logo Kompas.id
UtamaKorut Tuding AS Memancing...
Iklan

Korut Tuding AS Memancing Perang Nuklir

Oleh
· 4 menit baca

SEOUL, SELASA — Situasi di Semenanjung Korea kian sensitif. Korea Utara menuduh Amerika Serikat sengaja memancing terjadinya perang nuklir karena dua pesawat pengebom supersonik, B-1B Lancer, diikutkan dalam latihan udara bersama Korea Selatan dan Jepang. Namun, bagi Korea Selatan, latihan bersama ketiga negara itu justru dilakukan untuk menghentikan provokasi dari Korea Utara. Laporan kantor berita KCNA yang diterima dari Kedutaan Besar Korea Utara untuk Indonesia, Selasa (2/5), menyebutkan, kedua pesawat pengebom itu menjalani latihan peluncuran bom nuklir di rencana sasaran utama di Korut. Situasi di Semenanjung Korea ini dinilai Korut menjadi bukti bahwa AS selama ini memang mendalangi agresi dan peperangan di dunia. "Korut siap merespons apa pun pilihan AS. Jika AS tak juga menghentikan provokasi, kami akan meningkatkan kemampuan militer untuk melindungi diri," demikian KCNA. Pernyataan bernada keras dari Korut itu muncul pada hari yang sama ketika Presiden AS Donald Trump mengeluarkan pernyataan "akan merasa terhormat" jika dapat bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un. Dengan catatan tambahan, pertemuan itu hanya bisa terjadi jika situasinya tepat. Pernyataan Trump ini direspons sendiri oleh Gedung Putih yang menyatakan situasi saat ini sangat tidak memungkinkan bagi Trump untuk bertemu Jong Un. "Itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Jong Un harus menunjukkan niat baik terlebih dahulu," kata Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer. Pernyataan Trump itu senada dengan pernyataan mantan Presiden AS Barack Obama pada kampanye 2008. Saat itu, Obama bersedia bertemu tanpa syarat dengan pemimpin Korut, Iran, dan Kuba. Janji itu sempat dikritik pesaingnya, Hillary Clinton. Ketika terpilih sebagai presiden, Obama langsung berbicara dengan Iran melalui telepon dan di akhir masa jabatannya berkunjung ke Kuba. Namun, Obama tak pernah bertemu Jong Un. Pemerintah AS tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Korut karena Korsel dan Korut secara teknis masih dalam situasi perang karena Perang Korea 1950-1953 berakhir tanpa pakta damai. Pilih dialogBagi Gedung Putih, situasi saat ini tidak ideal karena di satu sisi AS bersiap perang, di sisi lain mereka mendesak China membujuk Korut menghentikan program rudal dan nuklir. Sistem pertahanan anti rudal milik AS, terminal high altitude area defense (THAAD), yang dipasang di Wonsan, Korsel, siap digunakan, tetapi belum dapat sepenuhnya beroperasi. Setidaknya masih dibutuhkan beberapa bulan untuk beroperasi penuh. Pemasangan THAAD ini membuat China kesal. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengecam pemasangan THAAD yang dikhawatirkan akan mengancam kedaulatan wilayah China. Namun, Direktur Proyek Pertahanan Rudal di Pusat Studi Strategi dan Studi Internasional Thomas Karako yakin, baterai THAAD dari Korsel saja tidak akan sanggup menjangkau seluruh wilayah. "Memasang THAAD itu seperti ingin memberikan pesan kepada Korut untuk tak menyerang. Ini hanya upaya Korsel untuk unjuk kekuatan," katanya.Daripada menggunakan THAAD dan saling mengancam, China mendorong AS dan Korut segera berdialog untuk menurunkan ketegangan. Kedua negara itu, dalam pandangan China, harus mampu mencapai resolusi politik. "Cara paling efektif untuk mencapai itu dengan duduk dan berdialog," kata Geng. Setelah THAAD dinyatakan siap digunakan, Direktur Badan Intelijen Pusat AS (CIA) Mike Pompeo berkunjung ke Korsel. Berbagai media di Korsel melaporkan Pompeo berada di Seoul untuk bertemu Badan Intelijen Nasional Korsel dan para pejabat tinggi Korsel di kantor presiden. Tidak konsistenTrump menilai "strategi sabar" yang diterapkan Obama pada Korut telah gagal total. Trump memilih pendekatan agresif dengan ancaman akan menyerang jika Korut tak mengindahkan imbauan. Namun, pada kesempatan lain, pemerintahan Trump ingin berunding dengan Korut. Bahkan, AS sempat mengusulkan memberikan bantuan bahan pangan ke Korut setelah mereka menghentikan rudal dan nuklir. Meskipun AS, terutama Trump, kerap berubah sikap, satu hal yang konsisten, yakni solusi krisis Semenanjung Korea ini ada di tangan China, rekan ekonomi terbesar Korut. Trump berharap China akan mampu memberikan tekanan lebih kuat kepada Korut. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000