JAKARTA, KOMPAS — Dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua cabang olahraga di Indonesia mengimplementasikan pengetahuan keolahragaan atau sport science, salah satunya melalui aplikasi pemantauan atlet terpadu (IAM) Prima. Namun, implementasi itu masih perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan cabang.
Pemusatan latihan nasional (pelatnas) tinju menerapkan aplikasi IAM Prima sejak Februari lalu. Aplikasi di Android itu, diakui pelatih Hermensen Ballo, membantu untuk memantau latihan dan kondisi fisik petinju. Sebelum ada aplikasi dari Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) itu, pelatihan fisik hanya berdasarkan pengalaman pelatih. Praktis, tidak ada ukuran pasti dan target pencapaian latihan untuk mencapai kondisi atlet yang prima.
Penggunaan aplikasi itu pun mulai terlihat dari kondisi fisik atlet yang membaik. Hal itu tecermin dari laga para petinju pelatnas dalam Kejuaraan Asia di Uzbekistan, pekan lalu. ”Dari sisi stamina, petinju kita tidak ada masalah. Hanya masih kalah teknik dan taktik karena kurang pengalaman,” kata Hermensen, pekan lalu.
Pada pelatnas cabang angkat besi, aplikasi IAM Prima ataupun program pelatihan yang ditawarkan Satlak Prima justru ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan atlet. Apalagi, pola latihan yang ditawarkan juga tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan para pelatih angkat besi.
”Petugas dari Satlak Prima tiba-tiba datang dan langsung menyodorkan porsi latihan yang menurut mereka baik. Salah satunya adalah lari 30 menit. Padahal, atlet angkat besi tidak memerlukan latihan ketahanan stamina,” kata Alamsyah, manajer pelatnas angkat besi.
Menurut Alamsyah, atlet angkat besi sudah menjalani pola latihan dengan sport science yang diberi nama strength coach. Pola itu didapatkan dari ahli ilmu keolahragaan bergelar doktor dari Australia dan dijalankan sejak persiapan Olimpiade Rio 2016.
Belum ideal
Pelatnas bulu tangkis di Cipayung juga menerapkan sport science tersendiri dan tidak menggunakan program dari Satlak Prima. Meski demikian, Kepala Subbidang Fisik PP PBSI Felix Ary Bayu Marta mengakui, penerapan sport science belum memenuhi kebutuhan ideal. Kondisi ideal yang dibutuhkan adalah ketika pelatnas telah memiliki peralatan latihan lebih lengkap dan berbagai ahli, seperti psikolog, ahli biomekanika, dan fisiologi, yang bisa menelaah kekurangan, kelebihan, dan kebutuhan atlet yang lebih spesifik.
”Jika peralatan dan sumber daya manusia (ahli) lebih lengkap, performa setiap atlet saat bertanding bisa diteliti, gerakannya efektif atau tidak. Misalnya, berapa kali Marcus (Fernaldi Gideon) membuat poin dari smes ke arah backhand atau forehand lawan, loncatannya harus setinggi apa, dan lain-lain,” katanya.
”Namun, tentu saja ini membutuhkan lebih banyak biaya untuk lebih banyak sumber daya manusia dan peralatan yang lebih canggih,” ujarnya.
Di negara maju seperti Jepang, pengetahuan dan teknologi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pengembangan olahraga prestasi. Saat Kompas berkunjung ke Pusat Pelatihan Atlet Nasional Jepang di Tokyo, Januari lalu, perpaduan sains, teknologi, dan olahraga itu sangat kental terlihat. Fasilitas itu menaungi pelatnas 10 cabang olahraga dan berada dalam satu kompleks dengan Institut Sains Olahraga Jepang (JISS).
Kementerian Pemuda dan Olahraga berupaya membangun fasilitas serupa di Sentra Pembinaan Olahraga Terpadu Indonesia (Sport) di Cibubur, Jakarta Timur. Meski masih jauh dari ideal, kompleks itu telah digunakan secara parsial oleh atlet pelatnas panahan dan taekwondo. (JON/IND/IYA/ECA)