Bergelut dengan Lumpur di Jalan Sepucuk-Cengal
Warga Kecamatan Padamaran Timur, Sungai Menang, dan Cengal di Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang terletak sekitar 225 kilometer dari Palembang, Sumatera Selatan, belum merasakan nikmat kemerdekaan. Untuk menuju Kayu Agung, ibu kota Ogan Komering Ilir, warga harus melintasi jalan yang rusak parah.
Kondisi ini dirasakan Kompas saat menyusuri jalan selebar 4 meter, sepanjang 90-100 kilometer, pekan lalu. Jalan yang biasa ditempuh dalam waktu 3 jam kini harus ditempuh dalam 7-8 jam dengan sepeda motor trail atau 3-7 hari dengan mobil atau truk.
Perjalanan dimulai di Sepucuk, Padamaran Timur. Pengendara sepeda motor harus naik perahu sejauh 100 meter dengan ongkos Rp 10.000 per orang dan Rp 15.000 per sepeda motor. Jalan tergenang air sedalam 1,5 meter hingga 2 meter sehingga tak mungkin diterobos sepeda motor.
Satu kilometer dari genangan, pengendara kembali melalui genangan air sedalam 1 meter sejauh 50 meter. Kali ini, tidak ada jasa perahu. Pengendara harus nekat menerobos. Banyak sepeda motor bebek terperosok. Hanya sepeda motor trail yang bisa lewat.
Lewat dari genangan kedua, jalanan berlumpur merah menanti di depan mata. Kondisi jalan kian parah saat hujan. Banyak sepeda motor terjebak, terutama yang tidak menggunakan ban bergerigi.
Para pengendara berjuang mati-matian mendorong dan mengangkat sepeda motornya agar tak terbenam. Beberapa mobil yang tidak bergardan ganda juga terjebak.
Jalanan berlumpur terbentang hampir sepanjang Jalan Sepucuk-Cengal. Kawasan terparah di Desa Sidomulyo, Sungai Menang. Lumpur di jalan membentuk kubangan selebar 4 meter, sedalam 1,5 meter, dengan panjang 10 meter.
Selasa (25/4) malam, dua truk beroda enam pembawa karet terjebak di kubangan. Empat belas truk lain antre di belakangnya. "Sudah enam bulan kami menderita. Kalau tidak hujan, butuh tiga hari lewat jalan ini. Kalau hujan, seminggu baru lewat," ujar Susilo (31), sopir truk pembawa karet di Desa Sidomulyo.
Kompas menggunakan sepeda motor trail sehingga tidak mendapat hambatan berarti. Namun, butuh waktu 7,5 jam menyusuri Jalan Sepucuk-Cengal sejauh kira-kira 150 kilometer.
Warga menjerit
Kondisi ini berdampak negatif bagi kehidupan sosial-ekonomi warga, terutama di Cengal, kecamatan paling jauh dari Kayu Agung. Suami-istri warga Desa Cengal, Pardi (47) dan Sella (40), punya pengalaman kelabu akibat jalan rusak.
Setahun lalu, anak ketiga dari lima anak mereka, Fitriyanti, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit di Kayu Agung.
Kepala Desa Cengal Bahar Usman menuturkan, lima perempuan meninggal saat hendak bersalin ataupun setelah bersalin di Desa Cengal dalam dua tahun ini. Mereka meninggal karena terlambat mendapatkan penanganan medis saat akan dirujuk ke Kayu Agung.
Jalan rusak pun memukul perekonomian warga. Hampir 80 persen warga Padamaran Timur, Sungai Menang, dan Cengal bekerja sebagai petani karet. Sehari-hari, hasil karet dijual ke Palembang. Karena enam bulan ini jalan rusak parah, truk pengangkut karet dari Palembang ke Cengal berkurang, dari 20-30 truk per hari menjadi 5-10 truk per hari.
"Truk tidak mau datang karena waktu tempuh dan biaya operasional naik dua kali lipat. Jikapun ada, ongkos kirimnya naik dua kali lipat, dari Rp 500 per kilogram (kg) karet menjadi Rp 1.000 per kg karet," ujar Mulyadi (51), pengepul karet di Desa Cengal.
Situasi semakin mencekik kala harga karet jatuh dari Rp 11.000 per kg menjadi Rp 5.500 per kg sejak awal April. Kini, petani banyak terlilit utang untuk menyambung makan. "Kemarin, saya masih bisa dapat uang Rp 300.000 per hari. Sekarang dapat Rp 100.000 per hari saja susah," keluh petani karet Desa Cengal, Khalal (60).
Ibu rumah tangga, terutama istri petani karet, sangat menderita dengan kondisi ini. Harga bahan pokok melonjak hampir dua kali lipat. Harga beras dari Rp 180.000 per karung (20 kg) menjadi Rp 240.000 per karung.
"Enam bulan ini, saya harus sangat berhemat. Biasanya masak beras 1 kg per hari, sekarang hanya 0,75 kg. Kalau tidak hemat, uang kami tidak cukup untuk makan sebulan," kata Nilawani (35), istri petani karet Dusun 5, Desa Cengal.
Tak hanya itu, harga bahan bakar minyak pun melonjak. Harga bensin dari Rp 6.450 per liter naik jadi Rp 10.000 per liter. Harga material juga melejit. Harga semen dari sekitar Rp 70.000 per zak (50 kg) menjadi Rp 100.000 per zak.
Luput dari perhatian
Bahar mengatakan, warga Cengal sudah mendiami desa setidaknya sejak tahun 1911. Hal itu ditandai dengan penetapan kawasan hutan larangan di desa tersebut pada 1911. "Dahulu, jalan itu hanya jalan tanah setapak, warga ke mana-mana naik perahu," kata Bahar.
Menurut Sekretaris Kecamatan Cengal Akhmad Zahir Tulus Putra, Jalan Sepucuk-Cengal berstatus jalan kabupaten dan dibangun tahun 1979-1980 ketika masuk transmigran. Setelah era itu, pemerintah tidak pernah lagi merawat jalan tersebut.
Lama-kelamaan, kualitas jalan terus turun. Apalagi jalan sering dilalui truk pengangkut karet dan sawit. Jalan kian rusak saat musim hujan. Apalagi tidak ada drainase dan banyak rawa gambut di sekitarnya. Ketika turun hujan, air dari rawa merembes ke jalan.
"Jalan ini rusak parah sejak awal tahun lalu dan makin hancur enam bulan terakhir," katanya.
Pihak desa berulang kali menyampaikan kondisi ini ke pemerintah kabupaten, tetapi belum ada respons. "Menurut pihak kabupaten, dana terbatas. Mereka hanya bisa memperbaiki jalan secara bertahap. Perbaikan belum tuntas, jalan sudah rusak lagi," ujar Bahar.
Menurut Bahar, desa telah menerima dana desa, tetapi dana hanya bisa untuk memperbaiki jalan lingkungan antardusun.
"Kami menerima Rp 109 juta untuk tahap II 2015, kemudian Rp 411 juta pada 2016, dan Rp 836 juta pada 2017. Uang ini tak cukup memperbaiki jalan rusak sepanjang puluhan kilometer," ujar Bahar.
Pemerintah diharapkan segera mengatasi kondisi ini. Jika kondisi ini berlarut-larut, derita warga Padamaran Timur, Sungai Menang, dan Cengal akan terus tertumpah di sepanjang lumpur Jalan Sepucuk-Cengal. Tak tertutup kemungkinan, korban jiwa akan terus bertambah karena kerusakan jalan makin parah.