Mungkin bisa dimaklumi jika jargon-jargon ekonomi politik saat kampanye menjadi hal penarik untuk kemenangan Presiden Donald Trump. Akan tetapi, sangat rawan jika jargon itu benar-benar diwujudkan ke dalam kebijakan ekonomi yang nyata.
Akar kerawanan ini mulai terlihat ketika Trump perlahahan mencoba mewujudkan janji kampanye. Salah satunya adalah rencana pengenaan tarif impor. Ini sesuai dengan moto, “buy American, use American.” Tidak banyak yang setuju di dunia ini dengan pemerintahan Trump yang mengarah pada proteksionisme.
Hanya Trump dan para pendukungnya yang kukuh bertahan dengan pandangan ini. “Washington siap melakukan sikap lebih keras dalam arena perdagangan,” kata Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Gary Cohn, pada Kamis (20/1) dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington.
Sasaran sikap tegas AS soal perdagangan ini ditujukan kepada Jepang, Jerman, China, dan negara-negara lain. Presiden Bank Dunia Jim Yong-kim dan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde tetap pada keyakinan bahwa proteksionisme tidak akan menguntungkan. Keduanya tetap membela perdagangan bebas dengan catatan, tetap ada keseimbangan dan ada kontrol dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Akan tetapi, AS tampaknya tidak akan mau mendengar pandangan dari Bank Dunia dan IMF, seperti dikatakan Eswar Prasad, profesor bidang perdagangan internasional di Cornell University, AS.
Apakah AS akan mulus menjalankan niatnya? Ketika Cohn mengatakan, “kekalahan” AS dalam perdagangan harus dihadapi resiprokal, bisa dipastikan asas resiprokal pun pasti menjadi pilihan mitra dagang AS. Namun, asas resiprokal apa yang hendak dilakukan AS?
Menteri Perekonomian Jerman Brigitte Zypries mengatakan, pemerintahannya tidak bisa memengaruhi arus ekspor Jerman, termasuk ke AS. Jerman memiliki surplus perdagangan 271 miliar dollar AS pada 2016 terhadap AS. “Produk kami adalah buah dari kerja keras dan efisiensi,” kata Zypries.
Haruskah produk Jerman yang efisien dan disukai konsumen AS kena hukuman tarif? Bukankah juga Jerman menjadi pemasok uang ke AS lewat pembelian surat-surat berharga terbitan AS? Bukankah China dan Jepang telah turut meramaikan perekonomian AS di luar perdagangan?
Wakil Perdana Menteri Jepang Taro Aso dalam pertemuan dengan Wapres AS Mike Pence juga sudah menyatakan tidak senada dengan AS soal isu perdagangan. Rekan atau negara-negara yang menjadi sekutu AS pun tidak sependapat dengan sikap dan cara AS.
Perdagangan hanyalah satu sisi dan ada sisi lain berupa peran negara-negara investor asing di AS yang turut menyemarakkan perekonomian AS.
Makin mengernyitkan dahi
Ini baru isu perdagangan dan masih banyak area kebijakan ekonomi yang terus membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Hal terbaru adalah perintah Trump kepada Menkeu AS Steven Mnuchin untuk segera merombak Undang-Undang tentang Pengawasan Keuangan dan Perbankan (Dodd-Frank Act).
Peraturan ini dikukuhkan di era Presiden Barack Obama setelah krisis besar ekonomi melanda AS pada 2008. Seperti telah diketahui, ledakan krisis ini adalah akibat aksi-aksi liar dan sarat penipuan oleh sektor keuangan AS yang telah mengorbankan Lehman Brothers dan menyulut krisis besar di AS. “Bayangkan, kini sektor keuangan bisa mengelabui konsumen termasuk dana pensiunan,” kata Elizabeth Warren, Senator Massachusetts (Demokrat), di televisi ABC, Kamis (21/4).
Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen sejak awal sudah mengingatkan agar peraturan tentang pengawasan keuangan jangan diutak-atik karena sangat berguna menghindari risiko dari sektor keuangan.
Di antara sektor yang turut dirombak Trump dalam rencananya adalah pengurangan beban pajak dari 35 persen menjadi 15 persen. Kini ada rencana perubahan, yakni dengan penurunan pajak menjadi 20 persen saja. Akan tetapi, program penurunan pajak itu akan menaikkan beban utang AS jika pemerintah menaikkan defisit anggaran. “Ini akan menaikkan risiko di sektor keuangan dan menambah beban utang negara,” kata Lagarde. Utang negara AS kini sudah sekitar 19 triliun dollar AS.
Joseph Stiglitz, ekonom AS peraih Nobel Ekonomi 2001, sudah mengingatkan Trump bahwa dirinya tidak akan punya celah mewujudkan rencana-rencana ekonominya yang tidak punya dasar kuat. Bahkan, Stiglitz menyebutkan, hampir semua rencana kebijakan ekonomi Trump menggambarkan keberpihakan kepada Wall Street yang dia katakan telah membajak lembaga-lembaga pemerintahan AS.
Meski demikian, selalu ada kemungkinan koreksi. Sebagai contoh ketika Trump merencanakan perombakan Obama Cares, semacam asuransi kesehatan, kubu Republikan sejauh ini menghalanginya sehingga batal untuk sementara.
(Reuters/AP/AFP)