Perpustakaan, Wahana Pencerah di Tengah Desa Sukopuro, Malang
KEHADIRAN Lilik (46) memecah kesunyian Perpustakaan Anak Bangsa di Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (7/4) siang. Perempuan desa itu bermaksud mengembalikan tiga majalah Trubus dan lima buku dongeng lokal yang telah selesai dia baca.
Setelah meletakkan buku di atas meja, sejurus kemudian, tangan Lilik sudah lincah memilah buku dari rak ke rak. Ia bermaksud mencari buku lain yang bisa dipinjam dan dibaca di rumah.
Lilik, pedagang warung kelontong itu, mengatakan dirinya suka membaca. Ia tidak ingat lagi telah berapa kali datang ke perpustakaan yang berjarak sekitar 21 kilometer di timur Kota Malang tersebut. Sejak Perpustakaan Anak Bangsa dirintis belasan tahun silam, ia sering berkunjung. Aneka novel, seperti karya Mira W dan Fredy S, telah ia baca.
Tidak lama setelah kehadiran Lilik, hadir pula Adi Putrawijaya (12). Masih memakai seragam sekolah, Adi, siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Sukopuro, langsung membuka beberapa surat kabar. ”Setiap hari, saya ke sini membaca koran untuk baca soal olahraga,” ujarnya.
Itulah sepenggal rutinitas di perpustakaan berusia 19 tahun itu. Selain warga, tidak sedikit mahasiswa dari sejumlah kampus di Malang juga datang untuk membaca, mencari referensi, hingga melakukan penelitian. Warga Sukopuro juga sering berkunjung pada pukul 16.00-21.00 atau sepulang bekerja di sawah.
Anak Bangsa bukan perpustakaan biasa. Koleksinya terbilang paling lengkap di Malang Raya, bahkan di tingkat nasional untuk ukuran perpustakaan desa yang didirikan oleh perseorangan. Di dalam ruangan berukuran 6 meter x 12 meter tanpa daun pintu (buka 24 jam), terdapat 58.000 buku dari berbagai bidang.
Eko Cahyono (37), pendiri Anak Bangsa, mengatakan, selain buku, juga terdapat puluhan bundel kliping artikel surat kabar dan majalah yang dibuatnya sendiri. Satu bundel kliping ada yang berisi 700 artikel.
Ribuan buku disusun Eko dalam 11 rak kayu. Di atasnya terdapat sekitar 20 lukisan hasil karya anak-anak setempat. Ada pula satu sisi dinding digantung 70 penghargaan dari berbagai instansi yang diterima Eko atas upayanya mendirikan perpustakaan. Seperangkat alat musik angklung juga melengkapi tempat itu.
Koleksi Anak Bangsa tidak disusun berdasarkan alfabetis sebagaimana perpustakaan ”serius” lainnya. Namun, koleksi itu disusun sesuai kehendak hati Eko. Sebut saja, tema ”Enax’s Banget” yang berisi buku-buku fiksi dan kisah nyata yang mampu membuat pembaca terhibur. Kemudian, tema ”Wajib Baca” yang wajib dibaca oleh siapa saja, seperti buku pengobatan, tema ”Pintu Surga” yang bernuansa keagamaan, tema ”Sastra Berat” yang terdiri atas buku-buku sastra ”serius”, seperti novel 3 Cinta 1 Pria karya Arswendo Atmowiloto, The Zahir karya Paulo Coelho, dan Dialog karya Umar Kayam.
Di perpustakaan yang lokasinya tersembunyi dan akses masuknya hanya lorong selebar 60 sentimeter itu juga terdapat buku-buku langka. Buku itu antara lain Indonesia Menggugat karya Bung Karno, The Encyclopedia of Military Aircraft yang pernah hendak dibeli seorang pejabat lokal, dan The Wall Chart of World History-From Earlist Times to The Present dengan panjang halaman lebih dari 3 meter.
”Semua koleksi adalah sumbangan donatur,” ujar Eko, yang menyebutkan sebagian koleksi telah dibagikan ke perpustakaan lain yang didirikan oleh perseorangan di Malang. Tidak sedikit pula buku koleksi yang tidak dikembalikan. Namun, Eko tidak risau dengan hal itu karena baginya buku yang tidak kembali itu telah bertemu dengan pencintanya.
”Musuh buku hanya air dan api. Kalau tidak dikembalikan, artinya buku itu telah bertemu dengan pembaca setianya,” ujarnya.
Kini, anggota resmi Perpustakaan Anak Bangsa mencapai 8.000 orang. Mereka bukan hanya warga kampung setempat, melainkan juga berasal dari Malang Raya hingga Pasuruan, Sumenep, Jember, dan Banyuwangi. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa.
Menanggung biaya operasional
Eko berusaha menanggung sendiri biaya operasional perpustakaan itu dengan bekerja freelance menjaga stan pameran dan rumah makan. Jika tidak sedang bekerja, Eko mengoperasikan perpustakaan keliling dengan sepeda motor ke sejumlah daerah di Malang Raya. Semua dilakukan secara cuma-cuma agar masyarakat bisa membaca.
Selain Anak Bangsa, perpustakaan lain yang didirikan warga antara lain Kampung Sinau di Desa Cemoro Kandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang; Galeri Kreatif di Bantur, Kecamatan Bantur; Ruang Belajar Aqil di Lowok Waru, Kota Malang; dan Damar Kreatif di Watugede, Singosari.
Di Damar Kreatif, misalnya, rumah baca yang baru berdiri dua tahun ini memanfaatkan ruang bekas gudang mebel berukuran 4 meter x 4 meter. Berbeda dengan Anak Bangsa, koleksi rumah baca ini baru sekitar 400 eksemplar. Meski koleksinya masih terbatas, anak-anak setempat telah ramai berkunjung.
Damar Kreatif memiliki dua cabang, yakni Rumah Baca Boro Merdeka (Bomer) dan rumah milik Yeni Nurhayati yang dimanfaatkan sebagai tempat belajar bersama warga setempat (siswa SD-SMP) pada saat malam.
Pendiri perpustakaan Afifudin Zuhri (31) mengatakan, ide mendirikan rumah baca tebersit saat dirinya bekerja sebagai relawan di salah satu perpustakaan di Banten. Untuk biaya operasional, Afifudin bersama teman-temannya membuat kerajinan berbahan limbah kayu valet dan tong sebagai mebel kafe. Hasil kerajinan itu mereka jual secara daring.
”Saya ingin menyediakan tempat membaca bagi warga. Selama ini di sini belum ada,” ujar pria lulusan SMK jurusan listrik ini.
Ketua Forum Komunikasi Taman Bacaan Masyarakat (FKTBM) Malang Raya Santoso Mahargono mengatakan, perpustakaan dan taman bacaan di wilayahnya terus berkembang. Saat ini ada 110 pengelola yang tergabung dalam FKTBM. Setiap bulan bahkan lahir dua taman bacaan baru.
”Saat ini ada 110 pengelola atau perpustakaan dengan 225 anggota,” ujar Santoso.
FKTBM pun lahir sekitar satu tahun lalu dengan anggota yang bukan saja pengelola perpustakaan, melainkan juga mereka yang berminat dengan dunia literasi.
Menurut Santoso, melalui FKTBM, anggota dapat bersilaturahim, mengunjungi, berbagi pengalaman, dan menguatkan. Dari situ, mereka yang awalnya belum punya taman bacaan menjadi tergerak hatinya untuk membuat taman bacaan baru.
Dia mengakui, ketersediaan buku bacaan menjadi kendala taman bacaan di Malang Raya. Apalagi, lanjut Santoso, pendiri taman bacaan dan perpustakaan itu berasal dari golongan ekonomi yang tidak terlalu mapan. Mereka hanyalah warga biasa yang ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungannya.