MENGENAKAN setelan blazer dan celana panjang abu-abu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen selama lebih dari satu jam menjawab semua pertanyaan dari para wartawan asal Asia Tenggara dan Asia Selatan pada Jumat (5/5/2017), di Gedung Kantor Kepresidenan Taiwan, di Taipei. Selain wartawan dari Indonesia (Harian Kompas), saat itu hadir pula wartawan dari Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, serta India.
Berada di satu meja bundar dengan Presiden Tsai, para wartawan mengajukan berbagai pertanyaan terkait kebijakan anyar Taiwan. Pertanyaan tentu saja melebar hingga ke isu Laut China Selatan ataupun kondisi satu tahun perdana Presiden Tsai berkuasa. Meskipun demikian, tak ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh Tsai, pemegang gelar Ph.D bidang hukum dari London School of Economics and Political Science.
Setelah wawancara berakhir, berlangsung sesi pemotretan. Setiap wartawan berpose berdua dengan Presiden Tsai yang ramah. Ia menyalami Kompas seusai kami berpose berdua. ”Indonesia sangat responsif terhadap kebijakan anyar kami, Kebijakan Selatan Baru (New South Bound Policy/NSP),” puji Tsai.
Ia menyampaikan hal itu dengan suara pelan. Tsai memang berbicara dengan suara yang tidak keras atau tidak menggelegar.
Lalu, apa sebenarnya Kebijakan Selatan Baru yang dicanangkan oleh Presiden Tsai?
Menurut Presiden Tsai, NSP bertujuan memperkuat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, maupun dengan Selandia Baru serta Australia. Lewat kebijakan ini, Taiwan hendak membangun strategi pembangunan yang didasarkan pada penggunaan secara bersama-sama (sharing) pasar, tenaga ahli, ataupun sumber daya lainnya.
”Kebijakan-kebijakan Selatan pada masa silam menekankan pada pengembangan pasar serta peluang bisnis jangka pendek. Kebijakan Selatan Baru sekarang berbeda,” kata Tsai.
Kali ini, menurut dia, Taiwan menyiapkan agenda kebijakan jangka panjang yang meletakkan fokus kerja sama lebih luas. ”Penyusunan rencana kerja sama yang saling menguntungkan ini akan menjadikan warga sebagai pusat. Dengan kata lain, kami tengah mewujudkan sebuah model yang sama sekali baru, yang didasarkan pada kemitraan strategis serta kerja sama,” kata Presiden Tsai yang mulai berkuasa pada Mei 2016.
Ia menegaskan, NSP tidak bermaksud menggantikan pasar di China daratan. NSP bukan pula upaya untuk menantang Beijing dalam persaingan regional.
Menurut Tsai, Taiwan dan China memiliki kekuatan ataupun peran yang berbeda dalam pembangunan regional. Tidak ada pertentangan antara NSP dan Prakarsa Jalur dan Jalan dari China. ”Bahkan, dalam upaya meningkatkan pembangunan ekonomi di Asia Pasifik, NSP dan relasi ekonomi lintas-selat (Taiwan-China) saling melengkapi satu sama lain,” tuturnya.
Peningkatan kerja sama dalam kerangka NSP mulai terlihat dalam periode Oktober 2016-Maret 2017. Hingga Februari 2017, total kumulatif investasi Taiwan di 18 negara tujuan NSP mencapai 95 miliar dollar AS, yang terdiri dari sekitar 12.000 investasi. Nilai total investasi itu merupakan hasil kenaikan 20,33 persen.
Selain mendorong pebisnis mereka untuk lebih banyak berinvestasi di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, Pemerintah Taiwan juga mengupayakan agar lebih banyak mahasiswa dari Asia Tenggara dan Asia Selatan menempuh studi di Taiwan. ”Kami juga mendorong sektor swasta agar mau membiayai lebih banyak warga asing menjalani pelatihan serta magang di Taiwan,” kata Tsai.