Kebebasan Pers untuk Kemajuan Bangsa
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan pers mesti memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa. Dalam kebebasan itu, media massa bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keadilan bangsa. Karena itu, media massa harus obyektif karena pemerintah membutuhkan pandangan kritis agar negara terarah.
Presiden Joko Widodo mengatakan, sejak reformasi, Indonesia terus membangun kebebasan pers. "Sebab, media membuat demokrasi semakin dinamis. Namun, saat ini dunia jurnalisme sedang menghadapi tantangan besar sejalan dengan merebaknya berita bohong dan ujaran kebencian," kata Presiden saat menghadiri acara Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Rabu (3/5) malam.
Kemerdekaan pers di Indonesia, kata Presiden, lahir setelah masa sulit dua dekade lalu. Keberhasilan melewati masa itu juga menjadikan Indonesia sebagai negara kuat, demokratis, dinamis, dan memiliki daya saing ekonomi. Pada masa itu pula Indonesia berhasil melewati transisi kekuasaan dengan damai.
"Saya ingin menyampaikan kepada seluruh komunitas media di dalam negeri maupun dunia bahwa kami tidak dapat menghadapi itu semua tanpa peran Anda semua," ujar Presiden.
Hadir juga dalam acara itu Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Pada kesempatan itu, Presiden memberikan selamat kepada Dawit Isaak, jurnalis berkewarganegaraan Swedia dan Eritrea yang meraih penghargaan Guillermo Cano Awards.
Saat hadir dalam pembukaan Hari Kebebasan Pers Sedunia, Rabu siang, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajak jurnalis dan media massa menjalankan kebebasan pers dengan sebaik-baiknya. "Pemerintah perlu menjamin kebebasan pers dan tidak melakukan intervensi. Namun, media perlu obyektif, jadi kita perlu saling menjaga kebebasan itu," katanya.
Wapres mengakui, pemerintah membutuhkan pandangan-pandangan kritis agar negara bisa terarah. Dalam hal ini, media yang kritis bisa mewakili pandangan masyarakat.
Karena itulah media yang baik haruslah mendapat kepercayaan dari masyarakat dan kepercayaan itu bisa muncul jika media mampu mempertahankan obyektivitasnya. "Jika (media) menulis berita-berita fitnah, pasti orang akan marah. Tetapi, coba Anda menulis dengan bukti-bukti yang obyektif, pasti orang tidak akan marah. Jangan hanya mau hak, tetapi tidak mau kewajiban. Media punya hak bebas, tetapi ada kewajiban untuk tetap menjaga obyektivitas," kata Wapres.
Menjadi contoh
Dalam kesempatan itu, Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) Irina Bokova menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia yang memiliki komitmen menjaga kebebasan pers. Indonesia juga menjadi contoh negara yang memiliki Undang-Undang Pers serta Dewan Pers yang independen.
Namun, di tengah jaminan kebebasan pers yang ada, katanya, ada transformasi sosial yang berjalan seiring perubahan bisnis media seiring berkembangnya teknologi jejaring digital serta kemunculan aktor-aktor baru, termasuk jurnalisme warga. Fenomena baru ini semakin memperluas batas-batas jurnalisme.
Perkembangan teknologi digital ditandai dengan berbagai macam imbas, salah satunya maraknya peredaran berita atau informasi palsu atau hoaks. Berita palsu ini adalah bentuk baru propaganda.
Dalam keliaran "lalu lintas" informasi palsu, Irina Bokova mengajak jurnalis memegang teguh moralitas yang jernih.
Wapres mengatakan, dirinya pun pernah menjadi korban berita palsu. Pekan lalu, dirinya dibuat seolah-olah mengomentari pengiriman bunga dari masyarakat ke Balai Kota Jakarta. Karena itu, apabila mengetahui ada berita palsu, dia akan membantahnya segera.
Adapun media massa, kata Wapres, memiliki tanggung jawab untuk melakukan sensor internal. Salah satunya menghentikan penyebaran informasi palsu, apalagi sudah terbentuk Jaringan Wartawan Anti Hoax. "Bolanya di media sekarang, sebab pemerintah tidak punya lagi (kewenangan melakukan) sensor-sensor atau (menerbitkan) izin-izin," katanya.
Media massa juga mempunyai kewajiban tetap menjaga etika dan aturan internal mereka. Hal ini menjadi bagian fundamental karena kebebasan pers harus tetap memperjuangkan keadilan dan perdamaian.
Sementara penyebar informasi palsu berisi kebencian, perpecahan, penipuan, ataupun pornografi melalui media sosial akan ditindak sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Rudiantara mengatakan, hal-hal yang dilarang disebarkan dalam media sosial antara lain ujaran kebencian, SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), penipuan, pornografi, serta perjudian.
Kekerasan
Meskipun Indonesia memiliki komitmen menjaga kebebasan pers, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono mengungkapkan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar terhadap jaminan kebebasan pers karena kasus kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat. Berdasarkan pendataan AJI, pada 2014 terdapat 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis, pada 2015 menjadi 44 kasus, dan pada 2016 melonjak menjadi 78 kasus.
"Jumlah kasusnya terus naik dan sejak Januari hingga April 2017 ini sudah tercatat 24 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sebagian besar kasus melibatkan kelompok-kelompok intoleran dan terjadi pada peristiwa pemilihan kepala daerah. Jika ini terus dibiarkan, peristiwa-peristiwa serupa akan terus terjadi karena ke depan masih akan banyak digelar pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia," kata Suwarjono.
Di Kalimantan Barat, AJI Pontianak mengungkap data kekerasan terhadap jurnalis di Kalbar berupa kekerasan fisik dan ancaman dari sejumlah oknum yang menghambat tugas-tugas jurnalis. Paling tidak pada 2010-2015 terjadi berbagai kekerasan dalam bentuk pemukulan dan pengeroyokan terhadap jurnalis di Kalbar.
Ketua Bidang Advokasi AJI Iman D Nugroho menambahkan, kasus kekerasan terhadap jurnalis marak karena aparat kepolisian terus-menerus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bebas dari pertanggungjawaban hukum.
AJI mendesak ditegakkannya kembali jaminan perlindungan hukum bagi profesi jurnalis sebagaimana diatur dalam UU Pers. AJI juga menuntut dibukanya akses peliputan jurnalis asing di Papua.
Menanggapi hal ini, Wapres mengatakan, kebebasan pers di Indonesia tidak ada batas wilayahnya. "Apa yang terjadi di Jakarta kebebasannya sama dengan di Papua, di Sulawesi, ataupun di Medan," ucap Wapres.
Rudiantara menambahkan, kerja jurnalis dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, masih ada kode etik yang memagari kerja jurnalis. Pelanggaran dalam produk jurnalistik diproses Dewan Pers.
(ABK/INA/NDY/MHD/ESA)