SEMARANG, KOMPAS — Sejarawan Inggris, Peter Carey, menyatakan, Pangeran Diponegoro (1785-1855) merupakan orang Indonesia yang genius di masanya. Dia otodidak dan belajar dari alam untuk memahami bahwa Jawa (Indonesia) memiliki kearifan budaya dunia. Di zaman Hindia Belanda, orang genius semacam Pangeran Diponegoro juga tampil di panggung dunia.
"Berkaca dari pribadi Pangeran Diponegoro, saya berkeyakinan tidak ada sesuatu yang kurang dengan bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak hanya baik, tapi bisa menjadi bangsa yang unggul bila fokus pada konteksnya," kata Peter Carey dalam bedah buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro di Kantor Bank Indonesia (BI), Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/4).
Bedah buku terbitan Penerbit Buku Kompas ini hasil kerja sama Kompas Perwakilan Jawa Tengah dan Bank Indonesia. Turut hadir dalam diskusi ini Kepala Perwakilan BI Jateng Hamid Ponco Wibowo, Guru Besar Sejarah FBS Undip Semarang Singgih Tri Sulistiyono, penulis sejarah Kota Semarang Jongkie Tio, dan ratusan peminat dan mahasiswa di Kota Semarang.
Peter Carey mengemukakan, sosok Pangeran Diponegoro hampir sama dengan sosok genius semasa Hindia Belanda dalam masanya. Mereka itu pelukis Raden Saleh Sjarif Boestaman, pelukis asal Semarang yang terkenal dan pernah diterima Ratu Inggris Victoria.
Kemudian ada Raja Jawa Mangkunegoro IV yang karya kreasinya dibawa NASA pada 1977. NASA menggunakan pesawat luar angkasa Discovery untuk menebarkan 28 benda budaya ke galaksi sebagai bukti puncak kreasi manusia, salah satunya karya Raja Jawa ini dalam bentuk gending Jawa.
Salah seorang genius lain adalah wartawan hebat asal Kota Jepara, RM Pandji Sosrokartono, yang menguasai puluhan bahasa asing. Sosrokartono adalah wartawan Perang Dunia I yang tidak mau dipersenjatai saat liputan. Dia adalah wartawan yang menyaksikan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa dan melaporkan penaklukan Jerman.
"Orang genius lainnya adalah Prof Ahmad Mochtar, orang Padang, yang pernah jadi direktur dan peneliti di Lembaga Eijkman. Dia pernah melakukan penelitian penyangkalan leptospira sebagai penyebab penyakit demam kuning di Afrika Barat. Sekiranya dia masih hidup, kemungkinan bisa memperoleh hadiah Nobel," ujar Peter Carey.
Pengamat sejarah dan pimpinan di BI Jateng, Rahmad Dwisaputra, mengatakan, Perang Jawa 1825-1830 merupakan perang terlama yang berlangsung. Belanda tidak saja mengalami kerugian besar, tetapi juga sempat takut kalah. Perang itu mendapat dukungan luas, tidak hanya dari kaum petani yang berpihak kepada Pangeran Diponegoro, tetapi juga dukungan dari kaum santri, ulama, dan sebagian kaum bangsawan.
Dari segi ekonomi, Bank Indonesia menilai, perjuangan Pangeran Diponegoro dalam membela kaum petani dimaksudkan supaya Hindia Belanda tidak menguasai perekonomian Nusantara yang memiliki kekayaan alam yang besar.