CIREBON, KOMPAS – Pemerintah menargetkan alokasi dana desa naik dari Rp 60 triliun pada 2017 menjadi Rp 120 triliun pada 2018. Meski demikian, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mensyaratkan desa untuk transparan dan fokus pada pemberdayaan ekonomi desa dalam menggunakan dana desa.
Menurut Menteri Desa PDTT Eko Putro Sanjoyo, transparansi ialah dengan melaporkan realisasi penggunaan dana desa kepada masyarakat secara terbuka seperti melalui baliho. Adapun pemberdayaan ekonomi desa termuat dalam empat program, yakni membuat produk unggulan kawasan desa (prokades), embung desa, badan usaha milik desa (Bumdes), dan lapangan olahraga.
“Saya tidak akan naikkan (dana desa) jika desa tidak pasang baliho dan jalankan 4 program tersebut,” ujar Eko, saat berkunjung ke Desa Pabedilan Kaler, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (28/4). Turut hadir Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Cirebon H Memet dan pejabat Kemendesa PDTT.
Dengan target alokasi Rp 120 triliun maka rata-rata desa di Tanah Air akan mendapatkan Rp 1,6 miliar. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan yang didapatkan desa pada tahun ini, yakni rata-rata Rp 800 miliar. Jumlah ini belum termasuk alokasi dana desa dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang nilainya ratusan juta rupiah.
Eko menginstruksikan dana desa tersebut digunakan untuk pemberdayaan ekonomi desa, bukan lagi infrastruktur desa. Ia mengklaim, sejak adanya dana desa 2015, telah terbangun lebih dari 60.000 kilometer jalan desa, 40.000 MCK (tempat mandi, cuci, kakus), 40.000 unit saluran irigasi, dan 12.000 sarana air bersih. Selain itu, di bidang kesehatan ada sekitar 15.000 poliklinik desa dan 1.800 pasar desa terbangun.
Selanjutnya, dana desa perlu diarahkan untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa. Dalam prokades, misalnya, setiap desa dapat mengembangkan potensi desanya yang berujung pada peningkatan ekonomi desa.
Setiap pekan, Eko memanggil lima sampai 10 bupati untuk meminta rencana produk unggulan kawasan desanya.
Ia mencontohkan sejumlah desa di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang telah fokus mengembangkan tanaman jagung hingga produksi 220.000 ton per tahun. Dengan harga jagung Rp 3.000 per kilogram, maka perputaran uang dari hasil penjualan jagung sedikitnya Rp 660 miliar.
“Angka kriminalitas di sana turun 60 persen. Kalau di Dompu bisa, mengapa desa lain tidak?”. Untuk itu, setiap pekan, Eko memanggil lima sampai 10 bupati untuk meminta rencana produk unggulan kawasan desanya. Rapat tersebut menurutnya juga lintas kementerian dan dihadiri pengusaha untuk pemasaran prokades.
Eko juga meminta desa mengalokasikan Rp 200 juta hingga Rp 500 juta untuk membuat embung. Menurut dia, alokasi Rp 200 juta untuk embung saja mampu mengairi 100 hektar lahan pertanian. Embung juga bisa digunakan sebagai tempat wisata setempat.
Jadi, pemuda pemudi desa dapat terhindar dari narkoba hingga radikalisme
Pemberdayaan masyarakat desa lainnya, lanjtu Eko, ialah membangun lapangan olahraga. Dengan begitu, masyarakat desa memiliki wadah untuk beraktivitas positif. “Jadi, pemuda pemudi desa dapat terhindar dari narkoba hingga radikalisme,” ujarnya.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa, desa diharapkan membuat Bumdes. Dalam skala nasional, lanjut Eko, pihaknya telah membuat PT Mitra Bumdes Nusantara yang akan mengkoordinasi Bumdes di daerah.
Adapun pembagian saham dengan Bumdes yakni 51 persen: 49 persen. Desa diminta mengalokasikan Rp 50 sampai Rp 100 juta untuk membangun Bumdes yang nantinya menjadi penyalur bantuan pemerintah.
Namun, Bumdes di Indonesia saat ini hanya berjumlah 22.000 unit. Padahal, terdapat lebih 74.000 desa di Tanah Air. Dari jumlah itu, hanya 8.000 unit yang aktif dan hanya 4.000 unit di antaranya yang menguntungkan. Artinya, terdapat 14.000 Bumdes tidak aktif (Kompas, 20/1).
Terkait itu, Eko mengatakan, desa yang melaksanakan empat program itu akan mendapatkan intensif, seperti bibit, traktor, hingga pemasaran produk unggulan desa. Pihaknya terus mengevaluasi realisasi dana desa setiap pekan. “Namun, masyarakat juga harus mengawal dana desa,” ujarnya.
Menurut staf ahli Kemendesa PDTT Saiful Huda, keempat program itu telah termuat dalam Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2017 terkait prioritas penggunaan dana desa. Untuk itu, desa diminta membuat laporan penggunaan dana desa dan diumumkan secara terbuka melalui baliho di balai desa. “Selama ini, dari evaluasi kami, hanya 52 persen desa yang menerapkan hal ini,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, menurut Memet, sebanyak 412 desa di Kabupaten Cirebon selama ini rutin melaporkan penggunaan dana desa. “Kalau pemasangan baliho itu instruksi baru. Kami akan awasi,” ujarnya. Terkait Bumdes, ia mengklaim lebih dari 100 desa telah memiliki Bumdes aktif.