SIDOARJO, KOMPAS — Pemerintah pusat mendorong pelaku industri furnitur dan kayu olahan agar menggunakan bahan baku kayu legal yang tersertifikasi. Hal itu penting supaya produk yang dihasilkan memiliki legalitas dan bernilai tambah serta bisa diterima oleh pasar ekspor terutama negara-negara di Uni Eropa.
Direktur Industri Kecil dan Menengah Pangan, Barang dari Kayu dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sudarto mengatakan, pemerintah telah menginventarisasi sejumlah kendala dalam penerapan sertifikasi produk kayu yang dihimpun dari keluhan pengusaha. Kendala itu antara lain pengurusan sertifikasi kayu yang rumit, prosesnya panjang dan biayanya mahal.
”Selain itu permasalahan besar yang terjadi saat ini adalah bagaimana menjamin ketersediaan bahan baku kayu yang legal dan mudah diakses oleh industri kecil dan menengah. Untuk industri kayu, bahan baku yang diperlukan berupa kayu mentah, rotal dan bambu,” ujar Sudarto, Rabu (3/5/2017) di sela-sela acara Diseminasi Capaian Indonesia-Uni Eropa di Dinas Kehutanan Jatim.
Namun, pemerintah tidak akan tinggal diam. Saat ini Kemenperin bersama Kementerian Lingkungan Hidup berupaya merumuskan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan pelaku industri. Contohnya, untuk mengatasi masalah kelangkaan bahan baku pemerintah berencana membangun pusat-pusat material di dekat sentra industri furnitur dan kayu olahan.
Adapun bahan baku industri kayu adalah kayu mentah, rotan, dan bambu. Bahan baku itu diperoleh dari Perum Perhutani dan PT Inhutani dan hutan rakyat. Pemerintah akan membantu sertifikasinya agar tidak memberatkan pelaku industri kecil dan menengah.
Sudarto mengatakan, saat ini sudah ada usulan dari pengusaha furnitur agar pemerintah menanggung biaya pengurusan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Biaya yang ditanggung itu untuk pengurusan sertifikat ke negara tujuan ekspor di luar Uni Eropa.
Alasannya, hingga kini hanya Uni Eropa yang mensyaratkan sertifikasi legalitas kayu untuk produk furnitur. Namun, Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan semua produk kayu harus tersertifikasi meskipun pembeli tidak mensyaratkan hal itu. Akibatnya, pengusaha harus menanggung beban biaya sertifikasi yang cukup mahal sehingga menurunkan daya saing mereka.
Industri furnitur dan kayu olahan, kata Sudarto, memiliki potensi ekspor yang besar. Selain itu, industri ini padat karya karena memerlukan banyak tenaga kerja. Dengan berkembangnya industri furnitur diharapkan membuka semakin banyak lapangan pekerjaan dan menyerap penganggur.
Adapun terkait sertifikasi kayu, Indonesia telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang mendapat pengakuan internasional berupa lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Dengan lisensi ini, produk kayu dari Indonesia telah memenuhi persyaratan uji tuntas yang berlaku dalam European Union Timber Regulation atau peraturan perkayuan di Uni Eropa.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (PPHH) Kementerian Lingkungan Hidup Rufi’ie mengatakan, sejak peluncuran lisensi FLEGT Indonesia pada 15 November 2016, pihaknya telah menerbitkan 14.584 lisensi untuk ekspor produk-produk kayu ke Uni Eropa dengan berat total mencapai 364.735.450 kilogram atau senilai 400 juta dollar Amerika Serikat.
”Lisensi FLEGT memiliki arti monumental karena tidak sekadar pemenuhan persyaratan legalitas kayu, tetapi mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang pada masa lalu dianggap sebagai negara penghasil kayu ilegal,” ujar Rufi’ie.
Pelaku usaha furnitur Jajag Suryo Putro dari PT Jawa Furni Lestari Semarang mengatakan, sertifikasi legalitas kayu harus dianggap sebagai investasi di bidang pemasaran supaya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha. Alasannya, dengan mengantongi SVLK, produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah karena jelas asal usul bahan bakunya dan dijamin ramah lingkungan.