China Fokuskan Ekonomi Berbasis Teknologi
Tidak ada pekan tanpa peringatan tentang perlunya pengembangan teknologi terbaru, yang bagi warga China sendiri pun mungkin masih merupakan hal baru. Inilah yang sedang gencar dilakukan China, sebagaimana ditulis harian The South China Morning Post, edisi 7 Mei.
China adalah negara dengan para teknokrat dan pemimpin yang tak berhenti berpikir. China tidak puas lagi dengan sebutan terkenal ”manufacturer of the world”. Buruh cekatan berupah murah mendorong perusahaan multinasional memindahkan sebagian basis produksi ke China.
Pada awal tahun 2000-an ada kesadaran baru. Sebutan sebagai negara jago ekspor ternyata tidak memakmurkan mayoritas warga, berjumlah 1,3 miliar jiwa. Pada dekade ini, para teknisi China, kader Partai Komunis China, menyadari status ”negara manufaktur” hanya memberi negara sedikit porsi keuntungan.
”Ratusan juta pekerja migran tetap hidup dalam kemiskinan nyata,” demikian ditulis di The South China Morning Post.
Sejak dekade 1980-an, China melayani investor asing seperti melayani raja. Para investor dirangsang masuk dengan kemudahan berinvestasi, antara lain fasilitas jalan mulus, pelabuhan luas dan tertata, serta lokasi pabrik yang nyaman dengan menggusuri lahan. Sang ”raja” memproduksi dengan memakai buruh China. Sang ”raja” cukup memberikan upah buruh murah, lalu menjual produk ke seberang lewat jaringannya dan dengan harga tinggi.
Melihat kenyataan ini, China di bawah Presiden Hu Jintao (menjabat periode 2003-2013) mulai mengutamakan investasi bernilai tinggi, memakai teknologi lebih canggih. Upah buruh mulai dinaikkan. Dimulailah program peningkatan kualitas produksi.
Tahun 2006, China mulai mendorong warga domestik melakukan inovasi teknologi. Terjadi pergeseran produksi dari sekadar menghasilkan sepatu, baju, hingga pembuatan mobil dan komponen komputer.
Namun, hakitat program ini tetap sama. Pemilik teknologi, merek produk, hingga jaringan pemasaran tetaplah milik asing. Buruh memang mengalami kenaikan upah, tetapi porsi terbesar keuntungan produksi tetap pada asing, bukan pada China. Negara pun relatif hanya menjadi lokasi pabrik milik asing.
Jikapun ada para pengusaha China yang menjadi pengusaha, mereka harus membayar royalti atas produksi bermerek luar negeri. Para pengusaha China juga harus membayar teknologi buatan asing, yang dipakai untuk memproduksi.
Jaringan produksi di China juga menggunakan komponen impor yang mahal dari AS, Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan negara lain.
Di samping itu, China sudah mulai berubah dari negara miskin menjadi negara dengan rakyat berkemampuan daya beli. Produk-produk yang dibeli rakyat mampu di China adalah produk asing. Jadilah China tetap menjadi basis produksi sekaligus konsumen bagi produk-produk asing.
China tidak membenci asing. Masalahnya hanya negara mendapatkan porsi kecil dari jaringan produksi atau hanya menjadi bagian terkecil dari mata rantai global supply chain.
Para teknisi China pun tak menyukai defisit besar royalti akibat penggunaan teknologi buatan asing ini. Ada defisit sebesar 18 miliar dollar AS untuk urusan pembayaran royalti ini.
Kemampuan teknologi
Dari keadaan ini, para teknisi segera menyadari, jika ingin membangun kelas menengah, pekerja China harus meraih gaji lebih tinggi. Ini artinya, perlu bekerja lebih produktif dan hanya kapasitas teknologi yang memungkinkan itu.
Akan tetapi, kali ini sasarannya jauh berbeda. Kemampuan teknologi buatan sendiri akan turut menaikkan nilai tambah produksi serta mampu membuat komponen berkualitas buatan domestik.
Sejauh ini penggunaan komponen buatan domestik hanya 0 hingga 30 persen dari keseluruhan produksi. Selebihnya merupakan komponen impor. Teknologi yang dipakai pun pada umumnya harus dengan menyewa milik asing.
Dari pandangan ini, muncullah program ”Made in China 2025” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping tahun 2015. Ini mirip dengan program ”Industri 4.0” ala Jerman. Akan tetapi, program ”Made in China 2025” sangat menyeluruh. Salah satu tujuannya adalah menaikkan penggunaan komponen buatan domestik hingga 70 persen dan penggunaan teknologi buatan China.
Lebih jauh lagi, jaringan pemasaran juga harus dikuasai China dari hulu sampai hilir. Untuk itu, sektor jasa yang menguasai jaringan perdagangan pun harus dikuasai, termasuk jaringan internet yang sangat berperan dalam perdagangan global.
Jika produksi, teknologi, dan jasa pemasaran dilakukan China, porsi terbesar keuntungan bisnis akan diraih negeri itu. Dengan keberadaan konsumen China yang berdaya beli tinggi, ada tuntutan agar produksi berbasis teknologi dan berkualitas tinggi. Ini mengingat konsumen kelas menengah atas China lebih menyukai produk asing.
Untuk itulah, China mengejar inovasi dan kualitas produksi dalam program ”Made in China 2025”. Ada 10 sektor industri yang didalami dalam kerangka program ini, seperti ditulis Scott Kennedy, salah satu deputi direktur di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC.
Ke-10 sektor industri itu adalah teknologi informasi terbaru dan lebih maju, alat-alat mesin otomatis dan robot, peralatan aerospace dan aeronautika, peralatan maritim dan perkapalan berteknologi tinggi, peralatan transportasi kereta api modern, peralatan dan kendaraan berenergi baru, peralatan pembangkit tenaga listrik, peralatan modern pertanian, pengadaan material-material baru, serta biofarma dan produk-produk medis lebih maju.
The Mercator Institute for China Studies, yang berbasis di Berlin, Jerman, tahun lalu melukiskan rencana itu sebagai program besar politik China. Tujuannya dalam jangka panjang adalah meraih kontrol atas porsi yang paling menguntungkan dalam jaringan dan pasokan serta permintaan (The Financial Times, 20 Maret 2017).
Untuk itu, China sangat gencar mendukung program sains dan teknologi. Ini demi meningkatkan nilai ekonomi dan menopang pilar ekonomi di masa depan.
Pada 2016, Presiden Xi Jinping menyatakan sains dan teknologi sebagai hal terpenting mendukung kesinambungan perekonomian.
China telah belajar dari kelemahan Jepang yang selama ini hanya fokus pada penguasaan produksi, tak beranjak ke sektor-sektor jasa yang lebih canggih. China juga mengejar kemajuan dalam persenjataan agar bisa mengatasi ketinggalan dari Rusia dan AS.
Program ini telah ditegaskan berkali-kali dalam pertemuan Kongres Rakyat Nasional, sebutan bagi Parlemen China. Jika sukses, rencana ini akan menandai perubahan struktur ekonomi dari negara jago produksi manufaktur ke negara yang turut mengatur permainan.
Presiden Xi Jinping memperjelas, kemampuan daya saing dan teknologi adalah salah satu dari tiga pilar utama yang dibutuhkan negara. Dua pilar lain adalah kekuatan ekonomi dan kedaulatan. Negara adidaya modern bergantung pada kemampuan teknologi, kekuatan ekonomi, dan kedaulatan.
Dorongan untuk program ”Made in China 2025” ini makin mendesak seiring dengan penurunan pertumbuhan ekonomi domestik berbasis manufaktur. Hal ini diperkuat keinginan untuk perubahan struktur ekonomi negara, yang tadinya didorong investasi berorientasi ekspor ke perekonomian berbasis konsumsi domestik.