BAND thrash metal Megadeth tampil perkasa di helatan Magnitude Hammersonic 2017. Megadeth mengentak dengan tanpa banyak cuap-cuap basa-basi. Para ”metalheads”—sebagian berkaus Megadeth—yang berkumpul di Ecovention Ecopark, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (7/5) sejak pagi, pun belingsatan.
”Lagu berikut adalah lagu yang menang di Grammy (Awards) di Amerika sana. Kami enggak terlalu memusingkan alasannya apa. Ini dia ’Dystopia’ dari album yang sama,” kata Dave Mustaine memberi aba-aba pada David Ellefson, Kiko Loureiro, dan Dirk Verbeuren.
Single dari album yang dilepas Januari 2016 itu dimainkan pada paruh akhir. Ia ada di antara lagu-lagu lama yang yang jadi favorit penonton, di antaranya ”A Tout le Monde”, ”Tornado of Souls”, dan ”Symphony of Destruction”. Itu lagu-lagu yang ngebut semua.
Band asal Los Angeles, California, Amerika Serikat, itu membuka set dengan ”Hangar 18”, disusul ”Wake up Dead”, sebuah ode bagi mendiang Cliff Burton, mantan rekan Mustaine di Metallica dulu. Gempurannya berlanjut dengan ”The Threat is Real” dari album Dystopia.
Penonton yang didominasi pria berumur 30-an ke atas ini girang. Jagoan metalnya beraksi di depan mata mereka. ”Gila mainnya,” kata Fendra (37), seorang penonton yang jemarinya tidak henti bergerak seperti sedang memainkan melodi.
Sebelum Megadeth, banyak band yang tampil, internasional ataupun lokal. Ada Abbath, black metal dari Norwegia, yang terlihat sangar dengan cat putih di wajah, tetapi kelakuannya kocak. Ada juga band hardcore Earth Crisis yang mendengungkan pola hidup sehat dan banyak band asyik lainnya.
Sepertinya tidak ada yang meragukan permainan gitar Dave Mustaine. Jemarinya menjelajah notasi demi notasi, bergemuruh, memaksa kaki mengentak, dan kepala berputar. Duet pria berumur 56 tahun ini dengan sang gitaris Kiko, mantan gitaris Angra, tidak henti mendapat teriakan sekaligus tepukan dari para penonton yang kurang lebih berjumlah 20.000 orang.
Kiko, yang baru bergabung dengan band ini pada album teranyar dapat porsi sama besar dengan Mustaine. Sebagai vokalis, si pirang itu ditempatkan di tengah panggung. Namun, ketika bagian solo gitar, Kiko yang ada di situ. Sementara Mustaine dan Ellefson mundur sejajar dengan Dirk. Blocking di panggung mereka rancang sedemikian rapi.
Sebelum ”Tornado of Soul” Mustaine sepertinya merasa penonton agak lesu. Ia berjalan dari sisi kiri panggung ke kanan sambil menempelkan tangan pada telinga, mencari reaksi penonton.
”Kalian baik-baik saja? Sepertinya kalian butuh lagu ini biar bangun lagi.” Maka meluncurlah ”puting beliung” dari panggung dengan suara gemuruh dari gebukan drum Dirk. Set drumnya terlihat lebih rumit dibanding band-band sebelumnya. Ia punya dua bas drum yang masing-masing bertuliskan ”Mega” dan ”Death”.
Penonton segera bangun lagi. Mereka melompat-lompat sampai tanah berlapis rumput itu bergetar. Energi besar itu tersalur lagi ke panggung. ”Tornado of Soul” berdurasi lima menit itu ibarat kamikaze.
Lagu lawas ”Peace Sells” yang dilepas 30 tahun lalu jadi lagu penutup. Hari sudah berganti Senin dan bulan masih terang nyaris utuh. Kuartet ini pamit undur. Tapi penonton belum puas. Mereka tahu ada satu lagu lagi yang terlewat dan tidak mau rugi pulang tanpa mendengar langsung lagunya. ”Holy Wars! Holy Wars!” teriak mereka.
Memang lagu itulah yang dipakai menutup pentas sekitar 90 menit itu. Pada beberapa pertunjukan sebelumnya seperti di Singapura pada 2 Mei dan Kuala Lumpur Malaysia, 4 Mei, ”Holy Wars” selalu jadi encore.
Tuntas sudah penampilan ketiga Megadeth di Indonesia ini. Empat sekawan ini menjura bareng, penonton bertepuk tangan panjang. Mustaine mengucap terima kasih seraya berpesan hati-hati dalam perjalanan pulang. Manis sekali.
Sikap itu beda ketika Mustaine pertama kali datang dan konser di Indonesia, 16 tahun lalu. Saat itu Megadeth manggung di Medan, kota satu-satunya dan pertama kali disinggahi Megadeth. Mustaine tampil beringas cenderung kasar. Berkali-kali dia memekik ”F... you” ke penonton sembari mengacungkan jari tengahnya. Pada 2007, ketika tampil di Senayan, dia masih cukup arogan. Namun, Mustaine kali ini lebih ”alim” dan sopan.
Benar juga kata Wendy Putranto, COO Revision Live, penggerak Hammersonic beberapa hari sebelum festival. ”Dave lebih jinak sekarang,” kata Wendy.
Meski Mustaine melembut dan Ellefson menyingkirkan wiski dan menggantinya dengan kopi, Megadeth tetap agresif dan kencang. Penggemarnya tetap setia dan tambah banyak.