PALEMBANG, KOMPAS — Kota Palembang di Sumatera Selatan menjadi tuan rumah Bonn Challenge 2017 setingkat Asia Pasifik yang berlangsung pada 9-10 Mei mendatang. Kegiatan ini diikuti perwakilan dari 27 negara. Bonn Challange menargetkan bisa merestorasi 150 juta hektar hutan dan lahan kritis di seluruh dunia hingga 2020.
Dalam kegiatan tersebut, para peserta akan turut diajak ke lahan percontohan restorasi seluas 20 hektar di kawasan Sepucuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Pemerintah Provinsi Sumsel menargetkan merestorasi 400.000 hektar lahan gambut yang rusak dan kritis akibat kebakaran tahun 2015.
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Joko Imam Sentosa saat jumpa pers acara The 1st Asia Bonn Challenge High Level Meeting di Palembang, Senin (8/5), mengatakan, upaya restorasi tersebut merupakan bentuk komitmen Pemprov Sumsel untuk memperbaiki dan memelihara lingkungan, terutama di wilayah gambut yang berperan penting untuk mengurangi emisi karbon.
Bagi Sumsel, restorasi lahan gambut penting untuk mengantisipasi terulangnya kebakaran lahan hebat seperti 2015. Musibah kebakaran tersebut turut berdampak negatif untuk kualitas kesehatan dan ekonomi masyarakat setempat. ”Karena kebakaran, banyak masyarakat yang terkena ISPA (saluran pernapasan akut). Akibatnya, aktivitas ekonomi pun terganggu,” kata Joko.
Sebanyak 400.000 hektar lahan gambut yang rusak dan kritis itu bagian dari sekitar 736.563 hektar lahan yang rusak parah akibat kebakaran 2015. Sisanya, sekitar 336.563 hektar merupakan lahan mineral. Nantinya, lahan kritis tersebut direstorasi dengan ditanami sejumlah pohon lokal alami daerah setempat, seperti pohon unggulan hutan gambut, antara lain ramin, jelutung rawa, punak, perupuk, meranti, medangklir, beriang, dan gelam.
Joko menyampaikan, pihaknya akan melibatkan masyarakat untuk menanam dan menjaga kawasan restorasi tersebut. Sementara itu, masyarakat yang tadinya bergantung dengan kawasan bersangkutan akan dialihkan bekerja di bidang lain, salah satunya ditampung di Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Siapi-api, Kabupaten Banyuasin.
”Umumnya, kebakaran di Sumatera Selatan terjadi karena masyarakat membuka lahan secara membakar. Kami berupaya agar masyarakat tersebut tak lagi mengulangi perbuatannya, salah satu caranya dengan mengalihkan profesi mereka,” kata Joko.
Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat membuka pameran Bonn Challange 2017 di Palembang, kemarin, mengatakan, melalui acara Bonn Challange, pihaknya berharap segenap negara yang hadir bisa turut membantu Sumsel maupun Indonesia untuk melakukan restorasi lahan kritis dan terdegradasi. Sebab, upaya restorasi membutuhkan biaya besar.
Bermanfaat langsung
Direktur Pusat Unggulan Iptek Konservasi dan Peningkatan Produktifitas Lahan Gambut, Universitas Sriwijaya, Rujito Suwignyo, mengatakan, restorasi harus dapat memberikan manfaat langsung terhadap masyarakat. Untuk itu, restorasi tersebut harus dilakukan dengan menanam tanaman budidaya yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
”Jika masyarakat bisa merasakan manfaat langsung, semangat mereka menjaga lahan restorasi akan lebih besar,” kata Rujito.
Peneliti Konservasi Biologi dari Zoological Society of London, Asep Adhikerana, mengatakan, restorasi yang ideal harus mengembalikan lahan bersangkutan ke kondisi alaminya. Restorasi jangan tumpang tindih dengan program budidaya. Sebab, budidaya bisa memicu terjadinya pelepasan karbon. Apalagi budidaya tidak terlepas dari kegiatan pembukaan lahan dan pembuatan kanal.
”Pembukaan lahan dan pembuatan kanal bisa membuat lahan, terutama gambut kering. Saat itu, karbon terlepas dan bisa memicu kebakaran,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Hadi Djadmiko mendukung upaya restorasi lahan kritis yang dilakukan pemerintah. Namun, ia berharap upaya restorasi tidak menjadi celah bagi korporasi untuk lolos dari jeratan hukum akibat tindak kejahatan lingkungan yang dilakukannya.
Berdasakan data Walhi Sumsel, dari sekitar 736.563 hektar lahan yang terbakar pada tahun 2015, setidaknya 250.000 hektar lahan berada di area konsesi. ”Hal ini tidak seharusnya ditutup-tutupi. Penegakan hukum pun harus diutamakan,” ujarnya.
Hadi menuturkan, pengelolahan lahan restorasi seharusnya dikembalikan ke masyarakat karena mereka yang paling mengerti kondisi lahan yang ada di lingkungannya. ”Mereka paling tahu mengelola lahan bukan perusahaan,” katanya.