Mimpi Terkabul, Dapur Terus "Ngebul"
Di Desa Pangauban, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, budidaya lele menjadi jembatan menuju sejahtera. Kuncinya, kemauan untuk terus belajar dan bekerja keras.
Catatan pembelian pakan dan bibit ikan lele terekam rapi di papan kecil di saung milik kelompok Karo Tetangga Campur (KTC) di Desa Pangauban, Sabtu (25/2). Pakan pelet dan obat pencegah penyakit juga didokumentasikan. Jumlahnya masing-masing 4.050 kilogram dan 61 liter. Ada juga catatan 100.000 bibit lele baru dibeli. Semua bibit lele siap dipelihara di kolam-kolam di tengah sawah dan perumahan.
Sesuai namanya yang berarti wadah berkumpul para tetangga, KTC beranggotakan warga Pangauban. Ada 13 orang yang kini mengelola 26 kolam berukuran 10 meter x 4 meter hingga 11 meter x 5 meter. Datang dari beragam latar belakang, mereka menjadi pengusaha lele sejak tiga tahun lalu.
Nurhadi (42), Sekretaris KTC, sebelumnya buruh jahit dengan penghasilan tak menentu. Jika beruntung, ia mampu meraup Rp 120.000 per hari dari menjahit. Namun, tak jarang ia sama sekali tak mendapat uang.
Hingga suatu hari, tahun 2014, ia berkenalan dengan fakta unik budidaya lele. Dengan waktu panen 40 hari, budidaya lele ukuran 7-12 sentimeter bisa memberikan untung besar. Hasil itu lebih cepat dan menggiurkan ketimbang padi yang perlu waktu tiga bulan panen atau gurami yang butuh waktu lebih lama. "Sekarang, omzet budidaya lele saya sekitar Rp 11 juta per bulan," katanya.
Tepis trauma
Akan tetapi, kesuksesan tak datang begitu saja. Budidaya lele pernah meninggalkan trauma. Hujan di tahun 2013 menerjang Indramayu, termasuk Pangauban. Saat itu, alih fungsi lahan membuat tingkat penyerapan air berkurang. Budidaya lele milik warga hancur disapu banjir. Kerugian mencapai Rp 100 juta.
"Karena metode pemeliharaan sederhana, penghasilan kami sangat minim. Saat datang banjir, kami tak punya simpanan apa pun," kata Nurhadi.
Salah seorang yang pernah menyimpan trauma adalah Mujayin (27). Usaha ternak lele yang dirintis orangtuanya sejak tahun 2010 hancur dihajar banjir. Ia sempat tak berani menjalani usaha yang sama karena takut rugi. Namun, ajakan tetangga untuk memelihara lele lagi sulit ditolak. Selain berada di lahan irigasi seluas 4.639 hektar, ia tahu peluang usaha lele sangat besar jika dikembangkan serius dan bersama-sama.
Perbincangannya dengan 13 orang di sudut desa akhirnya menuju kata sepakat untuk membentuk KTC tahun 2014. Tanpa kucuran modal perbankan, mereka iuran Rp 1 juta per orang untuk memelihara lele. Saat itu, satu kolam lele hanya diisi 1.800 bibit karena keterbatasan modal. "Untuk meningkatkan keahlian, kami belajar ke banyak kelompok budidaya lele di Indramayu. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu ikut memberikan ilmu budidaya lele yang baik," kata Mujayin, yang juga menjadi guru honorer.
Materi pelajarannya pun beragam. Anggota KTC belajar membuat tambak berlantai tanah. Konsep itu jauh lebih baik ketimbang memelihara lele beralas terpal. Tanah ikut menyediakan plankton, makanan alami yang dibutuhkan lele. "Kami juga membuat saluran pembuangan air, rutin membersihkan sampah, hingga meninggikan tanggul kolam dari 30 cm menjadi 50 cm. Kami tak ingin banjir merusak dan menimbulkan trauma lagi," katanya.
Perencanaan
Kini, kemauan mereka belajar membuahkan hasil. Dengan tambahan modal, setiap tambak diisi 100.000 bibit. Hasilnya, saat panen mereka bisa mendapat 2.600 kuintal, senilai Rp 44 juta. Konsumen terbesar berasal dari Jakarta, Cirebon, hingga Brebes.
Saat keberhasilan mulai direngkuh, kemauan belajar tak hilang. Tawaran pelatihan manajemen keuangan dari Financial Education and Empowerment Goes Digital (FEED) and Mobile dari organisasi nirlaba Mercy Corps Indonesia didukung Citi Foundation mereka terima secara terbuka. "Manajemen keuangan kelompok belum tertata. Kami ingin belajar," kata Mujayin.
Dari pelatihan yang menurut rencana berlangsung enam bulan, anggota KTC belajar soal pembukuan dan mengakses layanan perbankan. Pelatihan itu membuat mereka mulai piawai merencanakan usaha.
Nurhadi, misalnya, kini mampu memprediksi besar pendapatan saat panen. Dari tiga tambak garapannya, Nurhadi yakin akan meraup omzet Rp 11,9 juta. Perhitungan itu diperoleh dari produksi 7 kuintal lele seharga Rp 17.000 per kilogram. Setelah dikurangi biaya pakan, obat, dan bibit, ia optimistis meraup untung sekitar Rp 4,5 juta.
Manajer Program FEED Mobile Nino Rianditya Putra mengatakan, petani pembudidaya lele di Indramayu sangat berpotensi sejahtera. Digulirkan 2014, menurut Nino, program FEED Mobile berbentuk pelatihan manajemen keuangan dan kewirausahaan. Program ini telah diikuti 5.041 petani dan 8.000 pelaku UMKM di Indramayu. "Hampir semua petani yang mendapat pelatihan kini punya usaha sampingan dan sekitar 70 persen aktif mengakses layanan perbankan formal," ujarnya.
Kemauan anggota KTC untuk belajar perencanaan usaha sejalan dengan tumbuhnya minat masyarakat menekuni literasi keuangan. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan pada 2016 menunjukkan, indeks literasi keuangan 29,66 persen. Dari 100 penduduk Indonesia, sebanyak 29 orang lebih paham literasi keuangan. Ini lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013, yang indeks literasi keuangannya 21,84 persen.
Banyak pelaku usaha mau belajar menyusun sistem dan rencana keuangan. "Kalau mau belajar, saya yakin dapur pasti ngebul," kata Nurhadi bangga.
Mantan penjahit, sopir travel, guru honorer, dan anggota KTC lain sudah membuktikan.