Seni ”Mencubit” dengan Senyuman
Halaman pertama Kompas, 21 Juli 1967, menyajikan karikatur orang berpakaian jas dengan tulisan ”koruptor, garong, penjelundup” di perutnya dengan kepala berbentuk kepalan tangan. Keesokan harinya, sebuah panser datang ke kantor Redaksi Kompas. Empat orang berbadan tegap menanyakan maksud kartun itu.
Pengalaman traumatis itu begitu membekas di benak kartunis Gerardus Mayella Sudarta. Gagasannya melukiskan betapa kriminalitas sudah mencengkeram masyarakat saat itu menyulut kesalahpahaman kelompok tertentu.
”Ternyata, gambaran tangan adalah simbol kesatuan kelompok itu. Pak Jakob Oetama sebagai pemimpin redaksi waktu itu dengan tenang menghadapi dan menjelaskan kesalahpahaman tersebut, sementara saya yang duduk di sudut belakang kantor redaksi merasa kecut, bahkan sampai kebelet buang air kecil,” ungkap GM Sudarta yang dalam internal Kompas akrab disapa Mas GM.
Pada edisi lain, Kompas 20 September 1986, GM Sudarta menampilkan sekuel satire figur Oom Pasikom yang tengah mengetatkan ikat pinggang. Saat itu, ekonomi negara sedang sulit dan rakyat diminta ”mengencangkan ikat pinggang”.
Pada gambar pertama, dengan raut muka tersenyum masam, Oom Pasikom menarik ikat pinggang ke kanan dan ke kiri. Pada gambar kedua, ia tersenyum sembari memejamkan mata dan semakin ketat menarik ikat pinggang. Lalu di gambar ketiga, lilitan ikat pinggang itu telah memutus tubuhnya. ”Lhah... pinggang saya di mana?” tanya Oom Pasikom.
Karena karikatur itu, keesokan harinya wartawan senior Kompas, August Parengkuan, dipanggil salah seorang menteri era Orde Baru. ”Saya dipanggil dan dimarah-marahi salah seorang menteri,” kata August di sela-sela pembukaan Pameran Kartun GM Sudarta ”50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom”, Selasa (9/5), di Bentara Budaya Jakarta.
Demikianlah ketajaman goresan GM Sudarta membaca tanda-tanda zaman. Dalam kacamatanya sebagai seorang kartunis, ia selalu merasa dunia sekeliling lucu sekaligus menyedihkan. ”Sebagaimana komedi dan tragedi sangat tipis batasnya, kami tetap bisa menertawakannya. Paling tidak lewat gambar yang mengundang senyum,” ujar GM Sudarta.
Sosok Oom Pasikom
Aktivitas GM Sudarta membuat karikatur politik berlangsung sejak 1967. Sebagaimana surat kabar pada umumnya, menampilkan sosok unik dan kritis untuk menyentil keadaan sosial politik, Kompas melahirkan Oom Pasikom pada 1967.
Nama ”Pasikom” ditemukan GM Sudarta bersama redaktur senior Kompas, Adisubrata, dengan mengulang-ulang kata ”Si Kompas” berkali-kali. ”Si Kompas, Si Kompas, Si Kompas” sampai akhirnya menemukan penggalan ”Pasikom”. Mereka kemudian menambahkan kata panggilan ”Oom” di depannya.
”Kami membayangkan seseorang yang lahir di tahun 1930-an dan berdiri di atas angin, yang tidak berpihak kepada siapa saja, independen, dan sudah berumur. Wajah Oom Pasikom saya ambil dari deformasi wajah Pak Adisubrata,” kata GM Sudarta.
Karakter Oom Pasikom sangat khas dengan jas tambalan dan topi golfnya. Dengan topi golf, ia ingin menjual tampang, tetapi tidak kesampaian karena tidak cukup kaya. Meski demikian, ia bisa tampil di mana pun, tergantung situasi bagaimana atau apa yang akan diperankannya.
Tercatat sudah 50 tahun GM Sudarta ”bermitra” dengan Oom Pasikom di dunia jurnalistik, sejak 1967 hingga 2017. Bagi GM Sudarta, Oom Pasikom ibarat sahabat karib dan teman diskusi, memberi nasihat dan bisikan pada ketidakberesan, sekaligus teman bercanda yang tak pernah membosankan.
Kritik dengan senyuman
GM Sudarta mengakui, kadang kala kritik kartun atau karikatur mungkin kurang tajam. Namun, para prinsipnya, visi kartun lebih pada penyampaian perbaikan. Ia mengistilahkannya dengan ”berteriak dalam bisikan” bahwa ada yang perlu diperbaiki, seperti pendapat Profesor Yasuo Yoshitomi, Guru Besar Kyoto Seika University.
”Rahasia membuat karikatur yang tajam adalah bagaimana kita bisa membikin senyum orang atau siapa pun yang kita kritik. Satu hal yang sangat berbeda adalah dahulu ada respons yang cepat terhadap karya-karya karikatur, tetapi sekarang tidak banyak tanggapan terkait karya-karya karikatur,” papar GM Sudarta dalam bincang-bincangnya bersama kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi dan Ipong Purnama Sidhi, Selasa malam.
Sikap kritis GM Sudarta dalam goresan-goresan kartunnya mendapat respons dari dalam dan luar negeri. Pada 2008 hingga 2010, GM Sudarta diundang Cartoon Department Seika Kyoto University sebagai profesor tamu dalam program pembelajaran satirical cartoon.
Kepercayaan ini sungguh mengejutkan GM Sudarta, seorang kartunis jebolan Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat dua. Di Jepang, para mahasiswa sangat antusias mengikuti kuliahnya meski pada akhirnya sebagian besar di antaranya lebih memilih masuk jurusan manga (komik Jepang) dan animasi ketimbang jurusan karikatur satire atau kartun politik seperti yang ia ajarkan.
”Hanya beberapa karikaturis tua di Jepang yang masih mengikuti jejak Rakuten Kitazawa. Jadi, saya pikir karikatur hanya diperlukan untuk negeri yang karut-marut seperti negara kita. Kalau Indonesia makmur, mungkin kita tidak akan memerlukan lagi kritik lewat karikatur,” ujarnya.
August Parengkuan telah melihat sosok GM Sudarta sebagai ikon Kompas. Ibaratnya, tanpa harus membaca sebuah buku, cukup dengan melihat karya-karya karikaturnya, orang akan bisa melihat rangkaian sejarah Indonesia sejak 1967 hingga sekarang.
Efix Mulyadi mengungkapkan, sepanjang setengah abad kerja profesionalnya, GM Sudarta telah menerbitkan lebih dari 3.000 kartun editorial. Karya-karyanya terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman dan tentu selalu aktual.