Mewujudkan Mimpi, Meliput Konser Coldplay di Singapura
Meliput konser hampir selalu membuat saya senang. Mengapa? Sederhana saja, saya kebetulan menyukai musik. Dengan demikian, penugasan untuk meliput konser tidak pernah membebani saya. Saya menikmatinya saja.
Suatu hari Confucius pernah berkata, ”Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life”. Ya kata-kata Confucius ini benar. Saya sungguh menikmati pekerjaan ini seberat apa pun kondisinya di lapangan.
Mengapa saya katakan meliput konser ini berat? Karena faktanya, saya tidak sekadar menonton, tetapi justru bekerja. Bahkan, ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum hari-H. Juga ada banyak hal yang harus saya kerjakan saat hari-H konser.
Terkadang, saya bahkan harus rela tidak bersenang-senang karena harus bekerja keras saat penyanyi atau musisi itu tampil. Saya harus nonton (dalam konteks bekerja), mengetik, memotret, dan mengambil video. Komplet!
Sebagai penikmat musik, tentu saja saya punya daftar konser yang hendak saya saksikan dalam hidup saya. Beberapa konser yang saya incar di antaranya Coldplay, yang sedang populer di muka bumi ini.
Dalam daftar itu juga ada konser The Black Eyed Peas, Gwen Stefani, U2, Michael Jackson (sayang sekali sudah almarhum), dan oh ya, Bee Gees. Selera saya mungkin terlalu standar dan mainstream, tetapi terus terang, saya penasaran ingin melihat konser dari penyanyi dan musisi dunia itu.
Hasrat untuk menyaksikan konser Coldplay muncul ketika band asal Inggris yang dimotori Chris Martin (vokalis), Guy Berryman (basis), Jonny Buckland (gitaris), dan Will Champion (drumer) itu mengumumkan rencana tur konser album ketujuh mereka, A Head Full of Dreams.
Konser Coldplay bertajuk "A Head Full of Dreams" di National Stadium Singapura, Sabtu (1/4/2017).
Namun, tentu saja saya tak berharap terlalu banyak. Maksud saya, sudah jelas mereka takkan mau mampir ke Jakarta. Ada rumor, Coldplay tidak mau ke Jakarta karena ragu dengan urusan keamanan. Ada pula rumor bahwa Indonesia dianggap sebagai negara pelanggar hak asasi manusia.
Meski ada yang mengatakan, Coldplay takkan mau tampil di Indonesia karena ketidakmampuan promotor Indonesia untuk menyediakan tempat konser yang memadai dengan penguasaan teknologi khusus yang disyaratkan Coldplay. Yah sudahlah. Saya tak berani berharap.
Meski demikian, sesekali saya memantau tur-tur mereka di Amerika dan Eropa melalui internet. Saya juga mengintip aksi mereka di kanal Youtube dan merasa hampir yakin kalau saya hanya akan dapat menikmati aksi mereka melalui internet.
Begitu mereka mulai menggelindingkan jadwal tur di Australia, perasaan saya tiba-tiba terusik. Melbourne, yang menjadi salah satu kota persinggahan mereka dalam tur Australia, saya hitung-hitung hanya berjarak 5 jam dari Jakarta. Ah dekat sekali.
Menurut saya, konser mereka di Australia—setidaknya di Melbourne—dapat diliput. Apalagi, ada banyak orang Indonesia yang pergi ke Melbourne untuk menonton konser Coldplay.
Sayang sekali, nasib baik belum berpihak kepada saya. Saya tidak berkesempatan meliput Coldplay. Tidak lama setelah Coldplay konser di Melbourne, saya justru mendapat tugas meliput ke Melbourne meski untuk topik liputan lain. Dalam bahasa Jawa, kondisi ini disebut tlisipan alias tidak ketemu jalan.
Kesempatan untuk meliput konser Coldplay makin dekat tatkala mereka mengumumkan jadwal tur Asia. Coldplay hendak tampil di Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, Taiwan, dan Korea. Singapura, yang paling dekat dari Jakarta, dan menjadi pembuka untuk tur konser Asia, menjadi incaran saya.
Sayang sekali, saat penjualan tiket dibuka, tiket konser Coldplay di Singapura ludes hanya dalam waktu singkat. Bahkan kabarnya, tidak sampai dua jam. Ini menunjukkan antusiasme penonton yang begitu besar. Bahkan akhirnya, penyelenggara memutuskan konser Coldplay di Singapura digelar dua hari, Jumat (31/3) dan Sabtu (1/4). Namun, tetap saja tiket tambahan pun segera ludes tanpa sisa.
Tapi rezeki tidak ke mana. Dua bulan sebelum hari-H, saya mendapat durian runtuh berupa tiket untuk menonton konser Coldplay pada 1 April. Saya memperolehnya dengan harga cukup murah, lengkap dengan hotel selama di Singapura.
Berbekal tiket tersebut, saya diizinkan kantor untuk meliput. Syaratnya, saya harus membuat proposal peliputan. Di dalamnya, tentu ada poin tentang urgensi peliputan.
Ada teman bertanya, mengapa Kompas tidak menunggu undangan resmi? Wah, di zaman sekarang apabila media menunggu undangan, sudah barang tentu akan melewatkan banyak hal dalam hidup ini. Belum tentu juga undangan itu untuk meliput peristiwa-peristiwa kekinian. Liputan juga harus relevan dengan apa yang sedang dibicarakan di masyarakat, bukan?
Nah, begitu proposal disetujui Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredja, saya mulai bekerja. Salah satunya berdiskusi dengan Kepala Desk Kompas Minggu Indira Permanasari tentang rencana pemuatan dan strategi yang harus saya lakukan demi liputan sesuai standar Kompas.
Ada beberapa fokus perhatian kami di antaranya rencana pemuatan yang bersifat harus segera demi aktualitas berita. Kami sepakat, artikel akan turun pada Minggu (2/4) untuk rubrik musik Kompas Minggu.
Karena tiket yang saya pegang adalah tiket hari Sabtu, dan artikel harus dimuat keesokan harinya, waktu kerja saya di lapangan terbilang singkat. Makin berisiko karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Singapura hanya satu jam. Tak ada pilihan lain, saya harus menyusun strategi!
Beruntung, ini bukan konser pertama yang saya liput. Saya cukup terbiasa ”kerja rodi” saat meliput konser. Salah satunya karena deadline yang biasanya pendek karena saya bekerja untuk koran. Dan, jelas hanya ada satu deadline yang harus dipenuhi.
80 persen materi artikel
Karena konser pada malam hari, dan berita harus dikirim malam itu juga, itu berarti saya tidak dapat datang ke lokasi konser tanpa bekal apa pun. Setidaknya, saya sudah harus memersiapkan 80 persen materi artikel demi mengejar waktu penulisan yang sempit.
Delapan puluh persen materi artikel tersebut biasanya berupa informasi-informasi standar yang sudah kita susun sebelumnya berdasarkan riset atau sumber informasi resmi lainnya. Ambil contoh, rilis dari label rekaman, atau wawancara dengan personel band terkait.
Dengan demikian, saat saya di lapangan, tugas saya sedikit ringan. Hanya perlu menambahi dengan laporan pandangan mata, dan beberapa kejadian penting yang mungkin terjadi selama konser berlangsung.
Segala kerepotan itu masih ditambah dengan foto yang juga harus dipersiapkan sebaik mungkin. Apalagi, foto konser biasanya membutuhkan keahlian khusus. Apabila memungkinkan, dalam peliputan konser, kami reporter, biasa didukung teman fotografer.
Namun, dalam kasus konser Coldplay, karena saya tidak datang meliput sebagai jurnalis tetapi sebagai penonton biasa sesuai tiket yang saya pegang, kami mengidentifikasi foto sebagai potensi masalah. Jadi, dibutuhkan strategi khusus untuk menampilkan foto terbaik di harian Kompas.
Kebetulan juga, posisi saya cukup jauh dari panggung jadi saya menduga akan sulit mendapatkan foto yang berkualitas. Selain itu, tampaknya tidak diperbolehkan membawa kamera DLSR. Di tiket konser itu tertulis no photography.
Selain mencoba meminta foto resmi dari label Coldplay, yaitu Warner Indonesia yang kemudian menghubungi Warner Singapura, saya juga meminta Desk Foto memintakan foto dari kantor berita langganan Kompas.
Dua hari menjelang keberangkatan, saya mendapat jawaban dari salah satu kantor berita. Mereka berjanji mengirimkan foto konser Coldplay untuk Kompas.
Sementara dari pihak label, bahkan hingga berita sudah dimuat, saya belum menerima secuil pun foto yang mereka janjikan. Dapat dibayangkan bagaimana kalau saya hanya menggantungkan nasib kepada label?
Tentu saja, saya juga memotret sendiri walau statusnya hanya sebagai foto pendukung. Foto utama tetap harus dipersiapkan matang-matang. Sehari sebelum saya berangkat, urusan foto utama sudah beres sehingga saya dapat terbang ke Singapura dengan lebih tenang.
Persiapan demi persiapan
Saya terbang ke Singapura hari Sabtu pagi. Sebelum pesawat lepas landas, saya sudah lebih dulu mengirim draf artikel kepada editor yang berjaga pada Sabtu malam.
Hal itu demi mengantisipasi apabila jaringan internet di lokasi konser bermasalah sehingga pengiriman artikel terganggu. Tentu saja, saya paham konser itu di Singapura, yang di atas kertas lebih baik jaringan internetnya. Namun, itulah namanya persiapan. Segala hal harus diperhitungkan dan diantisipasi.
Begitu sampai Singapura, hal pertama yang saya lakukan adalah mendaftarkan nomor saya pada layanan internet roaming internasional. Kebetulan, biayanya murah sehingga saya batal menggunakan nomor lokal.
Urusan roaming internasional ini penting karena saya akan gunakan untuk mengirim berita, foto-foto, dan video konser. Saya harus memastikan kanal pengiriman berita dalam kondisi prima.
Menjelang sore, saya baru menuju lokasi konser di National Stadium. Kebetulan, lokasinya tak jauh dari hotel tempat saya menginap sehingga hanya perlu berjalan kaki ke sana.
Saya juga telah membekali diri dengan ”senjata” untuk meliput, yakni telepon genggam yang terlebih dahulu ”diisi” dengan sebuah artikel berisi 80 persen materi. Telepon genggam itu pula yang akan saya gunakan untuk memotret dan mengambil video. Saya meninggalkan laptop di kamar hotel demi alasan kepraktisan.
Meski pintu baru dibuka pukul 18.00, ternyata antrean sudah panjang. Ada pula yang ternyata mengantre sejak pagi. Mereka itu adalah pemegang tiket festival yang harus berebut tempat terbaik agar bisa menikmati aksi Coldplay dengan maksimal.
Sementara itu, bagi pemegang tiket dengan nomor kursi seperti saya, tentu saja tak perlu mengantre sejak pagi. Saya sengaja datang sore itu hanya untuk mengamati suasana.
Setelah memotret dan merekam video antrean, saya kembali ke luar stadium untuk mengisi perut. Saya tak ingin kelaparan saat bekerja karena justru membuat peliputan tidak maksimal.
Berbeda dengan berbagai konser yang pernah saya liput, pengecekan di konser Coldplay ini cukup praktis. Sebelum masuk, kami hanya diminta meninggalkan makanan dan minuman di luar kemudian tas diperiksa petugas keamanan. Tiket dengan barcode itu pun dipindai dan kami dapat langsung masuk ke stadium. Cepat dan efisien.
Pembagian gelang xyloband pun dilakukan kepada setiap penonton di mulut pintu masuk masing-masing gerbang. Xyloband ini cukup menarik. Tidak pernah saya temui di konser mana pun di Tanah Air. Xyloband ini dapat diprogram dari jauh dengan komputer sehingga saat Coldplay menyanyikan lagu ”A Head Full of Dreams”, warnanya merah menyala. Saat ”Yellow” mengalun, xyloband seketika berubah menjadi kuning. Penonton pun berteriak kegirangan.
Penyanyi pembuka lalu mulai menghangatkan suasa sambil menunggu stadion terisi penuh. Tepat pukul 20.00, konser pun dimulai. Coldplay langsung mengentak panggung di National Stadium dengan lagu-lagu hits-nya.
Selama konser berlangsung, saya mengamati dengan saksama penampilan Coldplay, permainan tata lampu, dan dinamika penonton di dalam stadion. Detail-detail penting juga saya catat.
Setia dengan sudut pandang
Saya juga memotret dan merekam video. Cukup sibuk sehingga kenikmatan menonton harus saya lepaskan. Namun, apa boleh buat, saya memang datang untuk meliput tidak sekadar menonton.
Jangan heran apabila saat penonton sibuk menggoyangkan badan dan bernyanyi bersama, saya justru sibuk mengetik di telepon genggam. Tapi, tidak mengapa, saya tetap dapat menikmati konser megah dan spektakuler yang dipersembahkan Coldplay malam itu.
Pukul 22.00 waktu Singapura, konser berakhir. Saya segera menuntaskan artikel dengan bahan-bahan dari lapangan. Saya sempat membaca artikel itu beberapa kali sebelum mengirimnya ke Jakarta.
Kemudian, saya juga sempat mengirim foto. Beruntung sekali, tak ada masalah dengan jaringan internet. Artikel dan foto terkirim dengan cepat. Lebih cepat 1,5 jam dari batas waktu yang diberikan kantor kepada saya.
Saya sempat berpikir mengganti sudut pandang yang sudah saya tulis sebelumnya. Karena ternyata, Coldplay sempat membawakan lagu ”Heroes” milik David Bowie (alm.) yang baru saja mereka kalahkan di ajang BBC Music Awards sebagai British Artist of the Year 2016.
Pemberian penghargaan itu sempat menimbulkan kontroversi karena Coldplay dinilai tidak layak menerimanya. Lirik ”Heroes”, menurut saya, juga relevan dengan semangat yang diusung Coldplay di konser mereka. Begitu juga pesan yang disampaikan Chris dari atas panggung.
Akhirnya, saya memilih tetap setia pada sudut pandang yang saya pilih. Apabila saya nekat mengubah angle, jelas dibutuhkan waktu lama untuk merombak seluruh artikel. Jelas berisiko sehingga berpotensi menganggu deadline. Bagaimanapun, saat itu saya bekerja di bawah deadline. Apabila deadline tidak mampu saya penuhi, tentu saja berpotensi menunda penerbitan artikel.
Bagi saya, meliput konser Coldplay telah menambah wawasan. Saya juga mendapatkan pengalaman baru bekerja dalam tekanan waktu yang singkat meski tetap harus memberikan yang terbaik. Saya bersyukur prosesnya berjalan lancar dan keesokan harinya, artikel itu sudah bisa dinikmati pembaca Kompas. Tentu saja, keberhasilan dari liputan itu tidak terlepas dari persiapan-persiapan yang sudah saya lakukan sejak dari Jakarta.
Tidak ada kebanggaan lain bagi seorang jurnalis, selain melaporkan sebuah peristiwa sebaik dan seaktual mungkin. Konser Coldplay adalah salah satu peristiwa terbaik. Tidak hanya bagi mereka penggemar Coldplay, tetapi juga bagi saya sebagai jurnalis. (*)