Sarjana, Gelar untuk Gengsi dan Kenyataan Hidup
Para sarjana yang masih menganggur mengadakan pertemuan dengan Wali Kota Yogyakarta Sudjono AJ untuk kedua kalinya. Pertemuan ini bertujuan untuk mengajak para sarjana membangun kota bersama pemerintah, sehingga pendapatan mereka juga meningkat. Organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) dianggap mampu menjadi wadah yang sesuai untuk menampung para sarjana ini.
Mereka akan ditempatkan dalam Staf Khusus Hansip Markas Resimen 1001 Kotamadya Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh Wali Kota. Organisasi ini juga memudahkan mereka untuk berdiskusi dengan Wali Kota. Dengan menjadi Staf Khusus Hansip, mereka akan mendapat uang kehormatan, bukan gaji atau honorarium.
Berita tersebut dimuat harian Kompas yang terbit pada 28 April 1970 atau 47 tahun yang lalu.
Jumlah lulusan sarjana atau Strata 1 (S1) dan kesempatan kerja yang tidak seiring sejalan, sudah berlangsung sejak lebih dari 45 tahun. Presiden Republik Indonesia sudah berganti berkali-kali, namun masalah sarjana yang menganggur belum juga mampu diatasi.
Kalau melihat angka, jumlah sarjana yang menganggur dari tahun ke tahun bisa dikatakan fluktuatif. Dari catatan Kompas yang terbit tahun 2000-2015 misalnya, tahun 1995 jumlah sarjana mengangguran tercatat 241.413 orang, naik menjadi 323.902 orang pada 2005, dan menjadi sekitar 1,4 juta orang tahun 2007.
Mengutip Kompas, 14 Februari 2011, jumlah sarjana menganggur diperkirakan hampir 12 juta orang. Akan tetapi Kompas, 30 September 2014 menyebutkan jumlah sarjana menganggur turun, tinggal sekitar 600.000 orang. Bagi para penganggur berpendidikan tinggi ini, pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai program agar para tenaga produktif ini tersalurkan.
Pada era Orde Baru misalnya, ada Badan Urusan Tenaga Sukarelawan Indonesia (BUTSI) yang menerima sukarelawan sebanyak 71 dari 136 orang pendaftar. Mereka bekerja sebagai penyuluh perbaikan gizi bagi masyarakat di desa-desa di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat (Kompas, 16 Maret 1970).
Sebelumnya, tahun 1969 sebanyak 30 sarjana sukarelawan yang terpilih dari 107 yang mendaftar. Mereka telah disebarkan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk kedua angkatan sarjana sukarelawan itu, BUTSI mendapat bantuan internasional. Baru pada 1971/1972 program ini mendapat anggaran dari pemerintah sebesar Rp 37,7 juta.
Adanya anggaran membuat BUTSI bisa lebih banyak mengirim sarjana ke berbagai tempat. Tahun 1972 jumlah sarjana sukarelawan yang disebar ke berbagai desa sebagai pelopor pembaruan dan pembangunan berjumlah 313 orang. Mereka bertugas memperbaiki gizi, juga meningkatkan keselamatan kerja dan kesejahteraan sosial warga setempat.
Tahun 1972 jumlah sarjana menganggur sekitar dua juta orang. Dari jumlah itu terbanyak berdomisili di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Masing-masing provinsi tersebut menyumbang sekitar 500.000 sarjana menganggur. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan warga di tiga provinsi itu relatif lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya.
Menolak pulang kampung
Meningkatnya jumlah sarjana menganggur juga dipicu keengganan mereka ditempatkan di luar Pulau Jawa. Sebagian sarjana lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta misalnya, memilih menganggur daripada harus bekerja di luar Yogya.
“Lebih aneh lagi, sarjana yang berasal dari luar Yogya, juga tidak mau dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing,” kata M Suhadi, Kakanwil Ditjen Binaguna Daerah Istimewa Yogyakarta seperti dikutip Kompas, 14 Maret 1978.
Tak heran kalau dari 4.488 sarjana sukarelawan nasional, yang berasal dari Yogyakarta hanya 524 orang. Padahal sarjana pencari kerja di kota gudeg itu ada 1.134 orang, dengan rincian 759 pria dan 375 perempuan.
Untuk membantu para sarjana almamaternya, alumnus beberapa perguruan tinggi membentuk wadah sebagai sumber informasi lapangan kerja bagi adik-adik angkatan mereka. Ini antara lain dilakukan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada atau Kagama (Kompas, 10 Februari 1977).
Cara lain dilakukan Depnaker bekerja sama dengan perguruan tinggi. Tahun 1987 misalnya, sebanyak 48 sarjana lulusan Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) langsung ditempatkan di Depnaker. Kerja sama semacam ini terus dilakukan karena dalam kurun lima tahun Pelita, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan dan Departemen Perindustrian misalnya, memerlukan banyak pegawai baru (Kompas, 24 Juli 1987).
Ilmu sosial
Emil Salim yang pada tahun 1970 menjadi Deputy Ketua Bappenas menyatakan keterkaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan. Dia melihat strategi pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, membuat banyak sarjana ilmu-ilmu sosial menjadi pengangguran.
“Sebagian besar sarjana kita adalah sarjana ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam pembangunan lebih banyak diperlukan sarjana-sarjana teknik misalnya,” kata Emil Salim seperti dikutip Kompas, 11 Desember 1970.
Sudomo yang pada 1987 menjadi Menteri Tenaga Kerja mengaku heran dengan banyaknya lulusan IKIP yang menjadi sarjana menganggur. Dari 10.000 sarjana menganggur, 4.000 di antaranya lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). “Aneh, lulusan IKIP tidak mau jadi guru. Waktu sekolah dulu, sebenarnya mau kerja apa?” katanya.
Perbedaan latar belakang pendidikan dan pekerjaan juga dinyatakan BJ Habibie yang pada 1992 menjabat sebagai Menristek. “Dua satpam saya di rumah daerah Kuningan (Jakarta), adalah lulusan S1 jurusan ekonomi dan sospol,” kata dia tentang kaitan pendidikan dan pasar kerja (Kompas, 5 Februari 1992).
Kompas, 5 Agustus 1994 menulis tentang perbandingan jumlah mahasiswa eksakta dan sosial adalah 24:76. Dalam waktu 5 tahun diperkirakan akan terjadi kelebihan lulusan sarjana sosial. Sebaliknya, kita kekurangan sarjana eksakta dan ilmu-ilmu teknik.
Alhasil lowongan kerja yang ada tak bisa dipenuhi. “Perusahaan atau industri yang terdesak akan kebutuhan tenaga kerja terampil, terpaksa ‘mengimpor’ tenaga kerja asing dengan sistem kontrak yang berbiaya mahal. Ini antara lain terjadi pada sektor perbankan, konstruksi, minyak dan gas bumi (Kompas, 2 Januari 1993).
Kebanggaan
Sementara Kompas, 26 Januari 1976 menurunkan tulisan yang menyebutkan gelar sarjana bagi sebagian masyarakat adalah kebanggaan. Orangtua akan bangga bila anaknya menikah dengan seorang sarjana. Bahkan dalam pemilihan RT/RW pun warga akan memilih orang yang bergelar sarjana. Sikap mental sebagian masyarakat itu membuat calon mahasiswa meningkat setiap tahunnya.
Sampai tahun 1994 anggapan tersebut masih mengemuka. Ace Suryadi, Kepala Pusat Informatika Departemen Pendidikan menyatakan, banyaknya sarjana ilmu-ilmu sosial antara lain karena tujuan orang belajar di perguruan tinggi masih demi status, gelar dan selembar ijazah.
Upaya memadukan sarjana dengan kesempatan kerja yang ada, setidaknya sudah diupayakan sejak 1993. Kompas, 1 Mei 1993 menurunkan tulisan tentang kerja sama antara Depdikbud dan Depnaker. Meski diakui, upaya “link and match” itu memang tak mudah pelaksanaannya.
Sekitar tahun 1996 pemerintah mulai memperkenalkan bidang kewirausahaan bagi mahasiswa. Bila tak berhasil mendapatkan pekerjaan, mereka bisa menjadi wirausaha. Dengan demikian, jumlah sarjana menganggur setidaknya berkurang.
Upaya tersebut tak berjalan mulus. Ini antara lain terbaca dari berita Kompas, 23 Agustus 2002 yang menyebutkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) perlu dana Rp 23 trilyun untuk mempekerjakan sekitar 1 juta sarjana penganggur berstatus tenaga kerja sukarela. Selama tiga tahun mereka berperan sebagai pendamping, dinamisator dan motivator di desa-desa. Program serupa pernah dilaksanakan pada 1970-an.
Ternyata, selama lebih dari 30 tahun, masalah sarjana menganggur dan upaya mengatasinya masih “jalan di tempat”. Semoga pada era Kabinet Kerja kini, akan semakin banyak bermunculan para entrepreneur muda.