MEDAN, KOMPAS – (Bukan) Opera Batak bertajuk "Ponggol" akan dipanggungkan di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, Sabtu (29/4). Ini merupakan sebuah kritik sosial terhadap kondisi lingkungan Danau Toba. Pertunjukan itu akan memanggungkan kehidupan masyarakat di sekitar Danau Toba yang telah kehilangan ritual, spiritual, dan budayanya.
“Ada jarak kebudayaan yang sangat jauh antara leluhur dan masyarakat Batak yang tinggal di sekitar Danau Toba saat ini,” kata Ojax Manalu, Sutradara (Bukan) Opera Batak “Ponggol”, di Taman Budaya Sumatera Utara, Kamis (27/4). Ojax sengaja menyematkan kata “(Bukan)” sebelum kata “Opera Batak” karena pertunjukan ini tidak sepenuhnya taat pada pakem-pakem dalam Opera Batak. Opera ini diisi musik, tarian, dialog, maupun monolog tradisional Batak. Namun, musik pengiring opera akan dicampur dengan musik tradisional Minang dan musik klasik. Opera ini juga berpedoman pada naskah, tidak seperti Opera Batak nyang dilakukan dengan dialog spontan.
Ponggol adalah bahasa Batak Toba, artinya patah. Rumah Karya Indonesia (RKI), penggagas (Bukan) Opera Batak, memilih judul Ponggol karena ingin menggambarkan kebudayaan dan ritual masyarakat di sekitar Danau Toba, khususnya Suku Batak Toba, yang telah patah dihantam modernisasi.
Opera "Ponggol" akan diisi dengan dialog dan monolog oleh 40 pemeran dalam bahasa Batak Toba. Tokoh utamanya adalah Perempuan Toba yang akan diperankan Lilis Samosir, mahasiswa Program Studi Seni Tari Universitas Negeri Medan. Si Perempuan Toba akan membuka opera dengan monolog yang meratapi kondisi Danau Toba yang kian tercemar oleh keramba jaring apung, limbah domestik, dan makin menderita akibat penggundulan hutan penyangga. “Kritik akan kami sampaikan dalam bentuk simbol-simbol. Perempuan Toba adalah simbol dari kerusakan Danau Toba,” kata Agus Susilo, penulis naskah "Ponggol".
Tokoh lain dalam "Ponggol" adalah Sigale-gale. Dalam mitologi Batak Toba, Sigale-gale merupakan patung atau boneka dari kayu yang konon dapat menari sendiri setelah roh merasuk ke dalamnya. Saat ini, patung Sigale-gale masih dipertunjukkan sebagai atraksi hiburan wisata di Pulau Samosir. Namun, patung itu digerakkan oleh orang-orang agar dapat menari. Patung itu tak punya roh lagi.
Menurut Agus, generasi warga Toba saat ini mirip seperti patung Sigale-gale yang kehilangan roh. Manusia tanpa roh hanyalah patung yang akan digerakkan oleh penguasa sesuai kepentingannya.
Tata panggung
Kritik tidak hanya disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam opera. Panggung juga ditata sedemikian rupa untuk menggambarkan kondisi lingkungan Danau Toba yang kian gersang. Di dinding-dinding digantungkan topeng-topeng penguasa yang menjadi properti panggung. Di sudut-sudut panggung diletakkan properti mirip batang kayu pinus yang meranggas, tanpa ranting dan daun. Ada juga bentuk batang kayu yang telah ditebang atau telah terbakar dan menyisakan bonggol. “Pinus adalah tanaman hutan yang tumbuh di sekeliling Danau Toba. Banyak yang ditebang untuk kepentingan industri atau dibakar untuk membuka ladang baru. Hutan meranggas untuk memenuhi kepuasan penguasa politik maupun penguasa ekonomi,” kata Agus.
Opera ini juga akan diisi oleh pertunjukan semi orkestra yang akan dipimpin Triamelia Simbolon. Ia sekaligus menjadi satu dari tiga penata musik. Dua lainnya adalah Al Coboy dan Juniro Sitanggang. Mereka akan memadukan musik tradisional Batak Toba, Minang, dan musik klasik.