SEMARANG, KOMPAS — Penerapan lisensi penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan hutan bidang kehutanan atau forest law enforcement, governance and trade (FLEGT) diyakini bisa mendongkrak ekspor industri mebel di Jawa Tengah yang tengah terpuruk. Selain mempertegas legalitas kayu, lisensi yang diminta negara-negara Uni Eropa tersebut juga jadi acuan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanti, Rabu (12/4), mengatakan, dengan FLEGT, produk kayu Indonesia dijamin dapat melewati jalur hijau (green-lane) untuk memasuki negara anggota Uni Eropa. Lisensi FLEGT didapat lewat penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
“Lisensi FLEGT secara bertahap dapat memperbaiki ekspor produk perkayuan yang anjlok khususnya di Jawa Tengah. Negara anggota Uni Eropa menjadi tujuan ekspor utama,” ujar Laksmi di sela-sela Diseminasi Capaian Penerbitan Lisensi FLEGT Indonesia di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sejak diluncurkan 14 November 2016, tercatat telah diterbitkan 14.548 lisensi. Lisensi itu diurus eksportir untuk menembus pasar di 27 negara anggota Uni Eropa, kecuali Luksemburg. Lisensi FLEGT diakui sebagai pemenuhan dalam persyaratan Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation/EUTR).
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jateng, ekspor mebel dan olahan kayu di Jateng pada 2016 turun 12,9 persen dibandingkan 2015. Ekspor 2016 senilai 1,39 juta dollar AS, sedangkan pada 2015 mencapai 1,6 juta dollar AS. Di Jateng terdapat 7.205 industri mebel dengan rincian 6.183 usaha kecil, 811 usaha menengah, dan 211 usaha besar.
Kondisi tersebut disayangkan Laksmi. Terlebih, jumlah eksportir mebel Jateng terbesar di Indonesia. Dengan lisensi FLEGT, ekspor produk kayu dianggap telah memenuhi aspek keberlanjutan hutan, legalitas, dan kualitas. Kayu dijamin bukan dari hasil penebangan liar. Ketiga aspek tersebut diprediksi dapat meningkatkan kepercayaan negara tujuan ekspor.
Perwakilan delegasi Uni Eropa, Giovanni Sarritella, menambahkan, masyarakat Uni Eropa tidak menyukai kayu yang asal usulnya tidak jelas, terutama dari hasil penebangan liar. Karena itu, EUTR dengan tegas melarang impor produk kayu yang tidak dijamin legalitas dan keberlanjutannya.
Perlindungan perajin
Kepala Bidang Penataan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Slamet Rohadi mengatakan, upaya peningkatan ekspor tidak cukup hanya dengan lisensi FLEGT. Pelaku industri perlu dibimbing dan dibina secara berkelanjutan. Dengan demikian, tidak hanya Uni Eropa, produksi perkayuan Jateng juga bisa mudah memasuki pasar Amerika Serikat dan Australia.
Selain itu, Laksmi mengatakan, Indonesia juga akan mendorong kesepakatan sistem sertifikasi kayu yang dapat diterima negara pengirim dan penerima. Diakui, saat ini Indonesia hanya bisa menyesuaikan dengan aturan negara tujuan ekspor. Padahal, pemerintah juga memiliki aturan sertifikasi tersendiri yang semestinya dipatuhi negara pengimpor.
“Ke depan Indonesia akan bekerja sama dengan Australia, AS, dan Jepang. Mereka punya aturan yang akan Indonesia terima dan otomatis sebaliknya,” ujarnya.
Menurut Ketua DPD Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara, Jateng, Maskur Zaenuri, verifikasi legalitas kayu di Indonesia terlalu kaku. Padahal, sistem verifikasi dapat dibuat lebih fleksibel untuk mengantisipasi hal-hal tidak terduga, misalnya pembatalan sepihak saat barang dalam pengiriman.
“Pemerintah perlu melindungi pelaku industri, tidak sekadar mengikuti aturan negara tujuan ekspor,” katanya.