Banyuwangi Jazz Ethnic, Sebuah Upaya Konservasi
Lagu Osing berjudul ”Mak Ucuk” yang pernah hit pada tahun 1960-an coba disuguhkan lagi dengan kemasan anyar berirama salsa oleh grup musik Banyuwangi Jazz Ethnic. Ini sebagai bagian dari upaya mengonservasi musik etnik Banyuwangi yang dirasa mulai tergerus zaman.
”Mak ucuk mak munyik maning maning mak, njaluk picis mak picis kenting mak”.
Cukilan lagu tersebut merupakan syair lagu berbahasa Osing berjudul ”Mak Ucuk”. Lagu itu mengisahkan seorang anak yang merengek minta uang kepada ibunya. ”Mak Ucuk” merupakan satu dari delapan lagu yang ditampilkan dalam minikonser sekaligus peluncuran grup musik Banyuwangi Jazz Ethnic di Pulau Santen, Banyuwangi, Sabtu (1/4) malam.
Selain Mak Ucuk, beberapa lagu yang ditampilkan adalah ”Lukluk Lumbu”, ”Ulan Andung-andung”, dan ”Umbul-umbul Blambangan”. Repertoar yang dimainkan malam itu mungkin asing di telinga masyarakat Banyuwangi, terutama bagi generasi muda. Lagu-lagu yang pernah tenar tahun 1960-1970 itu memang makin tak bergaung.
Akan tetapi, berbekal aransemen ulang Banyuwangi Jazz Ethnic, lagu-lagu tersebut bisa diterima dan dinikmati penonton yang hadir di Pulau Santen. Puluhan anak muda bahkan turut berjoget di depan panggung saat lagu berirama salsa tersebut dimainkan.
”Sejak awal, kami hendak membuka ruang kreatif agar musik klasik Banyuwangi kembali hit dan mendunia. Banyuwangi Jazz Ethnic hadir agar lagu klasik dapat kembali diterima masyarakat,” kata penggagas Banyuwangi Jazz Ethnic, Bachtiar Djanan.
Pergelaran jazz internasional
Bachtiar mengungkapkan, Banyuwangi Jazz Ethnic hadir sebagai wujud buah hati dari perkawinan musik etnik tradisional Banyuwangi dengan musik jazz. Harapannya, si ”jabang bayi” ini dapat diterima dan dicintai banyak pihak. Kelahiran Banyuwangi Jazz Ethnic juga tidak dapat dilepaskan dari pergelaran jazz berkelas internasional yang kerap diselenggarakan di Banyuwangi, Jazz Pantai. Sayangnya, dalam perhelatan tersebut, musik etnis Banyuwangi kurang mendapat tempat.
”Musik tradisional Banyuwangi hanya menjadi tempelan. Musik Banyuwangi hanya disuguhkan sebagai musik pembuka. Kesannya hanya sebagai syarat agar khas Banyuwangi. Lihat saja, saat acara jazz di Banyuwangi, siapa artis Banyuwangi yang tampil nge-jazz? Tidak ada, kan,” tutur Bachtiar.
Berangkat dari keprihatinan itu, Bachtiar merangkul kaum muda dari Desa Rejoagung, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi, untuk mewujudkan lahirnya kelompok musik bergenre jazz yang konsen pada musik etnik Banyuwangi.
Seorang seniman muda asli Banyuwangi, Dwi Agus Cahyono, didapuk menggawangi lahirnya Banyuwangi Jazz Ethnic. Dwi mengatakan, tak mudah mengulik lagu-lagu tradisional menjadi musik jazz. Ia harus mengajak 17 rekannya mendengarkan musik jazz.
Gamelan dengan pakem yang sangat kaku harus dipaksa ”bernyanyi” di panggung jazz yang menyediakan ruang bagi pemainnya untuk saling mengeksplorasi musik. Pekerjaan Dwi menjadi begitu berat supaya pemusik dapat memainkan lagu tradisional dalam genre jazz.
”Kami ingin menghadirkan musik tradisional Banyuwangi yang masih berpegang pada pakem pentatoniknya. Kalau hanya menyisakan bahasa Osing dan kehilangan pakem pentatonik, kami tidak berbeda dengan kelompok yang membawakan lagu dangdut atau pop berbahasa Osing,” ujar Dwi.
Dibutuhkan waktu tiga minggu dengan tujuh kali latihan hingga akhirnya Banyuwangi Jazz Ethnic memberanikan diri tampil perdana di depan umum. Berbekal angklung, gendang, harmonika, saksofon, triangle, biola, rebana, katir patrol, suling, flute, saron, bonang, slenthem, peking, gitar eletrik, dan bass, akhirnya lahirlah wujud baru musik tradisional Banyuwangi.
Ali Gardy Rukmana, seniman yang terlibat dalam pembuatan empat instrumen musik dawai dalam acara Sound of Borobudur 2016, mengapresiasi penampilan Banyuwangi Jazz Ethnic. Ia bersyukur ada kelompok seniman muda yang berani mengangkat nuansa Banyuwangi dalam musik jazz.
Menurut dia, lagu-lagu tradisional Banyuwangi yang selama ini hanya dinikmati orang tua berhasil dikemas sehingga lebih populer bagi anak muda. ”Mereka berupaya mengemas musik klasik tradisional Banyuwangi dalam bentuk jazz. Hasilnya, musik yang semula kuno itu memang menjadi lebih mbois (keren),” ujarnya.
Namun, Ali menilai, musik yang dibawakan Banyuwangi Jazz Ethnic belum sampai pada tahap jazz. Ia justru mengelompokkan lagu-lagu cover yang dibawakan Dwi Cs itu dalam genre fusion karena dibawakan dalam ritme swing, salsa, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, Ali mendukung upaya konservasi oleh Banyuwangi Jazz Ethnic. ”Butuh kompromi untuk mengonservasi lagu-lagu lama dengan wajah baru. Ini upaya agar musik klasik tradisional Banyuwangi tidak hanya menjadi fosil bunyi. Jangan sampai musik klasik itu hanya bisa dilihat atau diceritakan tanpa bisa dinikmati,” ujar Ali.