Tomira, Ideologi Kerakyatan Mewujud di Kulon Progo
Oleh
Regina Rukmorini
·3 menit baca
Beragam makanan tradisional produksi petani dan pelaku usaha lokal itu terlihat eksklusif. Makanan dikemas dengan bungkus cantik menarik dan menempati rak yang terletak di paling depan. Di belakangnya baru tersaji produk makanan dan jajanan serupa dari luar Kabupaten Kulon Progo.
Macing adalah keripik berbahan umbi-umbian, sedangkan growol adalah makanan dari singkong yang dikukus dan ditumbuk.
Pemandangan serupa terlihat di delapan Tomira lain di Kabupaten Kulon Progo. Tomira semula toko modern berjejaring yang kemudian diakuisisi oleh sejumlah koperasi.
Titik Kusnawati (45), yang salah satu produknya, abon cabai, ikut dipajang di salah satu Tomira dua tahun terakhir, bersyukur dengan kemudahan persyaratan memajang produk di toko itu. ”Biasanya, agar bisa memasukkan barang di suatu toko, saya harus punya kenalan atau relasi dekat dengan si pemilik toko,” ujar pengusaha produk olahan cabai yang berkiprah selama empat tahun itu.
Ia pernah mencoba memasukkan barang ke toko modern tanpa relasi. Namun, produknya ditolak karena kemasan dan produknya dinilai kurang layak. Karena itu, ia mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
Tomira menjadi solusi karena syarat yang ditawarkan lebih mudah. Produk bisa dipajang asal dikemas rapi, memiliki tanggal kedaluwarsa, dan memiliki izin pangan industri rumah tangga (PIRT).
Tomira adalah bagian dari program bela beli Kulon Progo yang digencarkan Bupati Kulon Progo 2011-2016 Hasto Wardoyo yang kembali terpilih menjadi bupati periode 2017-2022. Inti program ini mengajak masyarakat Kulon Progo untuk menguasai pasar lokal dan memenuhi kebutuhan secara mandiri dengan produk hasil sendiri.
Dengan semangat ini, toko modern berjejaring pun diupayakan dikuasai masyarakat lokal lewat koperasi. Nama toko diubah jadi Tomira.
Sejak tahun 2014, dari 20 toko jejaring modern, sembilan menjadi Tomira, dua toko tutup, tiga dimiliki perseorangan, dan enam dalam proses jadi Tomira.
Upaya untuk membela warga Kulon Progo juga dilakukan dengan kebijakan lain, seperti mewajibkan pegawai negeri sipil (PNS) membeli 10 kg beras dari petani per bulan. Beras itu dikemas dengan label beras PNS. Harganya Rp 7.300 per kg.
PDAM digenjot untuk memproduksi air mineral dengan merek AirKu. Kini, AirKu mengisi 20 persen pasar Kulon Progo dan disajikan bagi tamu-tamu di kantor-kantor dinas.
Kreativitas tumbuh
Pemberian ruang bagi produk lokal mendapat respons positif dan memancing minat warga Kulon Progo untuk mengisi.
Sri, pelaku usaha growol, mengatakan, pemberian tempat di Tomira membuat dirinya antusias berkreasi mengembangkan produk baru. Setelah membuat stik growol, dia berencana mengembangkan growol menjadi seperti pai susu. Saat ini, Sri bereksperimen membuat kue kering seperti nastar dan kastengel dari growol.
Peningkatan gairah berkreasi juga terjadi di sentra batik di Desa Ngentakrejo, Kecamatan Lendah. Ketua Koperasi Batik Citra Mendiri, Surasa, mengatakan, sejak tahun lalu, jumlah pembatik baru di Desa Ngentakrejo terdata 15 orang, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya, 4-5 orang per tahun. ”Sebagian pembatik baru adalah anak muda, termasuk yang baru lulus SMK,” ujarnya.
Peningkatan minat membatik, katanya, merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua PNS dan siswa memakai seragam bermotif geblek renteng. Kini, ide kreatif UMKM terus tumbuh. Jumlah UMKM pun terus meningkat. Jika tahun 2013 terdata 33.391 UMKM, tahun 2016 jadi 34.029 UMKM.
Dalam sebuah perbincangan, Bupati Hasto Wardoyo mengatakan, program bela beli diluncurkan untuk mendidik dan menanamkan kemandirian masyarakat agar terdorong mencukupi kebutuhan hidup dengan produk sendiri.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.