Inggris sedang dalam proses perundingan untuk pisah resmi dari Uni Eropa (Brexit). Di bawah Presiden Donald Trump, AS pun mulai menyikut aliansi lama. Kini Perancis sedang dalam proses yang akan ditentukan pada pemilu presiden putaran kedua pada Mei, apakah Emmanuel Macron yang pro-Uni Eropa menang atau Marine Le Pen.
Trump mendukung Perdana Menteri Inggris Theresa May dengan isu Brexit, yang terjadi karena isu imigran dan juga ketidakbebasan dalam manuver kebijakan ekonomi. Trump juga menyatakan dengan tegas dukungan kepada Le Pen yang anti-Uni Eropa (UE).
Inilah negara-negara dan para pemimpin trans-Atlantik yang dikategorikan nasionalis. Kelompok ini juga mengusung isu kebanggaan negara dan mengira negaranya dan relasi dengan negara lain termasuk lewat perdagangan telah menjadi pengganggu negara sendiri.
Kelompok ini berhadapan dengan kubu Kanselir Jerman Angela Merkel dan pro-keutuhan UE. Merkel yang pro-perdagangan bebas juga sangat menekankan displin ekonomi. ”Semoga yang terbaik terjadi kepada Macron,” ujar Merkel.
Maka dari itu, James Traub, kolumnis rutin di harian The New York Times, menuliskan, ”Pemilu Perancis adalah pertarungan antara Trump versus Merkel, …”, seperti dia tuliskan di situs Foreign Policy, 20 April 2017.
Disiplin ekonomi
Merkel kukuh bertahan pada kebijakan ekonomi yang sehat lewat pengurangan defisit anggaran pemerintah, pengurangan utang negara, hingga reformasi ekonomi. Negara ini yakin bahwa persaingan ekonomi global hanya bisa dimenangi dengan disiplin ekonomi dan kerja keras, termasuk pengurangan fasilitas jaminan sosial untuk rakyatnya. Krisis ekonomi AS tahun 2008, disusul beberapa negara anggota UE tahun 2009, merupakan hasil dari perekonomian yang tidak disiplin.
Akan tetapi, sasaran paling gencar terhadap Merkel adalah program penghematan keuangan negara. Lewat UE, Merkel menekankan kedisiplinan. Serangkaian demonstrasi oleh warga Yunani beberapa waktu lalu hingga terpilihnya perdana menteri populis Yunani, Alexis Tsipras, tidak menggoyahkan Merkel. ”Demi keutuhan dan UE yang kuat dalam jangka panjang, sangat diperlukan disiplin,” ujar Merkel berkali-kali.
Namun, serangan atas Merkel tidak kunjung berhenti. ”Hari-hari Merkel tinggal sebentar lagi,” kata Le Pen seperti dituliskan di situs CNBC edisi 21 November 2016. ”Pola kepemimpinan Merkel sudah tidak zamannya lagi. Dia adalah kekuatan yang usang dan membuat UE tak beranjak. Merkel adalah resep obat serupa yang membunuh pasiennya,” lanjut Le Pen. Serangan Le Pen ini juga merujuk pada kedisiplinan ekonomi yang kukuh ala Merkel. Program penghematan telah memberikan efek negatif kepada sejumlah warga demi penyehatan keuangan negara.
Malapetaka
Para ekonom pun turut menyerang Merkel, antara lain, dengan mengatakan program penghematan sangat menyakitkan rakyat. Sergei Cutillas, ekonom Spanyol, bahkan menyebutkan mata uang tunggal euro merupakan malapetaka bagi Spanyol.
Ekonom Italia, Alberto Bagnai, menambahkan, ”Tidaklah bisa ada satu mata uang bagi beberapa negara yang tidak berada salam satu negara.”
Namun, bagi Merkel, disiplin tetaplah disiplin, entah itu dengan satu mata uang atau tidak dengan satu mata uang tunggal.
Inilah yang menjadi pertaruhan sekarang ini bagi UE dan negara-negara UE pengguna mata uang tunggal euro. Serangan terhadap Merkel karena program penghematan dilontarkan lewat berbagai sudut pandang.
Akankah Merkel dan prinsipnya bertahan? Sebuah perekonomian hanya bertahan kuat dengan kedisiplinan. Jerman sendiri membuktikan hal itu.
Kebijakan ekonomi yang sembarangan telah membuat perekonomian AS dan sejumlah negara di UE mengalami kelesuan dan terjebak letusan-letusan krisis yang menyengsarakan mulai dari Spanyol, Italia, Irlandia, Portugal, hingga Yunani. Perancis pun hampir terjebak pada pusaran masalah ini.
Mungkin hanyalah pemimpin populis yang menginginkan jabatan dengan cara pandangnya tersendiri untuk menarik massa dengan menyerang Merkel. Namun, seperti kata Paul Krugram, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008, ”Le Pen bukan solusi atas Perancis.”
Meski demikian, adalah juga pilihan rakyat, logis atau tidak logis dari sudut pandang disiplin ekonomi, yang memungkinkan disiplin ekonomi bertahan. Jerman terbukti bertahan makmur di tengah kelesuan trans-Atlantik.
Sejauh ini masih banyak yang menginginkan keutuhan UE walau ada juga yang mengatakan adalah mimpi jika UE dianggap lestari. Dalam hal UE pecah pun kelak, hakikatnya tetap sama. Disiplin ekonomi adalah hal mendasar bagi setiap negara.
AS di bawah Trump sekalipun kini setidaknya selama 100 hari kepresidenannya terbukti belum bisa merealisasikan janji kampanyenya. (REUTERS/AP/AFP)