Mengambil Lagi “Pedang” KPK
Dua atau tiga tahun lalu, seorang anggota DPR pernah bercerita. Anggota DPR itu mengeluhkan langkah KPK yang agresif menyasar anggota DPR yang tersangkut korupsi. Padahal, kata anggota DPR itu, “pedang” yang dimiliki KPK adalah pemberian DPR. Istilah pedang hanyalah kiasan. Yang dimaksud pedang adalah adalah kewenangan KPK yang datangnya dari DPR dan Pemerintah melalui UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut data yang pernah dirilis KPK, sebanyak 119 anggota DPR dan DPRD dijerat korupsi oleh KPK. “DPR dan DPRD sudah sekitar 119 orang, eks gubernur 15 orang, bupati dan walikota 50 orang. Kita harus sudahi ini,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat berpidato di KPU, Senin, 5 September 2016.
“Pedang” KPK di antaranya kewenangan penyadapan serta kewenangan menyatu di tubuh KPK. Apakah kewenangan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan. Itulah kewenangan ampuh KPK untuk memberantas korupsi di negeri ini. Anggota Dewan itu curhat, “Masak pedang yang kita berikan kepada KPK akan ditebaskan pada kita. Satu saat pedang itu bisa diambil kembali.”
Percakapan itu sudah lama. Namun, ucapan itu terasa relevan sekarang ini. Keinginan DPR mencabut “pedang” berulang kali terjadi. Niat DPR merevisi UU KPK tak pernah surut. Kewenangan penyadapan selalu dipersoalkan. Serangan terhadap KPK kini sedang dilakukan DPR melalui hak angket. Padahal, KPK sedang menyelidiki dan menuntaskan kasus mega korupsi pengadaan KTP elektronik. Sejumlah anggota DPR lintas fraksi disebut-sebut namanya. Ketua DPR Setya Novanto dicekal KPK selama enam bulan. Badan Musyawarah DPR berembug dan melayangkan surat protes kepada Presiden Joko Widodo dan meminta Presiden Jokowi membatalkan pencekalan Novanto. “Pencekalan Setya Novanto mengganggu kinerja DPR,” kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Presiden Jokowi belum menanggapi surat protes DPR. Belakangan, terdengar kabar surat protes itu tak jadi dikirimkan ke Presiden Jokowi. “Belum sampai suratnya,” kata Mensesneg Pratikno.
Belum puas dengan surat protes ke Presiden Jokowi, kini 26 anggota DPR menggunakan hak angket untuk KPK. Hak angket biasanya ditujukan kepada pemerintah, tapi kini ditujukan kepada KPK. Agak janggal memang, tapi anggota Komisi Hukum DPR merasa tidak ada yang salah dengan manuver politik itu. “Hak angket adalah hak pengawasan DPR,” kata Masinton Pasaribu dalam talkshow Satu Meja di KompasTV.
Mengapa hak angket harus diajukan? Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, Pimpinan KPK tidak kooperatif karena menolak permintaan anggota Komisi III DPR untuk menyerahkan rekaman pemeriksaan anggota DPR dari Fraksi Hanura Miryam Hariyani dengan penyidik KPK. Miryam Hariyani memegang peran penting dalam bagi-bagi uang ke DPR dalam kasus pengadaan KTP elektronik.
Namun saat diperiksa sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Miriam mencabut keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan. “Saya ditekan dan diintimidasi,” ucap Miryam. Majelis tidak menerima bergitu saja pencabutan BAP dan memerintahkan keterangan Miriam dikonfrontasi dengan penyidik KPK.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan dipanggil ke persidangan untuk dikonfrontasi. Novel membantah bahwa pemeriksaan Miryam diintimidasi. Bahkan, menurut Novel saat diperiksa Miriam mengaku diarahkan beberapa anggota DPR untuk tidak mengungkapkan bagi-bagi uang itu. Bahkan, menjawab pertanyaan hakim, Novel menyebut nama Bambang Soesatyo (Partai Golkar), Azis Sjamsuddin (Golkar), Desmond J Mahesa (Gerindra), Masinton Pasaribu (PDIP), Syarifudin Suding (Hanura) sebagai orang yang mengarahkan keterangan Miryam. Selain Novel hadirnya juga penyidik KPK Ambarita Damanik dan Irwan Santoso.
Kesaksian Miryam penting bagi KPK. Miryam bersikukuh dengan kesaksiannya, sementara Novel menuding Miryam berbohong. Dipanggil beberapa kali tidak hadir, KPK menetapkan Miryam buron. Polri menangkap Miryam pada Senin, 1 Mei 2017 di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Jumat pagi, beberapa hari setelah Novel memberi kesaksian, Novel diserang orang tak dikenal. Memang belum ada korelasi antara kesaksian Novel dengan penyiraman air keras. Biarlah polisi membuktikannya. Wajah disiram air keras. Dia dilarikan ke RS Mitra Keluarga, Kepala Gading, kemudian di RS Mata Eye Center dan selanjutnya dibawa di RS Mata Singapura. Polisi masih memburu pelakunya, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda. Hingga kini, Novel masih dirawat di Singapura.
Paripurna DPR Golkan Hak Angket
Rapat paripurna DPR, Jumat 28 April 2017, menggolkan penggunaan hak angket. Paripurna DPR itu dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Cara Fahri mengambil keputusan mengundang protes karena tak mengindahkan interupsi sejumlah anggota DPR. Beberapa anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa meninggalkan ruang sidang. Mereka memprotes langkah Fahri yang begitu saja menggolkan penggunaan hak angket. “Kami pikir mau lobil dulu. Ternyata langsung keputusan, kami tidak terima. Pimpinan DPR terlalu terburu-buru,” kata Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Menariknya, inisiator penggunaan hak angket DPR didominasi anggota DPR dari koalisi pendukung pemerintah. Dari 16 anggota DPR, tercatat 10 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar dan tujuh anggota dari Partai Hanura dan dua angggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem serta dua orang dari Fraksi PDIP.
Kini, KPK sedang menyelidiki dua kasus mega korupsi besar yakni pengadaan KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, dua pejabat tinggi kementerian dalam negeri pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah anggota DPR disebut-sebut dalam dakwaan ikut menerima dana KTP elektronik. Perkembangan terbaru KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung dalam kasus korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kasus Bank Dagang Nasional Indonesia yang dimiliki Syamsul Nursalim. SKL dikeluarkan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Banyak orang menduga penggunaan hak angket adalah strategi bertahan DPR menghadapi KPK. KPK tengah menyelidiki keterlibatan politisi DPR dalam kasus korupsi KTP elektronik.
Karena itulah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menyarankan KPK tidak perlu mengikuti keinginan DPR membuka rekaman pemeriksaan Miryam dengan penyidik KPK, jika itu melanggar hukum.
Mantan Ketua MK Mahduf MD berpendapat tidak ada sanksi jika KPK tidak bersedia membuka rekaman kesaksian di depan DPR. “Angket cuma buang-buang waktu saja,” kata Mahfud MD.
Ketua KPK Agus Rahardjo bersikukuh tidak akan membuka rekaman pemeriksaan Miryam dan penyidik KPK atas permintaan DPR. KPK hanya akan membuka rekaman atas perintah pengadilan. Membuka rekaman hasil sadapan bukan hal baru. Mahkamah Konstitusi pernah memerintahkan KPK membuka rekaman hasil sadapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah penegak hukum Indonesia. Sadapan itu membuktikan adanya mafia hukum di Indonesia.
Delapan jurus lemahkan KPK
Percakapan saya dengan anggota DPR soal “pedang” KPK yang akan diambil boleh jadi relevan dengan kondisi saat ini. Politisi DPR sudah bersepakat menggulirkan hak angket untuk KPK. Namun bagi Emerson Juntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam talkshow Satu Meja di KompasTV membeberkan delapan langkah politisi Senayan melemahkan KPK. Keterangan Emerson itu didasarkan pada dokumentasi Indonesia Corruption Watch soal pelemahan KPK.
Pertama, mendorong wacana pembubaran KPK. Sejumlah anggota DPR pernah mewacanakan atau memberikan pernyataan publik tentang pembubaran KPK. Salah satunya anggota yang dinilai paling bersemangat adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Harman pun pernah mengatakan KPK dibubarkan saja jika terbukti menyalahgunakan kekuasaan dalam kasus Miryam.
Kedua, KPK dinyatakan sebagai lembaga adhoc. Tahun 2011, Ketua DPR Marzuki Alie pernah menyebutkan KPK sebagai lembaga ad hoc (bersifat sementara). Wacana KPK sebagai lembaga ad hoc juga muncul dalam Revisi UU KPK tahun 2016 yang menyebutkan usia KPK hanya 12 tahun lagi. Dibandingkan komisi anti rasuah yang lain, KPK termasuk panjang umur dibandingkan komisi anti korupsi sejenis.
Ketiga, penolakan anggaran yang diusulkan KPK. DPR pernah menolak sejumlah usulan anggaran yang diajukan KPK. Padahal anggaran yang diusulkan dimaksudkan untuk optimalisasi upaya pemberantasan korupsi. Tahun 2008, DPR menolak anggaran sebesar Rp 90 Miliar untuk pembangunan rumah tahanan yang dikelola sendiri oleh KPK. Tahun 2012, usulan dana sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan gedung baru KPK juga ditolak. Akibat penolakan ini muncul gerakan publik, “Koin untuk KPK” atau “Saweran untuk gedung KPK”.
Keempat, jalur legislasi untuk melemahkan KPK. Sejak 2011 sejumlah partai politik di DPR berulang kali berupaya melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Terakhir rencana Revisi UU KPK 2016, berhasil digagalkan karena munculnya sejumlah penolakan dari berbagai kalangan. Subtansi dalam Revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK. Selain Revisi UU KPK, upaya pelemahan terhadap KPK juga coba dilakukan melalui pembahasan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kelima, dugaan intervensi atau menghalangi proses penyidikan dan penuntutan kasus. Tahun 2011, Wakil Ketua KPK Mohammad Jasin mengakui unsur pimpinan memang sering kali mendapatkan intervensi dari anggota DPR saat menangani sejumlah kasus korupsi. Dia menyebutkan, intervensi tersebut lewat sambungan telepon atau dalam pembahasan saat rapat dengar pendapat DPR. Tahun 2012, sejumlah Anggota Komisi III mencoba intervensi untuk menggagalkan pemindahan persidangan Walikota Semarang Soemarmo dari Pengadilan Tipikor Semarang ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Keenam, upaya menolak calon Pimpinan KPK yang diusulkan Pemerintah. Tahun 2011 dan 2015, DPR pernah berupaya menolak calon pimpinan KPK yang diusulkan Pemerintah. Tahun 2011, Lima dari sembilan fraksi DPR menolak delapan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan pemerintah, dalam rapat Komisi Hukum DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Kelima fraksi itu; Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera; tetap meminta pemerintah menyerahkan sepuluh nama calon pimpinan KPK ke DPR. Tahun 2015, sempat muncul wacana penolakan terhadap calon pimpinan KPK yang diusulkan pemerintah meskipun akhirnya kemudian dibatalkan dan proses pemilihan tetap berlangsung. Selain penolakan tahun 2014, DPR juga pernah menunda proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK Busyro Muqodas dan Robby Arya Brata.
Ketujuh, pengajuan nota protes atas pencekalan Ketua DPR April 2017, KPK mengeluarkan surat pencekalan terhadap Setya terkait kasus korupsi e-KTP . Pencegahan Setya keluar negeri selama 6 bulan karena politikus Partai Golkar tersebut merupakan saksi kunci Andi Narogong. Setelah Setya Novanto dicekal, Pimpinan DPR melaksanakan rapat dengan Badan Musyawarah DPR, dan DPR akhirnya mengirimkan nota keberatan kepada Jokowi.
Kedelapan, pengajuan Hak Angket DPR April 2017, Komisi III DPR mengajukan hak angket terhadap KPK agar membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam, dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Hak angket itu disetujui paripurna DPR.
Apakah penggunaan hak angketmerupakan upaya mengambil “pedang” KPK, masyarakatakan menjadi saksi. Namun, ahli hukum tata negara Denny Indrayana dalam talkshow Satu Meja, justru mengusulkan penguatan KPK dengan cara memasukkan KPK dalam teks konstitusi. Dengan cara posisi konstitusional KPK kian kuat dan tak terus menerus diganggu.