72 Jam Melaporkan Langsung Lari Lintas Sumbawa 2017
Mila Marlina (45) terbaring di teras sebuah rumah. Wajahnya pucat. Ia mengaku kedinginan meski tubuhnya sudah ditutupi selimut. Kamis (6/4/2017) siang itu, setelah 23 jam berlari, Mila sudah menempuh jarak 110 kilometer. Meski demikian, ia belum sekali pun mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi.
Mila adalah salah seorang peserta kategori relay atau beranting dalam lomba lari Lintas Sumbawa 2017. Berbeda dengan pelari kategori individu yang harus menempuh jarak 320 kilometer (km), pelari relay seperti Mila ”hanya” perlu menempuh jarak 160 km.
Sesuai namanya, lomba lari ini berlokasi di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), diawali dari Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, dan finis di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu.
Melihat kondisi Mila siang itu, kami—tim peliput Lintas Sumbawa 2017 dari harian Kompas—turut waswas. Apakah Mila, pelari yang kini tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu dapat melanjutkan lomba?
Apalagi, berdasarkan pembicaraan kami dengan tim medis, Mila sudah muntah dua kali karena asam lambungnya tinggi. Hal itu terjadi karena ia belum mengonsumsi makanan berat seperti nasi selama lomba.
Kami berhenti cukup lama di pos istirahat KM 110 untuk melihat kondisi Mila. Untung saja ada dokter sehingga kami cukup tenang karena Mila sudah ditangani secara baik. Kami juga menyaksikan saat dokter menyuntikkan obat anti mual kepada Mila.
Namun, kira-kira setengah jam sesudah ia terbaring seolah tak berdaya, Mila tiba-tiba bangkit kembali. Sesudah memakan crackers dan minum teh hangat, ia begitu saja memutuskan untuk kembali berlari. Ia bahkan berlari menerjang hujan dan akhirnya finis sekitar pukul 02.30 keesokan harinya.
Kami nyaris tidak percaya dengan penglihatan kami. Bagi kami, yang tentu saja bukan pelari ini, perjuangan Mila adalah satu dari sekian banyak momen menggetarkan yang kami saksikan selama meliput Lintas Sumbawa 2017. Ada beberapa momen kemanusiaan lainnya yang makin meneguhkan kami mengenai kehebatan dari spesies manusia ini.
Tim Kompas yang meliput lomba itu terdiri dari empat orang yakni Agus Mulyadi, editor Desk Nusantara Kompas sekaligus pemimpin tim; Ismail Zakaria, wartawan Kompas yang bertugas di Padang; Haris Firdaus, wartawan Kompas yang bertugas di Yogyakarta; serta fotografer Kompas yang sehari-hari bertugas di Bandung, Rony Ariyanto Nugroho.
Di Pulau Sumbawa, juga hadir Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Rusdi Amral. Budiman Tanuredjo bahkan beberapa kali ikut mengirim bahan reportase langsung. Demikian pula, hadir beberapa karyawan Kompas lainnya yang mengurusi ajang lari ini.
Lomba lari Lintas Sumbawa, yang digelar sejak tahun 2015, merupakan bagian dari Festival Pesona Tambora. Tahun ini, lomba lari terjauh di Asia Tenggara itu diikuti 27 pelari terdiri dari 15 pelari kategori individu dan 12 pelari kategori relay atau beranting. Tiap tim pada kategori relay terdiri dari dua pelari sehingga total ada 6 tim yang berkompetisi.
Reportase langsung
Lomba lari Lintas Sumbawa diawali pada Rabu (5/4/2017) pukul 15.00 Wita di Poto Tano. Berbeda dengan lomba lari lainnya, Lintas Sumbawa ini takkan selesai dalam hitungan jam atau jam. Berbeda misalnya, dengan lari marathon sejauh 42 kilometer yang bahkan selesai dalam hitungan tujuh jam.
Mungkin, ada orang berprasangka, meliput lari apa sulitnya? Nah, meliput Lintas Sumbawa ini tentu bukan hal mudah. Apalagi, reportase ini tidak berlangsung selama satu atau dua jam, melainkan sepanjang 72 jam alias tiga hari! Waktu reportase yang sangat lama ini disesuaikan dengan cut off time (COT) atau batas waktu lomba Lintas Sumbawa.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, liputan Lintas Sumbawa tahun ini dilengkapi reportase langsung yang ditampilkan di situs Harian Kompas yakni www.kompas.id. Tidak tanggung-tanggung selama 72 jam, kami mencoba melaporkan secara real-time jalannya perlombaan.
Demi mengoptimalkan peliputan, kami mengelompokkan diri menjadi dua tim. Tim pertama terdiri dari Agus Mulyadi dan Haris Firdaus, sementara tim kedua terdiri dari Ismail Zakaria dan Rony Ariyanto. Saat lomba dimulai, tim pertama bergerak memantau pergerakan pelari di posisi depan, sementara tim kedua mengawasi pelari-pelari di posisi belakang. Meski selama lomba berlangsung, kedua tim beberapa kali berganti posisi saat memantau pergerakan pelari.
Tiap tim akan melaporkan kondisi terkini perlombaan, dan peristiwa menarik yang terjadi melalui grup WhatsApp yang terhubung langsung dengan sejumlah editor di Jakarta. Materi reportase langsung itu dapat berupa foto, video, dan teks.
Para editor di kantor pusat Kompas di Jakarta juga berbagai peran. Mereka memoderasi reportase langsung dan mengunggahnya di www.kompas.id selama 72 jam non-stop sehingga mereka bergantian piket. Tiap editor bertugas antara empat hingga sembilan jam tergantung jam kerja.
Hasil reportase langsung ini ternyata digunakan pula oleh sejumlah tim pendukung pelari untuk mengetahui posisi rekan mereka serta dilihat pula oleh keluarga pelari. Kami juga mendapatkan info ada pembaca Kompas yang mengikuti kegilaan Lari Lintas Sumbawa meski tentu saja penikmat dari laporan langsung itu adalah para pengila lari di seluruh Indonesia.
Dinamika di lapangan
Untuk memberikan informasi terkini, kami tidak hanya mengikuti peserta yang sedang berlari tetapi juga melihat aktivitas mereka di check point atau tempat pemeriksaan. Mengapa? Karena di check point itu banyak drama muncul.
Di check point pertama di KM 40, misalnya, kami menyaksikan betapa bersemangatnya pelari Syafrudin (34), pelari tuan rumah dari Kabupaten Dompu, Sumbawa.
Syafrudin, juara 3 Tambora Challenge 25 KM itu terus saja ngebut. Syafrudin bahkan sempat enggan beristirahat saat tiba di check point pertama, Rabu (5/4/2017) pukul 19.19. Padahal, pelari yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan di Kantor Kepolisian Resor Dompu itu sudah berlari sejauh 40 km dengan kecepatan cukup tinggi untuk ukuran ultra marathon.
Sejumlah anggota panitia dan pendampingnya, untung saja dapat memaksa Syafrudin untuk beristirahat. Syafrudin kemudian berhenti untuk makan malam. Kemudian, ia juga meminta supaya kakinya dipijat.
Untuknya, ketika fisioterapis mulai bekerja, tiba-tiba Syafrudin mengeluarkan ramuan khusus berupa bawang merah yang sudah diiris-iris dan dicampur dengan minyak kelapa. Dengan ramuan itu, ia meminta fisioterapis untuk memijat kakinya. Sayang sekali, Syafrudin gagal melanjutkan lomba karena cedera kaki di KM 80.
Saat meliput lomba Lari Lintas Sumbawa ini, kami juga mengakui kehebatan dari tiap pelari. Tidak hanya kehebatan dari sisi fisik mereka tetapi juga dari semangat mereka.
Tiap pelari biasanya hanya tidur satu hingga dua jam sebelum akhirnya kembali melesat. Mereka biasanya menitipkan pesan ke panitia supaya dibangunkan. Dan, ketika mereka dibangunkan, mereka dengan penuh komitmen kemudian bangun untuk kembali berlari.
Padahal, pendamping atau pengawal pelari pun sudah jatuh bangun. Dari pelari Mila, kami dikisahkan tentang polisi pendampingnya yang tiba-tiba terjatuh dari sepeda motor saat mengikuti Mila berlari dari sisi belakang.
Mungkin saja, sang polisi itu kelelahan atau ngantuk. Namun, saat Mila tiba di KM 160, kami melihat baik Mila maupun sang polisi dalam kondisi basah kuyup karena diterpa hujan.
Selama tiga hari lari Lintas Sumbawa 2017, cuaca memang silih berganti antara terik matahari dan hujan. Beberapa pelari bahkan sempat berlari dengan berpayungan. Lintas Sumbawa 2017 ini sungguh merupakan sebuah perjuangan.
Jarak 320 KM itu di Jawa setara dengan jarak tempuh Jakarta-Bandung, pulang pergi. Karena informasi di Sumbawa agak terbatas, ketika pelari melaju ada saja warga yang berusaha bertanya, “mau lari kemana? Lari dari mana?” Ternyata, ada warga yang terheran-heran mendengar ada orang yang berlari sejauh ratusan kilometer.
Kami juga menyaksikan dari dekat perjuangan para pelari. Perjuangan berat misalnya, dilakoni Eni Rosita (38), yang akhirnya menjadi juara kategori individu Lintas Sumbawa 2017. Pada Jumat (7/4/2017) malam, kami menyaksikan perjuangan Eni berlari di tengah kegelapan malam, dan diterpa angin yang bertiup kencang.
Ketika Eni memasuki KM 280, sudah menjelang tengah malam. Hanya ada tenda sederhana di check point di km 280 itu, dan dengan penerangan sangat minim karena di wilayah tersebut tak ada lampu jalan.
Meski malam sudah sangat larut, Eni memutuskan untuk terus melaju. Ia tetap terus berlari. Padahal, ia harus berlari di medan yang penuh tanjakan dan turunan dengan hanya mengandalkan head lamp sebagai satu-satunya sumber cahaya.
Suatu kali, kami mengetes pekatnya malam di Sumbawa. Lampu sorot mobil pun kami matikan dan ternyata kami tidak mampu melihat apapun. Sementara itu, hanya dengan bantuan head lamp itu para pelari terus melaju. Luar biasa.
Tantangan
Dengan durasi peliputan selama tiga hari non-stop serta peserta lomba yang cukup banyak, tentu saja kami tidak dapat tiap saat memantau pelari. Jumlah peliput juga terbatas, dan kami berada jauh dari Pulau Jawa dimana sebagian besar wartawan Kompas bermukim di pulau itu.
Kami juga harus membagi waktu, tenaga, dan pikiran karena setiap hari harus mengirimkan tulisan untuk Harian Kompas, dan Kompas.id. Menghadapi kondisi itu, kami harus berbagai tugas. Beberapa jam menjelang deadline edisi cetak, misalnya, satu tim mencari lokasi dengan koneksi internet yang cukup bagus untuk menyusun kerangka tulisan sedangkan tim kedua terus bergerak mengikuti pelari agar bisa mengirim informasi terkini ke tim pertama.
Demi mengetahui kabar terkini, kami juga berkomunikasi dengan panitia yang memantau posisi terakhir pelari beserta kondisinya. Persoalannya, kami beberapa kali kesulitan menemukan pelari yang hendak dipantau entah karena kurang cermat memantau jalan atau mereka beristirahat di tempat yang agak tersembunyi. Kesulitan ini beberapa kali kami temui selepas KM 200 karena medan di sana tidak lagi berupa jalan datar melainkan penuh tanjakan, turunan, dan kelokan jalan.
Selama mengikuti pelari, tim peliput juga harus siap dengan perubahan cuaca di Sumbawa. Beberapa kali kami ikut diguyur hujan agar mendapatkan momen menarik, dan beberapa jam kemudian sudah ikut terpanggang matahari Sumbawa saat menguntit para pelari.
Tantangan lain yang kami hadapi adalah, koneksi internet yang “timbul-tenggelam” di sepanjang rute lomba. Jaringan internet di Pulau Sumbawa belum merata sehingga ada sejumlah titik yang membuat kehilangan kontak dengan internet. Untuk menyiasati hal itu, kami biasnaya berhenti cukup lama di wilayah dengan sinyal internet kuat dan mengirim laporan dari sana.
Agar dapat memantau lomba dalam jarak dekat, kami menginap di penginapan terdekat dengan lokasi yang dilalui pelari. Karena harus sedekat mungkin dengan pelari, kami biasanya masuk ke hotel pada tengah malam dan berangkat lagi pada pagi harinya. Jadi, rata-rata hanya 3-4 jam saja kami merebahkan badan di penginapan itu.
Namun, mulai Jumat (7/4/2017) malam, kami memutuskan menginap di tenda di dekat lokasi finis di Doro Ncanga, di kaki Gunung Tambora. Embusan angin kencang khas padang sabana seperti Doro Ncanga pun menemani kami saat beristirahat.
Kami memilih menginap di tenda karena Eni Rosita sudah berada di KM 280 atau hanya 40 km sebelum garis finis. Kami tentu saja tidak ingin melewatkan momen bersejarah saat Eni finis.
Persoalannya, karena sinyal di Doro Ncanga begitu terbatas maka kami sempat salah paham saat berkomunikasi dengan panitia. Ketika sedang beristirahat, kira-kira jam 3 pagi, kami mendapatkan informasi bahwa Eni sudah menuju garis finis. Kami pun tergopoh-gopoh terbangun meski ternyata informasi itu salah, dan kami sudah tidak dapat tertidur lagi.
Baru kemudian, Eni menginjakkan kaki di garis finis pada hari Sabtu (8/4/2017) pukul 06.42 Wita. Ia menjadi pelari tercepat yang dapat menyelesaikan Lintas Sumbawa 2017 dengan waktu 63 jam dan 42 menit.
Kesempatan meliput lomba lari Lintas Sumbawa 2017 juga menyisakan momen menarik karena terjalinnya keakraban dengan sejumlah pelari. Sebelum start Lintas Sumbawa 2017, misalnya, seorang pelari kategori individu, Gatot Sudariyono (55), meminta Ismail bertukar topi.
Gatot mengaku membutuhkan topi rimba untuk melindunginya dari cuaca panas Sumbawa. Sayangnya, ia tak membawa topi semacam itu. Gatot dan Ismail pun bertukar topi sehingga selama perlombaan dia memakai topi bertuliskan “Kompas” milik Ismail. Dan, topi itu pun terbawa oleh Gatot hingga ajang itu berakhir sebagai tanda persahabatan. (*)