun Sapta Karsa Hutama (kode etik hakim konstitusi yang disempurnakan pada 1 Desember 2006). Kode etik itu ditandatangani sembilan hakim konstitusi, yakni Prof Dr Jimly Asshiddiqie, Mauraar Siahaan, Soedarsono, HAS Natabaya, Azhmad Roestandi, Mukthie Fajar, I Dewa Palguna, Hardjono, dan Laiza Marzuki. Sayang, berbagai kecelakaan yang menimpa hakim konstitusi menandakan kode etik itu ada, tetapi tak dihayati dan tak ada lembaga yang mengawasi.
Hadirnya Saldi Isra sepertinya menambah energi baru bagi MK yang sedang berada di titik nadir akibat perilaku hakim-hakimnya. Namun, harus diakui, tidaklah mudah bagi Saldi—salah seorang dari sembilan hakim konstitusi— meningkatkan kepercayaan publik kepada MK. Namun, sebagai ahli hukum dan penulis yang kritis terhadap MK, tidak salah jika publik menaruh harapan agar Saldi bisa memberikan warna pada putusan MK. Putusan MK belakangan ini dikritik publik karena miskin argumentasi yuridis dan tidak menjawab persoalan yang dihadapi bangsa ini. Putusan MK berkaitan dengan uji materi undang-undang terkait MK cenderung terus memproteksi MK sebagai lembaga yang tak mau diawasi.
Sebagai hakim konstitusi baru meskipun bukan baru sebagai pengamat MK, Saldi tahu secara persis bagaimana ”permainan” terjadi di MK. Karena pengalaman dan pengetahuan itulah, Saldi diharapkan bisa membangkitkan sistem sensor di MK untuk mendeteksi korupsi di MK, menangkap radar karyawan atau hakim yang punya kebiasaan menjual ”informasi” putusan ke luar dan menentukan prioritas dalam penanganan perkara di MK. Adanya jeda waktu antara rapat permusyawaratan hakim dan pembacaan putusan berpotensi terjadinya transaksi jualan informasi.
Ekspektasi terhadap Saldi tidaklah berlebihan. Namun, Saldi pun harus betul-betul bertransformasi dari seorang guru besar ahli hukum tata negara, dan aktivis anti-korupsi, menjadi negarawan yang menguasai konstitusi. Posisinya sebagai Komisaris Utama Semen Padang haruslah ditinggalkan!
Ada harapan besar, MK harus kembali pada jati dirinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan sekaligus juga penjaga ideologi (the guardian of ideology). Karena itulah limpahan tugas MK sebagai pemutus sengketa pilkada, saatnya dihentikan dan dilimpahkan ke lembaga lain.
MK harus kembali menemukan momentumnya untuk mengemban kiprahnya mengawal konstitusi. Dalam perjalanannya, pembentukan kelembagaan di transisi demokrasi ditentukan oleh 4M (man, momentum, media, dan money).
Faktor man atau manusia amat menentukan pengembangan kelembagaan MK. Kepemimpinan MK pertama dibawah Jimly Asshiddiqie sukses membangun fondasi MK. MK pun menemukan momentumnya ketika menghadirkan putusan yang menjawab kebutuhan publik waktu, seperti memulihkan hak pilih eks anggota PKI. Media pun aktif memberikan kinerja MK yang lahir dalam rahim reformasi. Faktor money (uang) tak menjadi hambatan bagi pengembangan MK.
Kepemimpinan MK kedua di bahwa Mahfud MD pun masih bisa mempertahankan reputasi MK. Putusannya soal membongkar rekaman wawancara rahasia dalam kasus Anggodo Widjojo merupakan putusan monumental. Kemerosotan MK mulai terasa saat Akil Mochtar memimpin MK dan kemudian ditangkap MK. Sejak itulah reputasi MK di mata publik kian kedodoran, terlebih untuk kedua kalinya hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK pada masa kepemimpinan Ketua MK Arif Hidayat.
Tugas berat itulah yang salah satunya dipikul Saldi.