”Nikmatnya” Menjadi Pegawai Pajak
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1971, seluruh pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), termasuk Dirjen-Dirjen Keuangan, Anggaran, Pajak dan Bea Cukai, memperoleh kenaikan gaji yang berbeda dari instansi pemerintah lain. Mereka diberi tunjangan khusus yang besarnya 9 kali gaji pokok.
Hal itu dimaksudkan agar Kemenkeu dapat bekerja lebih efisien, menaikkan jumlah pendapatan negara, serta meningkatkan layanan terhadap masyarakat. Sementara itu, perubahan jam kerja dan tata tertib pegawai juga diatur dalam peraturan baru Menteri Keuangan Nomor 194 Tahun 1970. Peraturan itu dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin pegawai Kemenkeu.
Berita tersebut dimuat pada harian Kompas, 14 April 1971, atau 46 tahun yang lalu.
Setidaknya sejak tahun 1971 itu sampai sekarang, pegawai pada Kementerian Keuangan, terutama pegawai Pajak mengalami berkali-kali kenaikan penghasilan. Kenaikan itu bisa beragam sebutannya, mulai dari gaji, remunerasi atau tunjangan ini dan itu.
Semua sebutan itu bermuara pada meningkatnya kenaikan penghasilan pegawai Pajak. Meskipun sama-sama pegawai negeri sipil alias PNS, rupanya sejak 46 tahun yang lalu, pegawai Pajak sudah mendapat keistimewaan dari segi penghasilan dibandingkan dengan PNS pada umumnya.
Menteri Keuangan Prof Dr Ali Wardhana memberikan tunjangan khusus bagi pegawai perpajakan, cukai, pabean dan pejabat di bidang kantor bendahara negara. Tunjangan khusus tersebut diberikan kepada mereka karena penerimaan negara penting untuk kelangsungan pembangunan bangsa. Dengan penghasilan tersebut, mereka diharapkan tidak melakukan penyelewengan (Kompas, 23 Januari 1971).
Kenyataannya, meski gaji pegawai Kementerian Keuangan (dulu disebut Departemen Keuangan) meningkat sampai 9 kali lipat, tetapi perilaku sebagian pegawai tak berubah. Masih di tahun 1971, tepatnya pada 18 Mei Kompas mencatat setidaknya ada 7 pejabat bea dan cukai yang dinonaktifkan karena terlibat masalah penyelundupan tekstil.
Rupanya dampak kenaikan penghasilan pada perilaku korupsi itu tidak seiring sejalan. Sebagai sesama PNS tetapi memiliki penghasilan lebih tinggi daripada PNS umumnya, sebagian pegawai Pajak tetap melakukan penyelewengan. Penghasilan yang lebih tinggi tidak membuat mereka bersyukur.
Kondisi itu membuat Presiden Soeharto memberi instruksi khusus kepada Menkeu untuk meneliti efek dari kenaikan gaji pegawai Depkeu (Kompas, 21 Juli 1971).
Ironisnya, kondisi itu tetap berlangsung sampai sekarang. Kebijakan menaikkan penghasilan pegawai Pajak terus dilakukan, dengan alasan yang sama. Dengan penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidup, pegawai Pajak tidak akan menilap uang negara.
Kenyataannya, berita tentang pegawai Pajak yang korupsi tetap menghiasi media massa sampai tahun 2017 ini. Kita seakan-akan tidak mau belajar atau memang sengaja menutup mata pada kenyataan bahwa kenaikan penghasilan pegawai Pajak tak menjamin perilaku yang bersih, bebas dari korupsi
Sekadar contoh, Kompas , 24 November 2016 menulis tentang tertangkapnya Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Handang Soekarno karena korupsi. Handang mematok biaya penghapusan pajak sebesar 10 persen dari total pajak yang ingin dihapus ditambah Rp 1 miliar.
Handang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima uang Rp 1,9 miliar dari Direktur PT EK Prima Raj Rajamohanan Nair. Uang itu berkaitan dengan surat tagihan pajak PT EK Prima sebesar Rp 78 miliar yang akan dihapuskan.
Setelah kasus itu terungkap, KPK menerima informasi soal dugaan korupsi dengan modus yang sama dari dalam Ditjen Pajak. Ironisnya, pada saat bersamaan, pemerintah tengah gencar-gencarnya menjalankan program Tax Amnesty atau pengampunan pajak.
Wajar kalau sebagian orang pun menjadi ragu, benarkah uang pajak yang kita bayarkan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia? Tidakkah uang pajak itu dikorupsi dan dinikmati oleh “segelintir” pegawai Pajak dan kerabatnya?
Pasti kaya
Penghasilan pegawai Pajak (juga Bea dan Cukai) yang lebih tinggi dari PNS umumnya, telah membuat masyarakat menerima kenyataan bahwa wajar bila mereka kaya. Hal itu sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Orang pun tak mempertanyakan secara terang-terangan, seberapa besar penghasilan pegawai Pajak, sehingga mereka mampu bergaya hidup mewah. Para tetangga dan masyarakat sekitar tempat tinggal mereka seakan sudah mafhum.
Salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru, Prof Dr Soebroto menegaskan, aturan agar pegawai tidak korupsi sudah ada sejak masa awal Orde Baru. Tetapi perilaku pegawai yang koruptif tetap berlangsung, karena penegakan hukum tidak berjalan (Kompas, 28 Februari 1997).
Menurut Soebroto, menaikkan penghasilan pegawai tidak menyelesaikan masalah korupsi, kalau peraturan tidak dijalankan dengan baik, hukum tidak ditegakkan, dan tokoh yang menjadi panutan tidak memberi contoh nyata.
Setelah reformasi pun, kondisi seakan tak berubah. Kompas, 20 Mei 2001 menulis pendapat pengacara Amir Syamsuddin tentang pemenuhan kewajiban membayar pajak yang tak merata. “Ada orang yang membayar pajak sangat taat, ada yang setengah taat, tidak taat sama sekali, dan main mata dengan petugas pajak.”
Mereka yang tidak taat membayar pajak dan main mata dengan petugas pajak relatif tak terkena sanksi apa pun. Mereka tidak rikuh tinggal di rumah mahal, bergaya hidup mewah, dan menggunakan mobil superluks.
Penegakan hukum yang tidak tegas antara lain bisa dilihat dari sanksi yang diberikan bagi pegawai Pajak yang melanggar ketentuan. Mereka hanya dimutasi, ditunda kenaikan gajinya atau kenaikan pangkatnya. Kompas, 23 Januari 2004 menulis, Dirjen Pajak Hadi Purnomo mengungkapkan, sepanjang tahun 2003 telah menindak 355 pegawai, tetapi hanya 3 orang yang dilaporkan ke polisi karena diduga korupsi.
Penghasilan pegawai Pajak kembali naik berkaitan dengan reformasi birokrasi. Kali ini sebutannya adalah tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (Kompas, 2 November 2009).
Setahun kemudian, pada 2010 kita dikejutkan dengan kekayaan pegawai Pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Pria berusia 30 tahun, yang baru bekerja sekitar lima tahun itu, memiliki kekayaan Rp 25 miliar. Rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara berharga lebih dari Rp 1,2 miliar. Padahal gajinya sebagai pegawai pajak “hanya” sekitar Rp 12 juta per bulan (Kompas, 27 Maret 2010).
Untuk ukuran PNS, penghasilan Gayus itu relatif tinggi. Sebab, PNS dengan golongan yang sama dengan dia, IIIA, di instansi yang lain gajinya per bulan Rp 2 juta. Di lingkungan Kemkeu, tetapi bukan Ditjen Pajak, gaji pegawai segolongan dengan Gayus, sekitar Rp 6,4 juta per bulan (Kompas, 30 Maret 2010).
Sekali lagi terbukti, kenaikan penghasilan tak membuat pegawai Pajak bebas korupsi. Ekonom Drajad Hari Wibowo pun mengingatkan, agar Kemkeu tak hanya mengandalkan remunerasi tinggi, tetapi juga pengembangan mekanisme kontrol yang kuat.
“Lakukan audit pada pegawai (Pajak) dan keluarganya. Jika ini dianggap sulit, bagaimana Kementerian Keuangan bisa mengawasi kepatuhan semua wajib pajak kalau mengawasi pegawainya saja kebobolan,” kata Drajad.
Kasus korupsi Gayus, sang pegawai Pajak itu, juga memunculkan wacana tentang pembuktian terbalik. Kalau memang kekayaannya diperoleh dengan cara yang baik, sang pegawai harus mampu membuktikan asal-muasal kekayaannya itu. Sayangnya, wacana pembuktian terbalik itu hilang begitu saja, seiring berjalannya waktu.
Tidak kapok
Tahun 2012, kembali pegawai Pajak membuat publik tercengang. Dhana Widyatmika, sang pegawai Pajak, memiliki kekayaan sekitar Rp 60 miliar. Penyidik kejaksaan pun menyita sejumlah uang dan emas milik Dhana, juga sejumlah dokumen dan sertifikat. Penyidik juga memblokir rekening simpanan Dhana dalam rupiah dan dollar AS (Kompas, 26 Februari 2012).
Setahun kemudian, 2013, dua penyidik dan pemeriksa pajak di kantor Ditjen Pajak Jakarta Timur, Muhammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto ditangkap KPK di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Di dalam mobil ditemukan uang 300.000 dollar Singapura (sekitar Rp 2,3 miliar) yang diberikan pegawai The Master Steel.
Uang suap itu berkaitan dengan pengurusan masalah pajak The Master Steel. Perusahaan itu memiliki tunggakan pajak Rp 125 miliar, dan didenda 400 persen dari nilai tunggakan pajak atau senilai Rp 500 miliar. (Kompas, 17 Mei 2013).
Ketika itu Dirjen Pajak, Fuad Rahmany memastikan kedua anak buahnya tersebut akan dipecat. Namun saat ditanya wartawan tentang pertanggungjawabannya sebagai Dirjen Pajak yang pegawainya berkali-kali ditangkap karena suap, Fuad menganggap pertanyaan itu sebagai serangan.
Berkali-kali tersandung hal yang sama, ternyata tak membuat Direktorat Pajak kapok. Kompas, 13 Februari 2015 menurunkan berita tentang gaji pegawai Pajak naik 2,5 kali lipat. Tahun 2015 sekitar 32.000 pegawai Pajak akan mendapatkan remunerasi, dengan alokasi anggaran Rp 4,2 triliun. Artinya, gaji rata-rata pegawai Pajak akan naik 2,5 kali lipat dari sebelumnya.
Kalau Direktorat Pajak tidak kapok menaikkan penghasilan pegawainya. Sebagian pegawai Pajak pun tidak kapok menerima suap alias korupsi. Salah satu contohnya adalah Handang Soekarno, pegawai Pajak yang menerima suap Rp 1,9 miliar dari Direktur PT EK Prima Raj Rajamohanan Nair, berkaitan dengan penghapusan surat tagihan pajak senilai Rp 78 miliar pada 2016.
Kisah sama yang terus berulang selama kurun 46 tahun, masih belum cukupkah untuk kita pelajari? Jangan hanya “mengeluh” karena target penerimaan pajak tak terpenuhi. Sudah saatnya kita ke luar dari zona nyaman.
Penegakan hukum yang sungguh-sungguh harus dilaksanakan, juga pembuktian terbalik, dan pengawasan melekat dengan semua konsekuensinya ditegakkan. Selain itu, ada baiknya pegawai Pajak melihat sekeliling, apakah semua wajib pajak sudah memenuhi kewajibannya? Sudahkah muncul wajib-wajib pajak baru yang bisa menambah pendapatan negara?