Mimpi Si "Kecil" di Antara "Tubuh-tubuh Raksasa"
Sejumlah truk pengangkut tanah melintas di lokasi pembangunan Tol Soreang-Pasir Koja di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/1). Pembangunan jalan tol sepanjang 10,57 kilometer tersebut meleset dari target akibat sering turun hujan sehingga mengganggu pengerjaan konstruksi.
Di balik beragam proyek megastruktur yang sedang dibangun bangsa ini di Jawa Barat, peran pekerja kasar seperti terlupakan. Padahal, kerja mereka ikut membanggakan negara meski nasib baik tak lantas datang begitu saja.
Panas matahari di kawasan Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/1) siang, itu menyengat. Hampir tak ada awan menggantung di langit birunya. Namun, bagi ratusan orang yang bekerja di Tol Soreang-Pasir Koja (Soroja), saat itu adalah waktunya bekerja keras.
"Hujan tidak turun artinya bekerja keras. Sebelumnya, hujan kerap menghambat pekerjaan karena menyulitkan pemadatan dasar jalan tol,” kata Yayat Syarief Hidayat (45), salah satu pekerjanya asal Banjaran, Kabupaten Bandung.
Sejak enam bulan lalu, Yayat bekerja sebagai pengawas alat berat di proyek itu. Tugasnya, memantau ekskavator, buldoser, hingga alat vibratory roller untuk memadatkan tanah bakal jalan tol. Total ada 11 alat yang harus dipantau. Letak alat yang berjauhan membuatnya harus berjalan kaki mengelilingi kawasan proyek itu setiap hari.
Hari itu, ia kembali melakukannya. Matanya memerah kemasukan debu yang beterbangan ketika harus mencatat luas area yang sudah dikerjakan. Sesekali ia cerewet pada operator alat. Yayat ingin memastikan pekerjaan mereka sesuai dengan yang diinginkan.
“Jangan lupa lekas ratakan tanah di sana,” kata Yayat, berteriak pada salah seorang pekerja. Di antara riuh bunyi mesin ekskavator, tangannya menunjuk ke sisi utara bagian pembangunan.
Tol Soroja adalah proyek infrastruktur raksasa yang dikerjakan sejak dua tahun lalu. Ditargetkan beroperasi September 2016, target penyelesaiannya molor hingga April tahun ini. Direktur Utama Badan Usaha Jalan Tol Soroja Bagus Medi Suarso beralasan hal itu terkendala hujan dan pembebasan lahan di awal pekerjaan.
Jika rampung, jalan tol sepanjang 10,57 kilometer ini diklaim bisa meringankan beban transportasi antara Kota dan Kabupaten Bandung. Waktu tempuh 2-2,5 jam bisa dipangkas menjadi 15 menit. Untuk melancarkan proyek ini, pemerintah pusat menggelontorkan investasi Rp 1,5 triliun dibantu ribuan tenaga kerja kontrak. Yayat adalah salah satunya.
Akan tetapi, harapan Yayat pada Tol Soroja tak muluk-muluk. Baginya, Tol Soroja sama seperti proyek pembangunan lain yang pernah dia kerjakan, menyambung hidup keluarganya. Bekerja pukul 08.00-17.00, ia dibayar Rp 3,6 juta per bulan. Namun, setelah dipotong makan dan bahan bakar kendaraannya, sisanya hanya Rp 2,4 juta per bulan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya.
“Tahun ini, yang paling berat. Bersamaan dengan target rampung Tol Soroja di pertengahan 2017, saya butuh biaya sekolah anak. Satu akan masuk kuliah dan satu lagi SMA,” katanya.
Hal itu membuatnya tak tenang. Oleh karena itu, sebelum kontraknya di Tol Soroja usai, ia sudah mencari informasi proyek pembangunan lain. Ia mengincar Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) di Sumedang. “Semoga di sana ada pekerjaan. Bila tidak, saya akan gadaikan surat rumah. Harapannya bisa dapat Rp 25 juta,” katanya.
Harapan
Tol Cisumdawu adalah proyek megastruktur lainnya di Jabar. Jalan tol sepanjang 61,87 kilometer itu nantinya akan menjadi salah satu urat nadi ekonomi nasional, salah satunya Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka. Seperti warga Kabupaten Bandung di Tol Soroja, banyak masyarakat sekitar Tol Cisumdawu ikut bekerja di sana.
Salah satu di antaranya Dadan (32), warga Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Ditemui Kamis (26/1), ia tengah membantu mewujudkan ambisi Indonesia membuat terowongan Cigendel di Tol Cisumdawu.
Setelah terbangun, terowongan sepanjang 472 meter itu bakal jadi yang pertama di jalan tol negeri ini. Akan tetapi, lulusan SMP ini tidak bekerja merancang atau mengerjakan hitungan rumit konstruksi tol dan terowongannya, seperti beberapa tenaga kerja asal Tiongkok di tempat yang sama. Dadan hanya kebagian tugas membersihkan bekas tanah sisa pembangunan jalan tol.
“Dulu tempat ini jadi tempat bermain. Rumah saya tak jauh dari tempat ini. Sekarang di sini jadi tempat bekerja,” kata Dadan.
Dadan mengatakan terbantu dengan proyek pembangunan jalan tol ini. Ia diupah Rp 3 juta per bulan. Jumlah itu jauh lebih pasti dan besar dibandingkan saat jadi tukang ojek Rp 900.000-Rp 1,5 juta per bulan.
Akan tetapi, dia kebingungan saat ditanya apa yang akan ia lakukan kelak bila Tol Cisumdawu selesai sesuai target tahun 2018. Ia berharap bisa terus bekerja di sana meski hanya sebagai penyapu jalan. "Harapannya, masyarakat di daerah sekitar jalan tol ikut diperhatikan, ikut kecipratan rezeki, termasuk saya," katanya.
Inovasi
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 di sekitar Tol Soroja. Sudah 10 jam, Yayat menjalani tugasnya. Setelah memastikan semua alat siap digunakan keesokan harinya, dia pulang mengendarai sepeda motornya ditemani senja yang memerah.
Berjarak sekitar 10 kilometer dari tempatnya bekerja, rumah Yayat tak segagah proyek-proyek yang pernah ia kerjakan. Di rumah berukuran 60 meter persegi, ia tinggal berdesakan bersama istri dan tiga anaknya. Dibangun sejak 1994, rumahnya belum pernah direnovasi. Cat putih berubah jadi kuning kusam. Pintu rumahnya keropos digerogoti rayap.
“Rumah ini hanya punya dua kamar. Saya biasa mengalah tidur di sofa atau di karpet,” katanya.
Sampai di rumah, Yayat masih saja teringat biaya pendidikan kedua anaknya. Hanya mengandalkan proyek pembangunan yang tak setiap hari ada, Yayat tahu masalah ini tak akan pernah selesai menderanya. “Jangan sampai anak-anak seperti saya. Mereka harus hidup lebih sejahtera. Saya harus kerja lebih keras,” katanya.
Adril (17), anak sulung Yayat, paham perjuangan berat yang ditempuh ayahnya. Oleh karena itu, ia punya mimpi besar mewujudkan keinginan orangtuanya dengan melanjutkan sekolah ke bangku kuliah. Dia bertekad menembus seleksi masuk Institut Teknologi Bandung pada pertengahan tahun ini.
"Saya ingin menghasilkan banyak inovasi di bidang teknologi transportasi. Mimpinya agar beban kerja orang-orang seperti ayah bisa lebih ringan bekerja tapi punya upah lebih besar. Semangat ayah jadi inspirasi terbesar," katanya.