Mewujudkan ”Revolusi” dari Timur
Perjalanan penuh risiko itu dijalani Delfi agar bisa melahirkan di Puskesmas Siso yang berlokasi di depan rumah tunggu. ”Kalau naik motor, perjalanan bisa 2,5 jam, tapi kalau sedang hamil, kan, tidak mungkin,” ujar warga Desa Bikek Neno, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu sambil menggendong bayi perempuannya yang belum diberinya nama, Rabu (3/5).
Delfi tiba di rumah tunggu kelahiran sepekan sebelum hari perkiraan lahir. Di tempat itu, istri dari Noferi Bahan (24) itu menanti waktu persalinan tiba. Sebelum pergi ke rumah tunggu kelahiran, Delfi mengaku rutin memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan di desanya.
Delfi yang hanya lulus sekolah menengah pertama itu menuturkan, selama periksa kehamilan, menanti persalinan, dan setelah persalinan, ia diajari berbagai hal terkait kesehatan ibu dan anak. Selain pentingnya memberi air susu ibu eksklusif pada bayi, ia diajari cara menyusui, makanan bergizi yang bisa diberikan kepada bayi.
Sementara warga Desa Oinlasi, Kecamatan Mollo Selatan, yang hamil sembilan bulan, Novita Seo (19), bercerita, dirinya tak perlu tinggal di rumah tunggu kelahiran karena jarak rumahnya ke puskesmas dekat. Meski demikian, ia rutin memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan. ”Saya ikut kelas ibu hamil. Suami kadang ikut menemani,” ujarnya.
Bidan di Puskesmas Siso, Yemi A Manafe, mengatakan, rumah tunggu kelahiran adalah tempat ibu hamil, terutama yang jarak rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan, untuk menanti hari persalinan. Biasanya, ibu hamil yang rumahnya jauh akan mulai menginap di rumah tunggu kelahiran sepekan sebelum hari perkiraan lahir hingga seminggu setelah persalinan.
Pantau kesehatan
Dengan tinggal di rumah tunggu kelahiran dekat puskesmas, perkembangan ibu hamil dan janin dipantau dengan baik. Setelah persalinan, tumbuh kembang anak dan kesehatan ibu dipantau tenaga kesehatan.
Sejak 2009, persalinan di fasilitas kesehatan menjadi kewajiban bagi warga NTT. Saat itu, Dinas Kesehatan NTT menggulirkan Program Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Program itu mewajibkan semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal itu bertujuan menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
Kepala Dinas Kesehatan NTT yang mengusulkan Revolusi KIA tahun 2009, Stefanus Bria Seran, mengatakan, Revolusi KIA di NTT sempat dianggap sebagai mimpi. Upaya menurunkan AKI dan AKB di NTT dinilai banyak pihak hal yang sulit dilakukan, untuk tak menyebut mustahil.
Ia berpandangan, tentu tak ada satu suami pun mau kehilangan istrinya saat melahirkan anak. Begitu juga tak ada calon orangtua rela kehilangan anaknya saat dilahirkan. Itu jadi modal membuat program Revolusi KIA. ”Kenapa perempuan harus mati saat menunaikan tugas kodratinya, yakni melahirkan. Lebih baik saya bermimpi menurunkan kematian ibu melahirkan daripada tak berbuat apa pun,” kata Stefanus yang kini jadi Bupati Malaka, NTT.
Melibatkan masyarakat
Sebagai pengingat bagi masyarakat bahwa di desanya ada ibu hamil, dipasanglah bendera di depan rumah ibu hamil. Bendera merah menandakan ada ibu hamil dengan masa kehamilan triwulan pertama, bendera kuning untuk kehamilan triwulan kedua, dan bendera hijau untuk kehamilan triwulan terakhir. Harapannya, warga bisa ikut bertanggung jawab membantu persalinan ibu hamil itu hingga selamat.
Revolusi KIA memerlukan fasilitas kesehatan yang kuat dan mampu memberi layanan bermutu. Jam layanan diarahkan untuk bisa 24 jam karena persalinan tak kenal waktu. Karena itu, puskesmas lalu diperkuat.
Kepala Dinas Kesehatan Timor Tengah Selatan Hosianni Kause In Rantau menyampaikan, untuk keperluan Revolusi KIA, tak ada lagi puskesmas dibiarkan kosong tanpa dokter. Bahkan, banyak tenaga kesehatan dari puskesmas pembantu ditarik demi memperkuat layanan di puskesmas.
Pemkab Timor Tengah Selatan menghadirkan dokter spesialis kebidanan dan kandungan ke puskesmas dalam pemeriksaan kehamilan prapersalinan terpadu.
Setelah revolusi KIA dijalankan, persalinan di fasilitas kesehatan pun meningkat. Data Dinas Kesehatan NTT menunjukkan, tahun 2008 sebelum Revolusi KIA dijalankan persalinan di fasilitas kesehatan hanya 43,84 persen. Tahun 2009, saat Revolusi KIA dimulai, persalinan di fasilitas kesehatan naik jadi 44,98 persen.
Persalinan di fasilitas kesehatan meningkat sejak 2009. Tahun 2011, misalnya, 77,7 persen persalinan di NTT dilakukan di fasilitas kesehatan. Angka itu naik jadi 86,04 persen tahun 2013. Tahun 2015, ada 93,45 persen persalinan di NTT yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
Meski terjadi fluktuasi, kematian ibu dan bayi di NTT menurun. Jumlah kematian ibu melahirkan, misalnya, ada 208 kasus atau 220 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2011, turun jadi 178 atau 133 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015. Angka itu jauh membaik dibandingkan tahun 2004 (554 per 100.000 kelahiran hidup) atau tahun 2010 (536 per 100.000 kelahiran hidup).
Sementara kematian bayi di periode neonatal (0-28 hari) tahun 2008, sebelum revolusi KIA, 1.402 bayi. Setahun setelah Revolusi KIA dijalankan, angkanya turun jadi 945 dan turun lagi jadi 812 kasus pada 2010. Lalu sempat naik jadi 977 tahun 2012, dan turun jadi 927 tahun 2012 dan 845 tahun 2016.
Kepala Dinas Kesehatan NTT Kornelius Kodi Mete menuturkan, meski Revolusi KIA telah digulirkan bertahun-tahun,
kematian ibu melahirkan dan bayi masih terjadi. Ada banyak faktor di luar kesehatan yang berperan terhadap kematian ibu dan bayi.
Setelah Revolusi KIA dijalankan, kematian ibu dan bayi banyak terjadi di fasilitas kesehatan. Itu umumnya terjadi karena keluarga terlambat memutuskan tindakan yang harus dilakukan.
”Ada banyak kendala terkait faktor sosial, budaya, keluarga, juga status gizi. Kunci perubahan ialah pendekatan keluarga. Keluarga harus disiapkan menghadapi persalinan,” ucapnya.
Lepas dari fakta bahwa kematian ibu dan bayi masih terjadi, NTT telah berupaya melakukan perubahan. Persalinan yang dulu mayoritas dibantu dukun beranak kini dilakukan di fasilitas kesehatan. Revolusi itu akan terus bergulir dan memberikan hasil nyata.